ilustrasi Pasukan AS assant-magazine.blogspot.com |
JAKARTA~Kehadiran Presiden Amerika Serikat Barack Obama di Bali dalam
rangka dua KTT, ASEAN dan Ekonomi Asia Timur, merupakan sebuah
peristiwa cukup penting. Tetapi yang tak kalah pentingnya lagi adalah
untuk mencari tahu adakah agenda terselubung Amerika Serikat (AS) di
Indonesia lewat Bali ?.
Pertanyaan ini mengemuka sebab ketika singgah di Australia, dalam
perjalanan menuju Bali, Obama mengumumkan sebuah keputusan penting.
Yaitu AS dalam waktu dekat akan menempatkan 2.500 personil marinir di
Darwin, Australia Utara. Menurut Obama kehadiran pasukan AS di bumi
Kanguru tersebut dalam rangka mengimbangi pergerakan China di kawasan
Asia Tenggara.
Pengumuman itu memancing banyak pertanyaan. Misalnya mengapa untuk
mengimbangi pergerakan militer China di Asia Tenggara lalu yang dipilih
AS sebagai pangkalan militer, kota Darwin yang lebih dekat dengan
Indonesia?
Sementara kemampuan personil 2.500 marinir itu, ikut dipertanyakan.
Apakah mereka mampu membatasi pergerakan militer China, sebuah negara
berpenduduk 1,4 miliar manusia? Lantas mengapa pengumuman itu dilakukan
menjelang pertemuan Obama dengan pemimpin China di KTT Ekonomi Asia
Timur, Bali?
Seminggu sebelum KTT Bali, Obama menjadi tuan rumah KTT APEC di
Honolulu, Hawaii. Mengapa bukan forum itu yang digunakan Obama? Bila
tujuannya dimaksudkan memberi peringatan kepada China, mengapa Obama tak
berani mengutarakannya di Hawaii?
Obama memang mengisyaratkan, kekuatan 2.500 personil tersebut bakal
ditambah. Pasukan AS yang selama ini ditugaskan di Afghanistan dan
Pakistan bakal direlokasi ke Darwin, Australia. Tetapi hal ini tidak
mampu meredam spekulasi dan pertanyaan baru. Apa sebetulnya yang menjadi
agenda AS di Indonesia, Asia Tenggara bahkan Pasifik ?
Boleh jadi penempatan pasukan AS di Australia lebih dimaksudkan untuk
kepentingan lain. Seperti untuk mengantisipasi perubahan politik yang
bakal terjadi di Indonesia, khususnya di Papua. Sebab secara geografis,
letak Darwin lebih dekat dengan Papua ketimbang wilayah Asia Tenggara
yang menjadi daerah pergerakan China.
Sementara di provinsi Papua sendiri sedang muncul penolakan oleh
penduduk setempat atas PT Freeport. Padahal perusahaan yang 97% sahamnya
dimiliki investor AS itu, sudah beroperasi sejak awal 1970-an.
Dalam beberapa pekan terakhir, Freeport juga terus digoyang oleh
kegiatan bersifat anarkis. Warga AS sudah ada yang menjadi korban.
Selain soal Freeport, penduduk lokal makin ramai mendukung perjuangan
kelompok separatis yang mau memerdekakan Papua.
Di AS sendiri sudah lama terbentuk sebuah lobi yang menginginkan agar
Papua didukung menjadi sebuah negara merdeka. Walaupun pemerintah AS
secara resmi selalu membantah setiap tudingan yang mengarah kepada
kesimpulan bahwa Washington ikut bermain politik di Papua.
Kehadiran pasukan AS di Australia, sebetulnya bukan sebuah isu baru.
Terutama jika dikaitkan dengan kerja sama militer kedua negara dalam
forum ANZUS (Australia-New Zealand-United States). ANZUS merupakan
sebuah pakta pertahanan militer tiga negara yang dibentuk lebih dari 50
tahun lalu.
Namun mengingat ANZUS sudah lama tidak aktif, dan Darwin bukan
merupakan pos strategis yang dapat mengimbangi China, maka wajar jika
keputusan AS itu menyisahkan sejumlah kecurigaan.
Misalnya mengapa kerisauan tersebut baru muncul di 2011? Dan kalau
China menjadi sebuah kekuatan dunia saat ini, hal tersebut bukan sebuah
kesalahan China sendiri. Keberhasilan China antara lain karena peran dan
bantuan AS.
Fakta lain, AS, merupakan negara pertama di dunia yang mempromosikan
China sebagai negara yang harus dijadikan sahabat. Washington-lah pihak
yang selalu memuji China komunis sebagai negara yang tidak berbahaya
pada saat hampir semua negara yang bersekutu dengan AS menentang
pemolesan citra China tersebut.
Sepatutnya AS tidak boleh kuatir apalagi merasa terancam oleh
kebesara China. Sebab yang membuat China menjadi kekuatan yang
berpotensi menjadi negara ekspansionis, tidak lain tidak bukan adalah AS
sendiri. Opini positif dunia tentang China tidak akan terbentuk jika
bukan karena peran AS.
Terdapat sejumlah negara sahabat AS ikut menjadi korban dari
perubahan kebijakan Washington. Salah satunya Taiwan. Taiwan kehilangan
haknya sebagai anggota PBB, karena AS tiba-tiba mengakui rezim Beijing.
Selama ini, walaupun AS tidak lagi mengakui Taiwan sebagai
representasi China, tetapi untuk mengimbangi China Beijing, AS tetap
meneruskan kolaborasinya dengan Taiwan. Kolaborasi ini kelihatannya
cukup produktif.
Kalau AS ingin mengimbangi kehadiran China di Asia Tenggara, maka
Darwin, Australia Utara bukanlah pos ideal dan strategis. Letak Darwin
cukup jauh dari lalu lintas dagang dan kapal militer China.
Oleh karenanya bagi Indonesia, pernyataan Presiden Obama sebetulnya
tidak bisa ditafsirkan sesederhana itu. Keputusan AS itu patut
dicurigai. Antisipasi yang perlu dilakukan adalah boleh jadi penempatan
marinir di Darwin, dalam rangka menyambut perubahan yang mungkin bisa
terjadi di Papua, Indonesia. Jangan-jangan jaringan AS sudah mulai
mengobok-obok Papua.
Kehadiran militer AS di Darwin itu harus dilihat sebagai sebuah
“peringatan” buat Jakarta. Pemerintah Indonesia harus lebih peka tentang
apa yang menjadi persoalan di Papua. Pulau yang memiliki kekayaan alam
yang tak terbatas itu, tidak lagi hanya menjadi tempat mengadu nasib
perusahaan Amerika, tetapi juga China.
Perusahaan gas milik China di Tangguh, Papua Barat, sudah berhasil
masuk disana. Sehingga dengan alasan apa saja, China bisa masuk ke
Papua. AS sendiri sudah menyatakan kekhawatirannya tentang pergerakan
China.
AS dan Australia sejatinya cukup serius dan was-was dengan
perkembangan politik yang terjadi di Papua. Papua berpotensi mengalami
perubahan dalam bentuk apa saja. AS dan Astralia, keduanya memiliki
kepentingan yang sama di Papua. AS melalui PT Freeport, perusahaan
publik yang terdaftar di Bursa Saham New York. Sementara kepentingan
Australia di Papua terletak pada kesamaan ras dengan penduduk aslinya
Aborigin.
Jadi kebijakan Obama tersebut bagi penguasa di Jakarta sesungguhnya
merupakan sebuah sinyal. Jika situasi panas di Papua bereskalasi dan
Indonesia tidak punya kemampuan mengatasinya, maka AS bersama-sama
Australia sewaktu-waktu dapat “menyelamatkan” Papua. Yang berbahaya
adalah “penyelamatan” Papua oleh kedua negara itu belum tentu
menguntungkan Indonesia.
AS pasti khawatir dengan situasi politik Indonesia saat ini yang
relatif tidak kondusif. Lemahnya akuntabilitas pemerintahan SBY, membuat
banyak persoalan bangsa mengambang. Salah satunya masalah Papua.
Keributan di Papua bukan sekali dua kali terjadi. Melainkan sudah
berkali-kali. Ibarat rumah, Papua sudah mulai dimakan api. Tapi SBY
masih belum menggelar tentang cara efektif memadamkan kebakaran.
Kekurang pekaan SBY dapat mendorong AS dan Australia lebih peduli dan
agresif terhadap Papua.
Korban manusia pun sudah berjatuhan, termasuk warga AS. Dengan
berbagai alasan, AS bisa masuk ke Papua antara lain memanfaatkan
pasukannya di Darwin, Australia. (NET)
Sumber " www.rajawalinews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar