Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia di Tanah Papua,
Pdt. Dr. Karel Phil Erari. Foto: Ist.
|
Jayapura, -- Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia di Tanah Papua, Pdt. Karel Phil Erari meminta rakyat Papua memaknai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 2013 dalam perspektif Advent.
"Tanggal 10 Desember yang ditetapkan sebagai hari HAM se-Dunia yang dicanangkan PBB, jatuh pada minggu ke-2 masa raya Advent, sebagai masa penantian umat Kristen akan kedatangan Kristus yang kedua, sebagai Hakim Dunia. Orang Papua diajak untuk memaknai Hari HAM ini dalam perspektif Advent, bahwa Kristus akan datang dan akan mengadili semua umat manusia, sesuai perbuatannya," demikian kata Pdt. Karel Phil Erari dalam keterangan tertulis yang diterima majalahselangkah.com, Kamis, (12/12/13).
Kata dia, ribuan rakyat Papua yang dibunuh, dibantai, diculik, diperkosa dan dirampas hak-hak kemanusiaanya akan diadili oleh Kristus. Tak ada seorangpun yang lolos dari pengadilan terakhir ini.
Di pengujung tahun 2013, kata dia, kembali rakyat Papua menyaksikan suatu skandal hukum terbesar dalam sistem Pemerintahan Indonesia. UU 21/2001 sebagai Otsus Papua, tanpa melalui prosedur dan protokol yang diatur dalam UU 21/2001, sedang mengalami distorsi melalui gagasan Otsus Plus yakni UUPemerintahan Papua.
"Jika rakyat tidak bersatu untuk mendesak Evaluasi Menyeluruh atas Otsus yang representatif dan menolak fenomena di atas, maka pupuslah sudah, nafas Otsus Papua: Affirmasi (Keberpihakan), Proteksi, Partisipasi dan Pemberdayaan. Rakyat Papua harus bersatu untuk mendesak digelarnya Dialog Nasional yang Adil, Komprehensif dan bermartabat sebagai jalan demokrasi untuk menentukan status Pemerintahan di Papua setelah 50 tahun Papua diserahkan oleh UNTEA kepada Indonesia," kata dia.
Dikritik
Salah Aktivis Papua, Daniel Randongkir menanggapi ajakan Pdt. Karel Phil Erari ini.
"Orang Papua sebaiknya dididik agar tidak terperangkap dalam doktrin 'messianistic', sehingga dari zaman perjanjian lama sampai era globalisasi dewasa ini, selalu hidup dalam 'harapan' yang tak pasti," katanya kritis.
Kata Daniel, "Kita harus mengubah mindset dan perspektif bahwa keselamatan dan pembebasan hanya dapat terwujud melalui kerja sama dan kerja keras. Kalau kita terus-menerus terperangkap dalam pandangan lama, maka kita selalu menggantungkan harapan konyol bahwa suatu saat akan muncul 'tokoh pembebas (mesias)' di Tanah Papua yang akan memimpin bangsa Papua untuk memasuki pintu gerbang kemerdekaan. Saya tidak akan habiskan waktu untuk menunggu 'mesias umat Kristen' mengadili pelaku pelanggaran HAM di Tanah Papua, itu adalah suatu harapan yang abstrak."
Secara rasional, kata dia, orang Papua harus berjuang untuk memperoleh keadilan di bumi ini, dengan mekanisme hukum yang jelas, sehingga semua korban menerima keadilan, sebelum 'mesias umat Kristen' datang kembali.
Ia bertanya, apakah penderitaan rakyat Papua selama lebih dari 50 tahun, dianggap setara dengan kebijakan Otsus sebagai kompensasi atas seluruh pengorbanan mereka?
"Sehingga menjadi alasan mengajak semua rakyat Papua untuk bersatu dan beramai-ramai mendesak Evaluasi Menyeluruh, sekaligus menentang pemberlakuan kebijakan Otsus Plus. Orang Papua banyak yang mati karena MATI MERDEKA, bukan mati karena MENANTIKAN OTSUS PLUS. Sementara isu Papua sedang beranjak memasuki ranah internasional, kita malah disibukan dengan kebijakan lokal," tulisnya.
Menurutnya, tidak perlu melokalisir isu Papua dengan asumsi bahwa 'semua perlawanan yang dilakukan selama ini, semata-mata karena orang Papua tidak setuju dengan kebijakan Otsus'. (GE/MS)
"Tanggal 10 Desember yang ditetapkan sebagai hari HAM se-Dunia yang dicanangkan PBB, jatuh pada minggu ke-2 masa raya Advent, sebagai masa penantian umat Kristen akan kedatangan Kristus yang kedua, sebagai Hakim Dunia. Orang Papua diajak untuk memaknai Hari HAM ini dalam perspektif Advent, bahwa Kristus akan datang dan akan mengadili semua umat manusia, sesuai perbuatannya," demikian kata Pdt. Karel Phil Erari dalam keterangan tertulis yang diterima majalahselangkah.com, Kamis, (12/12/13).
Kata dia, ribuan rakyat Papua yang dibunuh, dibantai, diculik, diperkosa dan dirampas hak-hak kemanusiaanya akan diadili oleh Kristus. Tak ada seorangpun yang lolos dari pengadilan terakhir ini.
Di pengujung tahun 2013, kata dia, kembali rakyat Papua menyaksikan suatu skandal hukum terbesar dalam sistem Pemerintahan Indonesia. UU 21/2001 sebagai Otsus Papua, tanpa melalui prosedur dan protokol yang diatur dalam UU 21/2001, sedang mengalami distorsi melalui gagasan Otsus Plus yakni UUPemerintahan Papua.
"Jika rakyat tidak bersatu untuk mendesak Evaluasi Menyeluruh atas Otsus yang representatif dan menolak fenomena di atas, maka pupuslah sudah, nafas Otsus Papua: Affirmasi (Keberpihakan), Proteksi, Partisipasi dan Pemberdayaan. Rakyat Papua harus bersatu untuk mendesak digelarnya Dialog Nasional yang Adil, Komprehensif dan bermartabat sebagai jalan demokrasi untuk menentukan status Pemerintahan di Papua setelah 50 tahun Papua diserahkan oleh UNTEA kepada Indonesia," kata dia.
Dikritik
Salah Aktivis Papua, Daniel Randongkir menanggapi ajakan Pdt. Karel Phil Erari ini.
"Orang Papua sebaiknya dididik agar tidak terperangkap dalam doktrin 'messianistic', sehingga dari zaman perjanjian lama sampai era globalisasi dewasa ini, selalu hidup dalam 'harapan' yang tak pasti," katanya kritis.
Kata Daniel, "Kita harus mengubah mindset dan perspektif bahwa keselamatan dan pembebasan hanya dapat terwujud melalui kerja sama dan kerja keras. Kalau kita terus-menerus terperangkap dalam pandangan lama, maka kita selalu menggantungkan harapan konyol bahwa suatu saat akan muncul 'tokoh pembebas (mesias)' di Tanah Papua yang akan memimpin bangsa Papua untuk memasuki pintu gerbang kemerdekaan. Saya tidak akan habiskan waktu untuk menunggu 'mesias umat Kristen' mengadili pelaku pelanggaran HAM di Tanah Papua, itu adalah suatu harapan yang abstrak."
Secara rasional, kata dia, orang Papua harus berjuang untuk memperoleh keadilan di bumi ini, dengan mekanisme hukum yang jelas, sehingga semua korban menerima keadilan, sebelum 'mesias umat Kristen' datang kembali.
Ia bertanya, apakah penderitaan rakyat Papua selama lebih dari 50 tahun, dianggap setara dengan kebijakan Otsus sebagai kompensasi atas seluruh pengorbanan mereka?
"Sehingga menjadi alasan mengajak semua rakyat Papua untuk bersatu dan beramai-ramai mendesak Evaluasi Menyeluruh, sekaligus menentang pemberlakuan kebijakan Otsus Plus. Orang Papua banyak yang mati karena MATI MERDEKA, bukan mati karena MENANTIKAN OTSUS PLUS. Sementara isu Papua sedang beranjak memasuki ranah internasional, kita malah disibukan dengan kebijakan lokal," tulisnya.
Menurutnya, tidak perlu melokalisir isu Papua dengan asumsi bahwa 'semua perlawanan yang dilakukan selama ini, semata-mata karena orang Papua tidak setuju dengan kebijakan Otsus'. (GE/MS)
Sumber : www.majalahselangkah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar