Pages

Pages

Sabtu, 16 November 2013

OAP Minoritas di Atas Tanahnya: Tidak Boleh Terjadi!

Aliansi Mahasiswa Papua ketika demo di Yogyakarta. Foto: Dok. MS
Yogyakarta -- Pulau Papua yang kaya, luas, dengan penduduknya yang sedikit, tidak bisa ditampik lagi, telah manjadi solusi tersendiri bagi kepadatan penduduk di pulau Jawa dan sekitarnya. Terbukti, sejak Papua dianeksasi melalui Pepera 1969, program Transmigrasi pun digalang. Dan, perpindahan penduduk besar besaran ke tanah Papua terjadi. 
 
Saat ini, Papua telah menjadi 2 Provinsi, dengan puluhan kabupatennya. Pemekaran menjadi pembuka isolasi bagi datangnya pendatang ke tanah Papua.
Pada 3 tahun lalu, tahun 2010, penelitian menunjukan populasi penduduk Papua di atas tanah Papua adalah 40%, berbading 60% untuk pendatang. Saat ini, sudah 3 tahun berselang sejak penelitian itu.
 
"Papua benar-benar akan dikuasai pendatang. Papua jadi minoritas di atas tanah airnya sendiri. Sementara mereka (OAP) juga dikuasai dalam dunia bisnis, pasar dan beberapa aspek lainnya," elas perwakilan dari paguyuban Sorong Selatan, ketika diskusi bebas tentang persoalan umum di Tanah Papua yang dibuat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Asrama Kamasan I Papua, Rabu (13/11/13) malam.
 
Dia mengaku, ayahnya bekerja pada bagian itu di kabupaten Sorong. Katanya, bahkan pendatang dari luar Papua telah memiliki KTP Papua sebelum mereka injak tanah Papua.
 
"Jadi pegitu injak Sorong langsung mobil su siap jemput mereka. Mereka naik, alngsung dibagi KTP san jadi warga Sorong," jelas perwakilan paguyuban Sorong Selatan ini sambil menggeleng-gelengkan kepala.
 
"Padahal," kata dia lagi, "di Jogja ini, saya sangat sulit mendapat KTP. Jangan KTP, KTP sementara Warga Jogja saja susah. Urusannya ribet. Baru di Papua, belum injak tanah, KTP su jadi. Ada apa ini?" katanya bingung.
 
Mahasiswa lain dari paguyuban yang sama menambahkan, bahkan mereka dikawal oleh TNI/Polri, sehingga keamanan mereka terjamin. Namun ulah militer kadang meresahkan warga asli. Karena kata dia, bila pendatang itu membuat ulah, yang salah tetap dan hampir pasti adalah warga asli Sorong.
 
Tanah Kelas Satu Milik Pendatang
Masalah lainnya adalah, bahwa tanah-tanah yang di tengah kota, dengan gampangnya beralih tangan kepada pendatang. Kadang, warga asli di tipu dengan motor, seperti pengakuan John dari Dogiyai, atau seperti pengakuan mahasiswa perwakilan dari Lany Jaya dan Tambraw, bahwa pendatang datang, langsung menguasai tanah-tanah kelas satu, yang berada di pusat kota.
 
"Jadi, mau tidak mau warga asli Papua harus mundur menuju hutan di pegunungan. Kota dikuasai pendatang yang datang," katanya sedih melihat realita yang ada.
 
"Kelak," katanya menyambung, "Bisa jadi orang Papua jadi seperti suku Aborigin, pemilik tanah Australia yang bahkan dikarantina. Atau seperti penduduk asli Jakarta, yang malah menjadi penghuni perumahan kumuh di pinggir kali-kali penuh sampah di kota mertopolitan Jakarta."  (MS/Topilus B. Tebai)

Sumber : www.majalahselangkah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar