Pages

Pages

Minggu, 22 Desember 2013

CATATAN AKHIR TAHUN 2013 AJI KOTA JAYAPURA : KEKERASAN DAN INTIMIDASI YANG DILAKUKAN OKNUM KEPOLISIAN TERHADAP JURNALIS MENINGKAT DUA KALI LIPAT

Ilustrasi logi AJI (Ist)
ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN KOTA JAYAPURA

Siaran Pers

Untuk disiarkan segera

Jayapura, 21 Desember 2013

Catatan Akhir Tahun 2013 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura

“Kekerasan dan Intimidasi Yang Dilakukan Oknum Polisi Meningkat Dua Kali Lipat”

Jayapura, 21/12 – Sepanjang tahun 2013, dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura terjadi 20 kasus intimidasi dan kekerasan terhadap Jurnalis di Papua. Jumlah kasus ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun 2012 yang hanya berjumlah 12 Kasus. Dari 20 kasus ini, 4 kasus terjadi di Papua Barat dan 16 kasus terjadi Papua. Sebagian besar kasus kekerasan ini dilakukan secara langsung melalui intimidasi verbal maupun fisik seperti ancaman dan makian, pengrusakan, memasuki kantor redaksi tanpa ijin hingga pemukulan.

Mengacu pada catatan AJI Jayapura sepanjang tahun 2013 ini, pelaku kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2013 masih sama dengan trend sebelum tahun 2010-2012. Oknum dari institusi Kepolisian menjadi pihak yang paling sering melakukan kekerasan terhadap jurnalis, selain kelompok masyarakat. Meski harus diakui, hubungan antara insitusi kepolisian dengan jurnalis di Papua cenderung membaik, namun Institusi Kepolisian Daerah Papua menjadi pelaku 8 kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis dari 20 kasus yang dicatat oleh AJI Jayapura di tahun 2013. Angka kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh oknum Polisi ini meningkat dua kali lipat dari kasus di tahun 2012 yang hanya 4 kasus.

Sementara kekerasan yang dilakukan oleh Masyarakat Sipil terhadap jurnalis pada tahun 2013 ini cenderung dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan membela kepentingan pejabat tertentu. Tercatat 6 kasus intimidasi dan kekerasan dalam kategori ini sepanjang tahun 2013. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa pejabat publik di Papua belum mampu mendidik massa pendukungnya untuk memahami tugas dan peranan pers sebagaimana diamanatkan oleh UU Pokok Pers No. 40 Tahun 1999. Dalam konteks yang sama, peranan organisasi pers dituntut lebih aktif dalam mensosialisasikan UU Pokok Pers ini kepada masyarakat maupun pejabat publik.

6 kasus lainnya, dilakukan oleh istri-istri pejabat publik di lingkup pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat, perusahaan pers yang melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak dan petugas bandar udara Sentani.

Dari 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Papua dan Papua Barat ini dalam catatan AJI Jayapura, disebabkan tidak seriusnya upaya penegakan hukum. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi tidak ditangani dalam prosedur hukum yang benar dan profesional. Akibatnya, kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan aktivitas jurnalistiknya berakhir dengan impunitas dan terulang lagi pada tahun-tahun berikutnya. Seperti misalnya kasus penikaman terhadap Banjir Ambarita, jurnalis Bintang Papua dan Viva News yang belum bisa diungkapkan oleh polisi hingga hari ini.

Di tahun 2013 ini, AJI Jayapura memberikan apresiasi pada Kapolresta Jayapura yang langsung meminta maaf kepada jurnalis setelah anggotanya melakukan tindakan kekerasan terhadap tiga orang jurnalis pada saat pembubaran aksi demonstrasi tanggal 26 November 2013. Tindakan Kapolresta Jayapura ini, patut dicontoh oleh pihak-pihak yang melakukan kekerasan terhadap Jurnalis di Papua. Namun demikian, AJI Jayapura tetap berkesimpulan hendaknya permintaan maaf tersebut diikuti dengan tindakan hukum atau tindakan pembinaan kepada oknum anggota polisi yang melakukan tindakan kekerasan pada jurnalis tersebut untuk memberikan efek jera dan dikemudian hari tidak terulang lagi.

Ditahun 2013 ini juga, AJI Jayapura mencatat dua pernyataan penting dalam lingkup peran dan fungsi pers yang setidaknya bisa menjelaskan kepada publik tentang pembatasan akses terhadap wartawan asing untuk memasuki Papua. 

Peristiwa pertama adalah pernyataan Gubernur Papua yang mempersilahkan wartawan asing dan organisasi internasional untuk masuk ke Papua. Pernyataan Gubernur Papua ini, meskipun menunjukkan kemajuan otoritas sipil di Papua namun faktanya bertolak belakang. Realitas yang terjadi hingga akhir tahun ini, kewenangan untuk mengijinkan wartawan asing  atau organisasi internasional untuk masuk ke Papua berada di pemerintah Pusat, melalui prosedur Clearing House, bukan pemerintah daerah.  Dalam hal ini, pernyataan Gubernur Papua disebut di luar konteks kebijakan negara untuk memberlakukan Clearing House kepada wartawan asing yang ingin meliput di Papua.  Meski demikian, sekali lagi, kami memberikan apresiasi terhadap pernyataan Gubernur Papua ini.

Pernyataan kedua adalah pernyataan Kapolda Papua. Dalam satu wawancara di viva news, Kapolda Papua mengatakan media dapat menjadi bagian dari intelijen negara asing. Penyamaran paling efektif bagi kegiatan intelijen, menurut Kapolda Papua, adalah sebagai wartawan atau sebagai peneliti. Dua profesi itu memungkinkan seseorang menemui siapa saja, mewawancarai semua pihak. Meskipun pernyataan Kapolda Papua ini bukanlah sebuah kesimpulan, namun bisa menjelaskan perspektif negara terhadap jurnalis asing.

Terlepas dari pernyataan tersebut, AJI Jayapura tidak menutup mata terhadap upaya Kepolisian Daerah Papua dalam membangun komunikasi dan relasi yang saling menguntungkan bagi wartawan dan kepolisian. Dalam konteks ini, institusi Kepolisian di lingkup Polda Papua, memiliki pemahaman yang cukup memadai terhadap fungsi dan peran jurnalis serta kondisi kekinian bisnis media massa. Namun pemahaman ini masih terbatas pada perwira-perwira kepolisian saja. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah kasus kekerasan dan intimidasi kepada wartawan yang dilakukan oleh oknum polisi di lingkup Kepolisian Daerah Papua.

AJI Jayapura, sepanjang tahun 2013 juga mencatat laporan masyarakat terhadap sikap profesional dan etika jurnalis di Papua. Tiga kasus yang dilaporkan oleh masyarakat adalah perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, perbuatan tidak terpuji dan dugaan pemerasan.  Selain tiga kasus yang dlaporkan secara resmi ini, masyarakat juga menyampaikan keluhan mengenai keberadaan wartawan yang tidak jelas (wartawan abal-abal) di sekitar Kota Jayapura. Wartawan yang disebut wartawan abal-abal ini, dalam prakteknya, tidak memiliki kantor/redaksi yang jelas atau tidak bisa menunjukkan produk jurnalistiknya meskipun memiliki ID Card sebagai wartawan media tertentu.  Beberapa masyarakat melaporkan bahwa wartawan dalam kategori abal-abal ini, tidak segan-segan melakukan tindakan pemerasan terhadap warga atau pejabat yang diduga atau sedang dalam pemeriksaan kasus korupsi.

Dalam tahun-tahun mendatang, diharapkan peran serta masyarakat semakin meningkat dalam mengontrol sikap dan etika jurnalis untuk mewujudkan iklim demokrasi yang kondusif di Tanah Papua.

Hal lainnya yang dicatat oleh AJI Jayapura adalah perkembangan media online yang sangat pesat, tidak terkecuali di Papua.  Bertumbuhnya situs-situs online yang menyampaikan informasi  tentang Papua, maupun jejaring sosial di internet tak dapat disangkal ikut mempengaruhi dinamika sosial politik di Tanah Papua.  “Pertarungan” informasi tentang Papua menjadi satu fenomena baru. 

Distorsi informasi tentang Papua menjadi sesuatu yang seakan “wajar”  terjadi.  

Media mainstream tak lagi menjadi pilihan utama buat masyarakat. Satu hal lain yang penting dalam fenomena ini adalah status jurnalis yang bukan lagi milik pekerja sebuah perusahaan media.  Meskipun UU Pokok Pers tidak secara tegas menyebutkan jurnalis atau wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik melalui sebuah perusahaan pers namun tanggungjawab yang diemban oleh seorang jurnalis yang bekerja pada perusahaan pers tentunya berbeda dengan seorang jurnalis yang tidak terikat pada sebuah manajemen perusahaan pers. Inilah yang membedakan jurnalisme sebagai profesi dan jurnalisme sebagai hobi. Namun kondisi ini adalah realitas yang tak bisa dibendung, seiring kemajuan teknologi informasi. Sehingga masyarakat diharapkan bisa lebih cerdas memilah informasi yang didapatkannya.

Tahun 2014, akan menjadi tahun yang penting bagi media massa dan jurnalis di Papua. Di tahun ini, akan diselenggarakan dua momen politik, yakni Pemilihan Anggota Legislatif dan Pemilihan Presiden. Dua peristiwa penting di tahun politik ini secara langsung atau tidak akan melibatkan media massa dan jurnalis. Pengalaman di tahun sebelumnya, menunjukkan partisipasi aktif dari jurnalis dan media massa dalam mengkawal proses pesta demokrasi ini. Meski partisipasi aktif dari jurnalis dan media massa sudah selayaknya diberikan apresiasi, namun belum bisa memenuhi harapan masyarakat. Masyarakat dalam berbagai kesempatan meminta media massa dan jurnalis memberikan porsi yang berimbang bagi setiap peserta pesta demokrasi ini dan tidak terkooptasi oleh para  peserta ini. Namun hal ini tak akan bisa tercapai tanpa kerjasama yang erat antara media massa, jurnalis, pelaksana pesta demokrasi, peserta pesta demokrasi dan elemen masyarakat. Peran serta aktif dari masyarakat dalam menjalankan kontrol terhadap pers menjadi kunci utama untuk mencapai harapan masyarakat itu sendiri.

Akhir kata, AJI Jayapura menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerjasama dengan Jurnalis di Papua dan Papua Barat secara umum dan AJI Jayapura secara khusus. Semoga kerjasama ini tetap terjalin secara kuat di tahun yang akan datang.

Mari bersama-sama mewujudkan profesionalisme Jurnalis dan Pers yang adil dan bertanggungjawab demi pembangunan dan perdamaian di Tanah Papua.

Jayapura, 21 Desember 2013

Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura
Victor Mambor – Ketua

CP : Dian Kandipi (085254893087) – Sekretaris AJI Jayapura
Jack Wally (081248137151) – Kord Advokasi & Serikat Pekerja AJI Jayapura


Sumber :  www.tabloidjubi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar