Pages

Pages

Sabtu, 16 November 2013

PERISTIWA INTEGRASI PAPUA UNTUK SIAPA..?

Integrasi West Papua ke Indonesia (foto,IST/http://jaringnews.com)
Oleh : YANCE A GOBAY

Peristiwa integrasi Papua dalam bingkai NKRI kini masih menarik perhatian berbagai pihak. Tentunya, mereka juga memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam mengenang hari ulang tahun kemerdekaan RI ke 50 yang lalu. Mereka pun mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam medan pertempuran dengan para penjajah Belanda.

Tidak hanya itu, mereka lagi pula mengenang segala kegagalan dan kesusksesan, keuntungan dan kerugian yang terbentang dalam sejarah tersebut (baca Papua Pos: Papua Peringatan 50 Tahun Kembalinya Papua ke dalam NKRI Rabu, 01 Mey 2013, hal. 1). Lagi pula, Papua sampai kini masih mengalami sebagai warga kelas dua. 

Martabatnya semakin hancur bagaikan kepingan-kepingan emas dan pertama. Itulah wajah integritas Papua dalam NKRI. Tapi pertanyaan mendasar adalah integrasi dari apa dan untuk siapa?
Perbedaan Ideologi

Rakyat asli Papua biasa mengakui bahwa mereka adalah manusia sejati. Itu artinya mereka berada sebagai manusia sempurna sejak semula. Kesejatianya mulai semakin berpotensi dalam segenap realitas Papua. 

Syarat sebagai manusia sejati yakni mereka memiliki norma dan hukum moral yang terbatas, punya filosofi hidup, alam yang kaya raya bagai surga dunia, 250 an suku bangsa Papua dan memiliki tatapan akan kebahagiaan secara sejati pula. Semua kriteria ini pernah dihayati sejak mereka ada sebagai manusia sejati sampai sekarang dan di sini. Ini juga menjadi ingatan bersama dalam sejarah hidupnya.

Dalam kaitan dengan ideologi Papua, orang luar juga pernah mengakuinya secara baik adanya. Salah satu contoh gamblangnya yakni pemerintah Belanda. Ia mengakui ideologi bangsa Papua dengan ikut mengumandangkan lambang kenegraan yakni sangsaka bendara bintang kejora, lagu kebangsaan “Hai Tanah-ku Papua”, dan struktur kabinet dan burung mambruk sebagai lambang kedaulatan kemerdekaan bangsa Papua. 

Peristiwa kemerdekaan ini pernah dihayati di seluruh Tanah Air Papua sejak 1 Desember 1961, di bawah pengawasan Kerajaan India Belanda di Holandia, sekarang dikenal dengan (Jayapura).

Meskipun demikian, akan tetapi pemerintah RI mengekspresikan sebuah ideologinya secara berbeda dan keliru. Perbedaan ideologi itu dinyatakan pemerintah RI melalui peristiwa Trikora di alun-alun Yogyakarta 1 Mey, 1961. 

Melalui peristiwa Trikora, Presiden Sukarno mengumandangkan tiga pesan mendasar yakni menghancurkan Negara Papua Barat buatan Negara Belanda Boneka, mempercepat mobilisasi massa, memperluas militerisme di Tanah Papua. Sampai kini, tiga amanat ini masih merupakan misi dunia koloni dalam mengelolah alam dan manusia Papua demi kepentingan ekonomi dan pilitik semu belaka (selanjutnya….anda baca gejala Papua).
Derita Papua

Eksistensi penderitaan Papua masih semakin gencar bertumbuh sumbur di Papua. Mereka dibuat berada dari penderitaan dan tangisan untuk bersatu dalam NKRI. Penderitaan Papua tentunya menjadi makanan harian di sana-sini, karena masih ada tindak kekerasan dan konflik dari pemerintah RI atas rakyat asli dan alam Papua. 

Rakyat asli dan alam Papua semakin merasa tidak aman dan damai justru karena pemerintah RI lebih mencintai pendekatan kekerasan dan konflik. Kekerasan adalah teman sejati bagi pemerintah RI. Ia lahir, hidup dan mati dari mama kekerasan. Kekerasan harus dialamatkan oleh mereka kepada rakyat asli dan alam Papua.

Menurt mereka, kekerasan adalah jalan tertbaik selagi kotak integrasi masih bergema dalam Papua, atau integrasi Papua dalam NKRI. Damai menjadi suatu kenyataan seperti sebelum integrasi Papua dalam NKRI, jika pendekatan kekerasan ini tidak digunakan oleh pemerintah RI. Mereka juga tidak pernah akan mempercayai pemerintah jika kekerasan ini masih semakin terus digunakan dalam menyenyelesaikan konflik Papua.

Sebaliknya, rakyat asli Papua akan merasakan makna integrasi jika pemerintah RI mau baik-baik saja dengan rakyat asli dan alam Papua. Namun, upaya kedamaian dari orang Papua hanyalah semakin menjadi mimpi di siang bolong. Mereka termakan secara terus menerus dalam kotak integrasi tersebut.

Realitas penderitaan Papua ini lahir dan terbentuk secara metodis, berkaitan dan tersistematis ketika Papua direbut oleh pemerintah RI, 1 Mey 1961. Eksistensi penderitaannya kemudian dilegalkanya lagi melalui proses PEPERA (1969), meskin dinilai tidak demokratis sesuai hukum internasional oleh rakyat Papua dan para pencinta kebenaran di dunia. 

Sementara pemerintah RI masih terus-menerus hidup dari eksistensi derita Papua. Papua adalah sumber dan puncak kehidupan bagi mereka. tanpa derita Papua, maka mereka tidak akan pernah merasakan kehidupan yang baik dan damai.

Karena itu, kita tidak heran jika alam dan manusia Papua diberadakan secara tersistematis dan metodis dalam konflik dan kekerasan pemerintah RI. Itu namanya, integrasi derita Papua, bukan integrasi Papua tanah damai.

Saya pikir, pemerintah Indonesia mesti menghayati integrasi Papua dalam pengeritian yang semakin mendalam. Anda jangan lagi membuat eksistensi alam dan manusia Papua dalam dunia konflik dan kekerasan yang memisahkan integrasi Papua dalam NKRI Karena Papua Merdeka Hak rakyat Papua landasan diatas kekayaan maka NKRI Sadar diri bineka tunggal ika. 

Karena kita adalah makhluk integral. Tidak ada darah merah dan puti, gelap dan terang di antara kitorang. Kita ini satu, ika dan sama-sama manusia dalam NKRI. Namun makna integrasi itu dapat menjadi lebih baik lagi di muka dunia hanya apabila ada dialog nasional, bahkan dialog internasional. Seperti yang diperjuangkan oleh rakyat Papua . 

Jika tidak demikian, kita tidak akan pernah menemukan makna integrasi Papua dalam NKRI.*** 

Penulis adalah
YANCE A GOBAY Kepsek SMK YPPGI Timika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar