Pages

Pages

Minggu, 19 Januari 2014

Pasukan AS di Australia Antisipasi Papua Keluar Dari NKRI?

ilustrasi Pasukan AS assant-magazine.blogspot.com
JAKARTA~Kehadiran Presiden Amerika Serikat Barack Obama di Bali dalam rangka dua KTT, ASEAN dan Ekonomi Asia Timur, merupakan sebuah peristiwa cukup penting. Tetapi yang tak kalah pentingnya lagi adalah untuk mencari tahu adakah agenda terselubung Amerika Serikat (AS) di Indonesia lewat Bali ?.

Pertanyaan ini mengemuka sebab ketika singgah di Australia, dalam perjalanan menuju Bali, Obama mengumumkan sebuah keputusan penting. Yaitu AS dalam waktu dekat akan menempatkan 2.500 personil marinir di Darwin, Australia Utara. Menurut Obama kehadiran pasukan AS di bumi Kanguru tersebut dalam rangka mengimbangi pergerakan China di kawasan Asia Tenggara.

Pengumuman itu memancing banyak pertanyaan. Misalnya mengapa untuk mengimbangi pergerakan militer China di Asia Tenggara lalu yang dipilih AS sebagai pangkalan militer, kota Darwin yang lebih dekat dengan Indonesia?

Sementara kemampuan personil 2.500 marinir itu, ikut dipertanyakan. Apakah mereka mampu membatasi pergerakan militer China, sebuah negara berpenduduk 1,4 miliar manusia? Lantas mengapa pengumuman itu dilakukan menjelang pertemuan Obama dengan pemimpin China di KTT Ekonomi Asia Timur, Bali?

Seminggu sebelum KTT Bali, Obama menjadi tuan rumah KTT APEC di Honolulu, Hawaii. Mengapa bukan forum itu yang digunakan Obama? Bila tujuannya dimaksudkan memberi peringatan kepada China, mengapa Obama tak berani mengutarakannya di Hawaii?

Obama memang mengisyaratkan, kekuatan 2.500 personil tersebut bakal ditambah. Pasukan AS yang selama ini ditugaskan di Afghanistan dan Pakistan bakal direlokasi ke Darwin, Australia. Tetapi hal ini tidak mampu meredam spekulasi dan pertanyaan baru. Apa sebetulnya yang menjadi agenda AS di Indonesia, Asia Tenggara bahkan Pasifik ?

Boleh jadi penempatan pasukan AS di Australia lebih dimaksudkan untuk kepentingan lain. Seperti untuk mengantisipasi perubahan politik yang bakal terjadi di Indonesia, khususnya di Papua. Sebab secara geografis, letak Darwin lebih dekat dengan Papua ketimbang wilayah Asia Tenggara yang menjadi daerah pergerakan China.

Sementara di provinsi Papua sendiri sedang muncul penolakan oleh penduduk setempat atas PT Freeport. Padahal perusahaan yang 97% sahamnya dimiliki investor AS itu, sudah beroperasi sejak awal 1970-an.

Dalam beberapa pekan terakhir, Freeport juga terus digoyang oleh kegiatan bersifat anarkis. Warga AS sudah ada yang menjadi korban. Selain soal Freeport, penduduk lokal makin ramai mendukung perjuangan kelompok separatis yang mau memerdekakan Papua.

Di AS sendiri sudah lama terbentuk sebuah lobi yang menginginkan agar Papua didukung menjadi sebuah negara merdeka. Walaupun pemerintah AS secara resmi selalu membantah setiap tudingan yang mengarah kepada kesimpulan bahwa Washington ikut bermain politik di Papua.

Kehadiran pasukan AS di Australia, sebetulnya bukan sebuah isu baru. Terutama jika dikaitkan dengan kerja sama militer kedua negara dalam forum ANZUS (Australia-New Zealand-United States). ANZUS merupakan sebuah pakta pertahanan militer tiga negara yang dibentuk lebih dari 50 tahun lalu.

Namun mengingat ANZUS sudah lama tidak aktif, dan Darwin bukan merupakan pos strategis yang dapat mengimbangi China, maka wajar jika keputusan AS itu menyisahkan sejumlah kecurigaan.

Misalnya mengapa kerisauan tersebut baru muncul di 2011? Dan kalau China menjadi sebuah kekuatan dunia saat ini, hal tersebut bukan sebuah kesalahan China sendiri. Keberhasilan China antara lain karena peran dan bantuan AS.

Fakta lain, AS, merupakan negara pertama di dunia yang mempromosikan China sebagai negara yang harus dijadikan sahabat. Washington-lah pihak yang selalu memuji China komunis sebagai negara yang tidak berbahaya pada saat hampir semua negara yang bersekutu dengan AS menentang pemolesan citra China tersebut.

Sepatutnya AS tidak boleh kuatir apalagi merasa terancam oleh kebesara China. Sebab yang membuat China menjadi kekuatan yang berpotensi menjadi negara ekspansionis, tidak lain tidak bukan adalah AS sendiri. Opini positif dunia tentang China tidak akan terbentuk jika bukan karena peran AS.

Terdapat sejumlah negara sahabat AS ikut menjadi korban dari perubahan kebijakan Washington. Salah satunya Taiwan. Taiwan kehilangan haknya sebagai anggota PBB, karena AS tiba-tiba mengakui rezim Beijing.

Selama ini, walaupun AS tidak lagi mengakui Taiwan sebagai representasi China, tetapi untuk mengimbangi China Beijing, AS tetap meneruskan kolaborasinya dengan Taiwan. Kolaborasi ini kelihatannya cukup produktif.

Kalau AS ingin mengimbangi kehadiran China di Asia Tenggara, maka Darwin, Australia Utara bukanlah pos ideal dan strategis. Letak Darwin cukup jauh dari lalu lintas dagang dan kapal militer China.

Oleh karenanya bagi Indonesia, pernyataan Presiden Obama sebetulnya tidak bisa ditafsirkan sesederhana itu. Keputusan AS itu patut dicurigai. Antisipasi yang perlu dilakukan adalah boleh jadi penempatan marinir di Darwin, dalam rangka menyambut perubahan yang mungkin bisa terjadi di Papua, Indonesia. Jangan-jangan jaringan AS sudah mulai mengobok-obok Papua.

Kehadiran militer AS di Darwin itu harus dilihat sebagai sebuah “peringatan” buat Jakarta. Pemerintah Indonesia harus lebih peka tentang apa yang menjadi persoalan di Papua. Pulau yang memiliki kekayaan alam yang tak terbatas itu, tidak lagi hanya menjadi tempat mengadu nasib perusahaan Amerika, tetapi juga China.

Perusahaan gas milik China di Tangguh, Papua Barat, sudah berhasil masuk disana. Sehingga dengan alasan apa saja, China bisa masuk ke Papua. AS sendiri sudah menyatakan kekhawatirannya tentang pergerakan China.

AS dan Australia sejatinya cukup serius dan was-was dengan perkembangan politik yang terjadi di Papua. Papua berpotensi mengalami perubahan dalam bentuk apa saja. AS dan Astralia, keduanya memiliki kepentingan yang sama di Papua. AS melalui PT Freeport, perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Saham New York. Sementara kepentingan Australia di Papua terletak pada kesamaan ras dengan penduduk aslinya Aborigin.

Jadi kebijakan Obama tersebut bagi penguasa di Jakarta sesungguhnya merupakan sebuah sinyal. Jika situasi panas di Papua bereskalasi dan Indonesia tidak punya kemampuan mengatasinya, maka AS bersama-sama Australia sewaktu-waktu dapat “menyelamatkan” Papua. Yang berbahaya adalah “penyelamatan” Papua oleh kedua negara itu belum tentu menguntungkan Indonesia.

AS pasti khawatir dengan situasi politik Indonesia saat ini yang relatif tidak kondusif. Lemahnya akuntabilitas pemerintahan SBY, membuat banyak persoalan bangsa mengambang. Salah satunya masalah Papua.

Keributan di Papua bukan sekali dua kali terjadi. Melainkan sudah berkali-kali. Ibarat rumah, Papua sudah mulai dimakan api. Tapi SBY masih belum menggelar tentang cara efektif memadamkan kebakaran. Kekurang pekaan SBY dapat mendorong AS dan Australia lebih peduli dan agresif terhadap Papua.

Korban manusia pun sudah berjatuhan, termasuk warga AS. Dengan berbagai alasan, AS bisa masuk ke Papua antara lain memanfaatkan pasukannya di Darwin, Australia. (NET)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar