Pages

Pages

Rabu, 29 Januari 2014

PEMIMPIN GEREJA JANGAN HANYA “MENARI-NARI” DI ALTAR

Pastor Paul Tumayang OFM (Jubi/Benny Mawel)
Jayapura,29/1(Jubi) – Gereja-gereja yang memberitakan warta Kristus tentang kasih, keadilan dan perdamaian dalam rangka keutuhan martabat manusia tidak bersuara menanggapi tindakan-tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia Papua.

Gereja-gereja yang melayani di Papua, terutama di Puncak Jaya tidak pernah bersuara. Gereja mendiamkan semua peristiwa itu sebagai hal yang harus terjadi. Korban terus berjatuhan dari umat.

“Suara-suara gereja tidak terdengar lagi. Gereja kurang bersuara. Orang-orang tertentu yang bicara,” tutur Pastor Paul Tumayang OFM, koordinator Karya-karya Pastoral, SKP KC Fransiskan Papua, kepada tabloidjubi.com di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, (29/1).

Suara orang-orang atau gereja-gereja tertentu itu tidak berarti besar kalau tidak ada satu suara dari gereja-gereja yang ada di Papua.

“Gereja-gereja mesti bersatu, satu suara,” ujar Pastor yang pernah menjadi fasilitator penolakan pembangunan Markas Brimob di Wamena 2012 ini.

Gereja harus bersatu dan bersuara memfasilitasi perdamaian rakyat Papua dengan pemerintah sebagai pihak yang berkonflik. “Gereja harus menjadi penyambung dialog,” tuturnya.

Yulianus Pawika, staf SKPKC, mantan kordinator Kelompok Kajian Realitas Sosial, STFT Fajar Timur Abepura, mengatakan pemimpin gereja jangan hanya “menari-nari” di altar.

“Gereja harus turun altar, masuk ke dalam penderitaan umat. Gereja harus menyatakan warta kasih perdamaian di altar itu dalam kenyataan hidup.” kata Yulianus.

“Kalau tidak sampai ke dalam realitas, pewartaan kasih Allah itu tidak terbukti. Pewartaan itu bisa menjadi mimpi umat dalam penderitaan. Kita hanya bisa mimpi,”tambah Yulianus. (Jubi/Mawel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar