Oleh : Longginus Pekey
Integrasi
Papua Barat ke dalam Indonesia adalah suatu konspirasi politik antara beberapa
pihak, yaitu Amerika, Belanda elit politik Jakarta dan elit politik Papua
Barat. Konspirasi itu dilandasi oleh kepentingan masing-masing pihak dan
akhirnya mengorbankan dan menginjak-injak harkat dan martabat mayoritas
masyarakat Papua.
Kepentingan
yang dominan adalah ekonomi. Penegakan sejarah sangatlah penting untuk
membuktikan suatu kebenaran[[i]]. Karena,
dengan menuliskan dan dengan memahami sejarah masa lalu, sebuah identitas bisa
ditemukan pandangannya dan setiap orang bisa belajar darinya[[ii]].
Otis
Simopiaref (2002) menyatakan, sejarah harus diteliti kembali di mana lembaran
hitam harus diputihkan dan yang bengkok harus diluruskan, kalau tidak
perdamaian dunia tidak akan pernah tercapai.[[iii]]
Selanjutnya, Dr. George Junus Aditjondro (2000:3)
mengatakan, "Sejarah satu komunitas adalah jati diri dan sekaligus imajinasi
mengenai hari depan dari komunitas itu sendiri."[[iv]]
Paradigma Elit Jakarta dalam Integrasi Papua
Alasan historis dan ekonomi menjadi semangat nasionalisme elit Jakarta dalam mengintegrasikan Papua Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Alasan historis terkait dengan teritorial sebagai wilayah dari kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan Tidore Ternate dan sebagai daerah jajahan Hindia - Belanda. Lebih cenderung disebut memiliki sejarah yang sama.
Paradigma Elit Jakarta dalam Integrasi Papua
Alasan historis dan ekonomi menjadi semangat nasionalisme elit Jakarta dalam mengintegrasikan Papua Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Alasan historis terkait dengan teritorial sebagai wilayah dari kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan Tidore Ternate dan sebagai daerah jajahan Hindia - Belanda. Lebih cenderung disebut memiliki sejarah yang sama.
Benarkah
itu?
Kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan Tidore pernah sampai ke daerah Papua. Tidak
tercatat secara de facto dan de jure bahwa Papua Barat sebagai daerah taklukan
mereka, karena pada saat itu yang dibangun adalah hubungan dagang/ekonomi.
Indonesia pun baru sebagai negara (politik) didirikan pada 17 Agustus 1945.
Benar, bahwa Papua adalah daerah yang pernah diduduki oleh Belanda. Dan terjadi
eksploitasi terhadap kekayaan alam. Tetapi, aneksasi terhadap Papua Barat oleh
Belanda maupun elit Jakarta berdasarkan Proklamasi dan UUD 1945 adalah sepihak,
tidak melibatkan orang Papua Barat. Tidak ada kesamaan nasib dalam sejarah
dalam mengahadapi Belanda. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) Belanda
telah menempatkan Papua Barat langsung di bawah Belanda.
Alasan ekonomi terkait dengan kekayaan alam Papua. Dengan kedok kesatuan politik,
sebenarnya elit Jakarta memandang Papua sebagai sumber dari kekayaan negara,
banyak terdapat kekayaan alam mineral, hutan, laut dan lainnya. Bagi elit
Jakarta, Papua Barat harus direbut dari Belanda dan harus dipertahankan dengan
cara apa pun.
Nasionalisme Pendiri Bangsa
Ensiklopedia popular mendefinisikan nasionalisme sebagai paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan nasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat dan maju dalam satu kesatuan bangsa negara dan cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara serta mengabadikan identitas persatuan, kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan negara kebangsaan yang bersangkutan [[v]].
Nasionalisme Pendiri Bangsa
Ensiklopedia popular mendefinisikan nasionalisme sebagai paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan nasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat dan maju dalam satu kesatuan bangsa negara dan cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara serta mengabadikan identitas persatuan, kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan negara kebangsaan yang bersangkutan [[v]].
Nasionalisme
atau paham kebangsaan itu bisa disederhanakan sebagai semangat cinta bangsa dan
cinta tanah air (patriotisme) memang memunyai perwujudannya. Pada zaman masa
revolusi untuk menegakkan negara bangsa, semangat kebangsaan terwujud jelas
antara lain dengan mengangkat senjata mengusir musuh sebagai tentara atau suka
relawan, (Sutarjo Adisusili, 1996: 1). Itu berarti sama seperti dikatakan Hans
Kohn, dalam bukunya "Nasionalisme Arti dan Sejarah" bahwa nasionalisme adalah
suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus
diserakan kepada negara bangsa (Hans Khon,1984: 14).
Secara etimologis Nasionalisme berasala dari bahasa latin Natio yang berarti
bangsa yang dipersatukan karena kelahiran, dari kata Nasci yang berarti
dilahirkan. Maka jika dihubungkan secara obyektif ada beberapa factor lahirnya
nasionalisme, seperti bahasa, ras, agama, dan peradaban (zivilization),
wilayah, negara, dan kewarganegaraan (Hansk Kohn, melalui Natalis, 2000: hal
14).
Carton
J. H. Hayes membagi dua factor penyebab lahir dan tumbuhnya nasionalisme. Pertama
faktor obyektif yang paling lazim dikemukakan adalah faktor politik
(penjajahan), faktor sosial, faktor ekonomi, faktor budaya, dll. Kedua, faktor
subyektif, seperti Dogma, ide pemikiran, dll (J.H. Hayes, Adisusilo, 1998: 1).
Faktor-faktor lahir dan tumbuhnya nasionalisme dari waktu ke waktu dapat
berubah, misalkan perubahan nasionalisme Indonesia, pada zaman prakemerdekaan
berbeda dengan zaman kemerdekaan.
Di Indonesia, nasionalisme prakemerdekaan tumbuh dan berkembang untuk melawan
kolonial Belanda. Itulah sebabnya pada saat perjuangan kemerdekaan Indonesia
semangat nasionalisme tidak terpisahkan dari kesadaran sejarah kaum terpelajar.
Kaum tepelajar dan mahasiswa terus berjuang mengubah polo perlawanan yang
bersifat kedaerahan menjadi perlawanan secara bersama melalui berbagai
organisasi yang dibentuk seperti, Budi Utomo dan lainnya.
Puncak dari nasionalisme Indonesia terbentuk
pada tahun 1928 dengan mengikrarkannya Sumpah Pemuda. Jelas-jelas tidak ada
Jong Papua di sana.
Papua
Barat telah menjadi perdebatan Indonesia-Belanda. Aspek nasionalisme kebangsaan
yang dipandang para elit politik pendiri Indonesia di Jakarta dalam usaha
mengintegrasikan Papua Barat adalah:
Pertama, dari aspek histories.
Mereka menempatkan nasionalisme kebangsaan yang akan dibangun berdasarkan
teritorial. Menurut Yamin dan Soekarno kalaim teritorial atas Papua Barat,
Malaya dan Pilipina karena alasan histories sebagai wilayah bagian dari
kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai cikal bakal dari berdirinya Indonesia.
Bisa
dibilang ini kekeliruan karena Sriwijaya, Majapahit merupakan negara tersendiri
yang memiliki sistem pemerintahannya terlepas dari sistem pemerintahan modern
yang dianut oleh Indonesia.
Nasionalisme
teritorial dalam sejarah perjuangan Indonesia tidak sepenuh hati
menerima perjanjian Rom-royem, Renvile yang memperkecil wilayah
Indonesia.
Kemudian gagasan RIS dan Federal untuk Indonesia tidak memuaskan bagi
elit
politik yang pada saat itu berkuasa. Dalam Rapat Besar Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) para elit politik Jakarta
memandang
semua daerah bekas jajahan Belanda sebagai bagian dari NKRI.
Pemikiran
itu pernah diungkapkan Moh. Yamin yang kemudian ditanggapi oleh Moh. Hatta
dengan mengatakan pemikiran Yamin terkesan sangat imperialis. Soekarno
membantah pendapat Hatta dengan berpandangan tidak hanya Papua dan Malaya,
bahkan Sukarno secara teritorial menghendaki Pan Indonesia yang meliputi
Pilipina, Malaya dan Papua, namun Pilipina telah merdeka lebih dahulu (Risalah
BPUPKI, 1995: 148-152).
Nasionalisme teritorial yang dibangun oleh teori-teori Moh. Yamin dan Soekarno
dalam Rapat Besar BPUPKI pada Juli 1945 menurut Mohamat Hatta tidak ada bedanya
dengan nasionalisme yang pernah dibangun Jerman Kultur und Boden. Ia sebagai
dasar dari imperialisme yang dimajukan oleh Jerman meluap keluar dan mau
menjajah Oosternritjk dan Cekoslovakia. Hatta lebih menekankan kepada forum
agar mengajak para pemuda-pemudi berpikir realistis dan menghilangkan nafsu
yang mau meluap keluar, mengubah tujuan menjadi meluap ke dalam, membangun negara
dengan sebaiknya dan mempertahankan negara dengan sehebat-hebatnya.
Oleh
karena itu, Hatta berpendapat bahwa biarkan bangsa Papua dan Malaya diserahkan
kepada masyarakatnya sendiri. Hatta mengakui bahwa mereka juga punya hak untuk
merdeka.
Kedua adalah nasionalisme yang dibangun atas aspek manusia di dalamnya yaitu
seperti aspek sosio kulturnya. Moh. Yamin pernah membangun teori dalam rapat
BPUPKI. Ia mengatakan bahwa orang Papua
Barat memiliki Ras yang sama dengan ras Melayu. Namun dibantah oleh Hatta.
Dalam
tulisan ini, saya tidak perlu membahasnya, karena ini tidak mungkin seperti yang
tampak pada ciri fisik antara kedua ras tersebut. Kecuali, sebagai penghuni
dunia dan ciptahan Tuhan dilengkapi dengan akal sehat.
Ketiga, faktor ekonomi. Papua Barat sangat kaya raya dengan luas wilayah
sekitar 3 kali lebih dari pulau Jawa. Secara geogrfis berada di pintu gerbang
Samudra Pasifik. Ia memiliki fungsi militer-politis sangat vital dan memiliki
sumber kekayaan alam yang sangat berfariasi dengan kualitas dan kuantitas
sangat potensial. Ada emas, timah, platina, biji besi, batu bara, minyak,
kaolin dan juga uranium.
Dengan
alasan ekonomi inilah, elit politik Jakarta berkonspirasi dengan kapitalis
(Amerika) dalam mengintegrasikan Papua Barat. Ini terbukti dengan kehadiran PT.
Freeport Indonesia (PT FI) pada tahun 1967 yang aneh.
Karena:
Pertama, Papua belum sah menjadi
bagian dari Indonesia, tetapi Soeharto telah meneken masuknya PT FI ke Erstberg
di Timika, tanah Papua.
Kedua,
PT FI telah masuk ke Erstberg jauh sebelum UU penanaman modal asing (PMA) Nomor
1 tahun 1967 itu disahkan. Berarti, UU PMA itu dibuat memfasilitasi dan
mempermulus PT FI. Sampai saat ini merupakan sumber pendapatan Jakarta dan
Amerika terbesar. Dan, sumber
penderitaan terbesar bagi orang Papua Barat.
Nasionalisme
yang dibangun elit politik Jakarta itu tidak beda, sepeti ideologi komunis atau
kapitalis yang menjadi agaman baru bagi masyarakat dunia. Sama halnya nasionalisme
Indonesia yang dibangun oleh elit politik Jakarta melalui sistem politik,
ekonomi, pendidikan, juga melalui pelatihan serta kepemudaan dan simbol-simbol
seperti bendera kebangsaan, bahasa nasional melalui pelatihan, organisasi
kepemudaan, dan lainnya.
Itu
hanya sebatas hegemoni kekuasaan untuk melakukan Jawanisasi di Papua Barat.
Sehingga bagi penduduk Papua Barat merupakan sesuatu yang baru tanpa tahu
maknanya dan harus mengikutinya. Dengan begitu, jelas sudah nasionalisme menjadi
suatu dogma bagi masyarakat.
Nasionalisme yang dibangun oleh elit politik Jakarta mengedepankan militer. Tidak
ada bedanya dengan penyatuan wilayah nusantara yang pernah dilakukan oleh Patih
Gajah Mada pada masa kerajaan Majapahit.
Daniel
Dhakidae pada bagian pengantar buku karya Benedict Anderson "Imagined Communities" menyebutkan dua kata yaitu Jaladi Mantri dalam arti sesungguhnya
adalah Armada dan itu tidak lain dari ABRI. Ketika Trikora dikumandangkan padat
tahun 1963 untuk merebut Papua Barat tidak lain yang lebih didahulukan adalah
invasi militer dan mobilisasi sosial untuk membangun koloni baru di Papua
Barat.
Demi
membangun koloni Indonesia di Papua, militer dikirim untuk membunuh semagat
nasionalisme etis Papua (Melanesia) yang sedang terbangun. Kehadiran militer
Indonesia di Papua Barat dengan berbagai bentuk intimidasi secara fisik,
seperti melakukan pembunuhan terhadap mereka yang pro Belanda ataupun yang
bercita-cita membentuk Negara Bangsa sendiri. Penindasan mental, seperti usaha
sentralisasi dalam segala aspek kehidupan dengan tujuan mematikan nasionalisme
melanesia telah terus dibangun.
Perjanjian New York 1962 dan Pepera 1969
Soal gugatan terhadap New York Agreement dan Pepera. Mengapa Perjanjian Pasal 2 di tetapkan penyerahan wilayah Papua kepada UNTEA (PBB) dan selanjutnya dari UNTEA (PBB) menyerahkan kepada Indonesia?
Soal gugatan terhadap New York Agreement dan Pepera. Mengapa Perjanjian Pasal 2 di tetapkan penyerahan wilayah Papua kepada UNTEA (PBB) dan selanjutnya dari UNTEA (PBB) menyerahkan kepada Indonesia?
Pada tanggal 1 Oktober 1962 pemerintah wilayah menyerahkan wilayah Papua kepada
PBB dan United Nations Temporary Excutive Authority (UNTEA). UNTEA hanya menguasai
Papua selama 6 bulan. Tanggal 1 Mei 1963 adalah penyerahan wilayah Papua Barat
secara resmi kepada Indonesia oleh PBB, pada waktu itu disebut dengan UNTEA.
Yang
berlu disoroti adalah UNTEA sebagai lembaga Internasional sepatutnya terus
berada di Papua sampai pelaksanaan penentuan nasib sendiri orang-orang Papua.
Tetapi yang terjadi adalah penyerahan wilayah Papua secara resmi ke dalam
kekuasaan Indonesia tanpa prosedur penentuan nasib sendiri.
Mengapa Perjanjian Pasal 7 dam 13 disetujui menggunakan kekuatan-kekuatan militer Indonesia sebelum Papua menjadi bagian wilayah Indonesia?
Mengapa Perjanjian Pasal 7 dam 13 disetujui menggunakan kekuatan-kekuatan militer Indonesia sebelum Papua menjadi bagian wilayah Indonesia?
Bertitik tolak dari penyerahan wilayah Papua secara resmi ke dalam wilayah
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka untuk mengendalikan keamanan di wilayah
Papua digunakan kekuatan-kekuatan militer Indonesia. Jika benar-benar mau
dilaksanakan penentuan nasib sendiri orang-orang Papua berdasarkan hukum dan HAM
dan praktek internasional, lebih terhormat, bermartabat dan manusiawi maka yang
patut memegang kendali keamanan di Papua sebelum penentuan nasib sendiri
orang-orang Papua adalah UNTEA yang di dalamnya adalah Dewan Keamanan PBB.
Beberapa kali UNTEA (PBB) memberitahukan kepada orang-orang Papua sesuai dengan Perjanjian Pasal 10 tetang penyerahan pemerintah dari UNTEA kepada Indonesia untuk melaksanakan tugas UNTEA yang sangat berat dengan tiga alasan.
Beberapa kali UNTEA (PBB) memberitahukan kepada orang-orang Papua sesuai dengan Perjanjian Pasal 10 tetang penyerahan pemerintah dari UNTEA kepada Indonesia untuk melaksanakan tugas UNTEA yang sangat berat dengan tiga alasan.
Pertama, PBB telah
terlibat dalam konspirasi politik untuk mengabaikan hak-hak asasi dan martabat
orang Papua untuk menentukan nasib sendiri di negeri dan tanah airnya sendiri.
Kedua, UNTEA memunyai
waktu yang sangat terbatas dan juga jangkauan komunikasi yang sangat sulit
untuk berkomunikasi dengan orang-orag Papua, secara khusus yang berada di
daerah-daerah pedalaman.
Ketiga, pemerintah sengaja menghalang-halangi pekerjaan PBB di
Papua Barat waktu itu.
Mengapa Perjanjian Pasal 12 ditetapkan PBB, penyerahan semua atau sebagian bahkan penyerahan kembali pemerintah penuh kepada Indonesia?
Mengapa Perjanjian Pasal 12 ditetapkan PBB, penyerahan semua atau sebagian bahkan penyerahan kembali pemerintah penuh kepada Indonesia?
Orang-orang Papua belum menyatakan bergabung dengan Indonesia atau merdeka
sendiri dari tanah dan negerinya sendiri. Tetapi, kenyataan politik adalah PBB,
Amerika, Belanda sudah menyerahkan orang-orang Papua ke tangan Indonesia
melalui Perjanjian New York ini. Dan secara resmi diserahkan tanggal 1 Mei 1963
dan PBB pergi meninggalkan orang-orang Papua tanpa bertanggung jawab atas nasib
masa depan orang-orang Papua. Orang-orang Papua tidak menentukan nasib sendiri
sesuai dengan Perjanjian New York, Penentuan nasib sendiri orang-orang Papua
sesuai dengan praktek internasional
Mengapa Pasal 14 disetujui untuk pelaksanaan undang-undang dan peraturan-peraturan Indonesia sebelum Papua menjadi bagian sah wilayah Indonesia?
Mengapa Pasal 14 disetujui untuk pelaksanaan undang-undang dan peraturan-peraturan Indonesia sebelum Papua menjadi bagian sah wilayah Indonesia?
Orang-orang Papua belum menyatakan bergabung dengan Indonesia atau berkehendak
berdiri sebagai suatu bangsa yang berdaulat melalui penentuan pendapat rakyat.
Tetapi, dalam perjanjian pasal 14 telah disetujui dan ditetapkan oleh PBB,
Amerika, Belanda dan Indonesia, bahwa di Papua diterapkan undang-undang dan
peraturan-peraturan Indonesia.
Yang
menentukan orang-orang Papua untuk tinggal dengan Indonesia dan mengakui
undang-undang dan peraturan-peraturan orang-orang Indonesia adalah PBB,
Amerika, Belanda dan Indonesia, bukan orang Papua.
Apakah pemerintah Indonesia sungguh-sungguh melaksanakan Perjanjian Pasal 15 tentang pendidikan dan pembangunan sosial, budaya dan ekonomi di Papua Barat sebelum PEPERA 1969?
Apakah pemerintah Indonesia sungguh-sungguh melaksanakan Perjanjian Pasal 15 tentang pendidikan dan pembangunan sosial, budaya dan ekonomi di Papua Barat sebelum PEPERA 1969?
Pasal ini sedikit dilaksanakan di daerah-daerha perkotaan, tetapi lebih
berhasil adalah menempatkan orang-orang Papua yang rival (lawan) pemerintah
Indonesia dengan stigma OPM dan separatis, sehingga militer Indonesia secara
leluasa meneror, intimidasi, intervensi, mengejar, menangkap, memenjarakan,
menyiksa, membunuh, menculik menghilangkan, dan memperkosa orang-orang Papua.
Ini
terbukti dengan pasal 7 dan 13 yang ditetapkan untuk pasukan-pasukan Indonesia
menguasai Papua untuk melawan orang Papua yang menyatakan pendapat politik yang
berbeda dengan orang Indonesia. Dan juga, perjanjian pasal 14 untuk
melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan Indonesia di Papua Barat.
Mengapa Perjanjian Pasal 16 ditetapkan tentang keberadaan dan tugas PBB di Papua harus mendapat pertimbangan dari Indonesia?
Mengapa Perjanjian Pasal 16 ditetapkan tentang keberadaan dan tugas PBB di Papua harus mendapat pertimbangan dari Indonesia?
Keberadaan dan tugas PBB di Papua harus medapat pertimbangan dari Indonesia,
karena Indonesia memunyai wewenang atas wilayah Papua. Sehingga angota PBB yang
bertugas di Papua sebagai orang asing sehingga harus meminta petimbangan dari
pemerintah Indonesia, karena Perjanjian New York telah ditetapkan pada tnggal 15
Agustus 1962 mewarnai kepentingan Amerika, dan Indonesia. Nasib orang-orang
Papua di atas negeri dan tanah airnya diabaikan.
Mengapa perjanjian Pasal 17 ditetapkan bahwa pelaksanaan PEPERA 1969 adalah tanggung jawab Indonesia?
Mengapa perjanjian Pasal 17 ditetapkan bahwa pelaksanaan PEPERA 1969 adalah tanggung jawab Indonesia?
Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat adalah hanya sebuah usaha sandiwara oleh
PBB, pemerintah Indonesia dan Belanda. Karena itu, pemerintah Indonesia merasa
bertanggung jawab untuk melaksanakan PEPERA 1969 sebagai usah formalitas saja.
Pada kenyataannya wilayah Papua Barat sudah diserakan secara resmi pada tanggal
1 Mei 1963 oleh UNTEA (PBB) sesuai dengan perjanjian ini. Ini adalah konspirasi
politik internasional yang melecehkan dan mengkhianati hak-hak asasi dan martabat
manusia pada umumnya dan martabat orang-orang Papua.
Mengapa Perjanjian Pasal 18-d tidak dilaksanakan sesuai praktik Internasional ?
Perjanjian pasal 18-d tidak dilaksanakan sesuai praktek internasional karena
dua alasan mendasar. Pertama, Papua
sesudah diserahkan kepada Indonesia secara resmi oleh PBB, Amerika, Belanda,
melalui perjanjian ini dan diwujudkan pada tanggal 1 Mei 1963.
Kedua, berdasarkan kesepakatan Italia, Roma, tanggal 20 s.d. 21
Mei 1969 antara Menteri Luar Negeri J.M.A.H. Luns, Mentri Bantuan Pembangunan
Belanda B.J.Undink, dan Mentri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik. Bunyi kesepakatannya adalah "Mentri
Luar Negeri Indonesia menyatakan posisi Pemerintah Indonesia mengenai Kebebasan
Memilih yakni bahwa mengingat pertimbangan-pertimbangan praktis dan teknis, maka
sistem Indonesia 'Musyawarah' merupakan cara yang terbaik"[[vi]]
Mengapa Perjanjian Pasal 21 ditetapkan bahwa hasil penentuan nasib sendiri orang-orang Papua hanya dilaporkan oleh Indonesia dan PBB kepada Sekretaris Jendral PBB untuk dilaporkan dalam Sidan Umum PBB?
Mengapa Perjanjian Pasal 21 ditetapkan bahwa hasil penentuan nasib sendiri orang-orang Papua hanya dilaporkan oleh Indonesia dan PBB kepada Sekretaris Jendral PBB untuk dilaporkan dalam Sidan Umum PBB?
Jikalau PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia benar-benar memikirkan masa depan orang
orang Papua, langkah bijaksana dan penting yang perlu ditempuh adalah: pertama, UNTEA tidak harus menyerahkan
Papua kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, tetapi UNTEA seharusnya
menguasai Papua sampai penyelesaian pelaksanaan penentuan nasib sendiri
orang-orang Papua.
Kedua, pihak
Indonesia yang sedang bertikai dengan Belanda tentang status politik Papua
Barat, seharusnya tidak dilibatkan dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri
orang-orang Papua.
Ketiga,pemerintah
Indonesia seharusnya tidak diijinkan menerapkan undang-undang dan
peraturan-peraturan nasional Indonesia serta menempatkan pasukan-pasukan
Tentara Nasional Indonesia di Papua Barat, sebelum orang Papua menyatakan
pilihan kehendaknya bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai
suatu bangsa berdaulat berdasarkan penentuan nasib sendiri.
Mengapa UNTEA dan Indonesia tidak melaksanakan secara sungguh-sungguh Perjanjian Pasal 22 tentang jaminan keamanan dan kebebasan orang-orang Papua?
Mengapa UNTEA dan Indonesia tidak melaksanakan secara sungguh-sungguh Perjanjian Pasal 22 tentang jaminan keamanan dan kebebasan orang-orang Papua?
Tampak sekali bahwa PBB, Amerika, Belanda, Indonesia tidak memikirkan masalah
jaminan keamanan dan kebebasan orang-orang Papua di atas tanah dan negeri
mereka sendiri. Yang menjadi tujua utatama Amerika, Indonesia adalah sumber
daya alam di Papua Barat.
Jadi,
masalah jaminan keamanan dan kebebasan orang-orang Papua Barat bukanlah urusan
Amerika, PBB dan Indonesia. Perjanjian Pasal 22 hanya sebagai upaya untuk
menghindari tekanan-tekanan dunia internasional dari beberapa negara anggota PBB
yang akan mempersoalkan laporan hasil-hasil rekayasa PEPERA 1969 yang
dilaksanakan di Papua Barat.
Perjanjian New York Abaikan Pro
Merdeka
Perjanjian
New York 15 Agustus 1962 yang terdiri dari 29 pasal ini, nasib orang Papua yang
pro-merdeka tidak diatur dalam satu pasal pun. Perjanjian New York yang terdiri
dari 29 Pasal itu melecehkan hak-hak asasi orang Papua yang pro-merdeka.
"Dalam perjanjian New York 15 Agustus 1962 tidak dibahas dan ditetapkan dalam
satu pasal pun tentang nasib orang Papua yang berpendirian kuat untuk merdeka
di tanah airnya. Apakah dalam pasal-pasal perjanjian New York ada tersirat
tentang kepentingan Rakyat Papua yang pro-Merdeka? Perjanjian New York sangat
mengabaikan hak-hak asasi Rakyat Papua yang pro-Merdeka."[[vii]]
Pengabaian nasib orang Papua yang pro-merdeka dalam Perjanjian New York adalah
pelanggaran hak asasi Rakyat dan bangsa Papua yang pro-merdeka. Ideologi dan
nasionalisme sebagai bangsa Papua Barat sudah tumbuh dan berkembang di hati dan
pikiran orang Papua sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan bangsanya
pada tanggal 17 Agustus 1945.
Jika perjanjian New York 15 Agustus 1962 secara jujur dirumuskan menentukan
nasib sendiri (self determination) untuk digunakan praktek internasional,
berarti hak-hak setiap orang Papua patut mendapat perhatian utama termasuk di dalamnya
adalah bagi yang pro-merdeka.
Rakyat
Papua anti Indonesia dapat dikatakan 99% waktu itu. Sebaliknya, pro-Indonesia
adalah beberapa kelompok yang digalang oleh Indonesia, kebanyakan orang-orang
yang berasal dari Indo-Belanda, Jawa, Manado, Makassar, Buton, Bugis, dan
Ambon, kebanyakan non-Papua yang tinggal di Manukwari dan Hollandia (Jayapura).
Tidak dibicarakannya nasib orang Papua pro-merdeka dalam 29 Pasal Perjanjian
New York disebabkan karena Perjanjian New York itu hanya kepentingan politik
dan ekonomi Amerika dan Indonesia dengan tujuan untuk menguasai sumber daya
alam di tanah Papua. Keberpihakan Perjanjian New York untuk Indonesia sangat
menonjol dalam seluruh isi Perjanjian New York.
Ia sesungguhnya
hanya sebagai suatu instrumen internasional untuk mengejar, menangkap,
membantai, memperkosa, menyiksa, memenjarakan, dan membunuh seluruh penghuni
bumi Papua Barat. "..menurut perspektif rakyat Papua, Perjanjian New York
merupakan awal penangkapan, pembantaian, pemerkosaan, penyiksaan, pemenjaraan,
pembunuhan, penjarahan,dan penindasan hak-hak asasi rakyat Papua Barat."[[viii]]
Seluruh isi perjanjian New York sebagai kesalahan fatal yang dilakukan oleh
Amerika, Indonesia, Belanda dan PBB. Tidak ada dasar hukum yang membenarkan
bahwa daerah yang masih dipersengketakan oleh kedua negara, salah satu dari
antara kedua negara yang bersengketa diijinkan untuk menerapkan atauran-aturan
di dalam wilayah yang dipersengketakan.
Pelecehan dan Penghinaan orang Papua
Pasal-pasal
yang disebut di atas menyangkut transfer kewenangan dari UNTEA kepada Indonesia
ini sebagai suatu distorsi yang dilakukan oleh Indonesia, Belanda, Amerika dan PBB dalam
proses pembuatan Perjanjian New York. Berkaitan dengan distorsi sejarah, John
Rimbiak, Supervisor ELSHAM Papua menyatakan:
"Kesalahan sejarah (distorsi hystoris)
yang dilakukan oleh PBB dalam proses transfer kewenangan dari Belanda ke
Indonesia telah menjastivikasi negara Republik Indonesia untuk melakukan
berbagai pelanggaran HAM dalam menciptakan kesejahteraan dan keadilan di Papua
Barat selama tiga dekade lebih" [[ix]]
Penempatan Indonesia di tanah Papua sejak tanggal 1 Mei 1963 secara administrasi
adalah kekeliruan dan kesalahan terbesar dalam sejarah dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di dunia. Dikatakan kesalahan dan kekeliruan karena hak-hak asasi
Rakyat dan bangsa Papua Barat yang bekulit hitam dan berambut keriting yang
ditempatkan Tuhan di bumi Papua sangat dilecehkan dan dihina.
Hak-hak dan kebebasan rakyat Papua benar-benar tidak dijamin. Walaupun hak-hak
dan kebenaran itu sudah diatur sebagaimana ditetapkan dalam Pasal XIV yang
menyatakan : "bahwa mereka (Indonesia) konsisten dengan hak-hak dan kebebasan
yang dijamin untuk penduduk di bawah persyaratan-persyaratan perjanjian ini"[[x]]
Selanjutnya
dalam Perjaniaan New York itu menegaskan bahwa "UNTEA dan Indonesia menjamin
secara penuh hak-hak, termasuk hak-hak kebebasan berpendapat, kebebasan
bergerak, dan berkumpul, bagi penduduk daerah itu."[[xi]]
Tetapi, kebebasan Rakyat dan Bangsa Papua Barat yang ditetapkan di dalam
Perjanjian New York tersebut benar-benar dirampas, dikhianati oleh pemerintah
Indonesia dengan surat keputusan resmi presiden IR. Soekarno bernomer :
8/Mei/1963 yang menyatakan:
"Melarang/mengahalangi atas bangkitnya
cabang-cabang partai baru di Papua Barat (Iraian Barat). Di daerah Papua Barat
dilarang kegiatan politik dan kegiatan bentuk rapat umum, pertemuan umum,
demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-penumuman,
penyebaran, perdagangan atau artikel, pameran umum, gambar-gambar atau
foto-foto tanpa izin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditujukkan
oleh Presiden."[[xii]]
Surat keputusan (SK) Ir. Soekarno yang dikutip di atas adalah bagian integral
yang tak terlepas dari teror, intervensi, intimidasi, dan rekayasa pemerintah
Indonesia terhadap Rakyat dan Bangsa Papua Barat. Pemerintah Indonesia
benar-benar mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaiman yang
dituangkan dalam Pancasila sebagia ideologi bangsa Indonesia dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Soal PEPERA
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang dilakukan tahun 1969 di Papua menurut peneliti sejarah Belanda, Prof. P.J. Droodlever terjadi manipulasi oleh Indonesia. Kesepakatan New York Agreement yang dilaksanakan pada 15 Agustus 1962 dilanggar baik secara hukum nasional maupun internasional.
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang dilakukan tahun 1969 di Papua menurut peneliti sejarah Belanda, Prof. P.J. Droodlever terjadi manipulasi oleh Indonesia. Kesepakatan New York Agreement yang dilaksanakan pada 15 Agustus 1962 dilanggar baik secara hukum nasional maupun internasional.
Pelaksanaan
PEPERA
tidak sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah kerajaan Belanda
dengan pemerintah Republik Indonesia dalam New York Agreement.
Pelaksanaan PEPERA tidak dilaksanakan sesuai dengan praktek-praktek
kebiasaan internasional dan
hukum internasional. Pelaksanaan PEPERA tidak menggunakan prinsip "One man one vote", satu orang satu suara.
Tetapi menggunakan prinsip perwakilan
(baca: musyawarah).
Dalam
pelaksanaan PEPERA untuk memberikan pendapat apakah Papua Barat merupakan
bagian dari Negara Kesatuan RI atau harus merdeka/terpisah dari RI digunakan
cara utusan mewakili utusan atau wakil mewakili wakil yang terdiri dari 175
wakil dari jumlah utusan sebanyak 1.026 dari delapan Kapupaten di Papua Barat.
Terkait dengan poin di atas, penentuan status Papua Barat tetap dalam negara RI
hanya ditentukan oleh sebagian orang dari 800 ribu penduduk Papua Barat pada
waktu itu. Masih banyak masalah hukum yang menimbulkan tanda tanya menyangkut
pelaksanaan PEPERA tahun 1969 itu. Sah tidaknya terus menjadi perdebatan di tingkat
nasional maupun internasional. Ini penting karena menyangkut pelurusan sejarah
Papua maupun khususnya menyangkut pelaksanaan PEPERA itu.
Gencarnya
tuntutan rakyat Papua Barat itu karena pelaksanaan PEPERA di Papua Barat dinilai
cacat hukum. Hasil PEPERA dipertanyakan dan harus digugat kembali melalui
Mahkamah Internasional. Karena ia adalah konspirasi politik Internasional
antara Amerika, Belanda, Indonesia dan
PBB.
Mereka
telah mengorbankan dan merugikan hak-hak asasi dan martabat manusia, dalam hal
ini orang asli Papua Barat. Hal ini jelas-jelas telah tergambar dalam Perjanjian
New York, pelaksanaan PEPERA dan hasil PEPERA.
[i]
Socratez
Sofyan Yoman, 2005, 34.
[ii]
Robin
Osborne, 2001, Jakarta, hlm, xii.
[iii] Ottis
Simopiaref: Mencari Solidaritas Masyarakat Non- Papua (lihat Yorrys TH Raweyai:
Mengapa Papua Ingin Merdeka, Januari 2002, hlm, xxii.
[iv]
Dr.
George Junus Aditjondro, Juli 2000, hlm 3, Edisi 1.
[v] Ensiklopedia Popular, Politik dan Pembangunan Pancasila,
jilid III. Yayasan Cipta Loka Caraka hlm. 31.
[vi] Text of the joint statemen follwing
the discussion held between the Nedherlands Minister for Devolopment Cooperation, Mr. Udink, with the
Indonesia Minister of ForeignAffairs, Mr. Malik, in Rome on 20 th and 21 st
May, 1969
[vii]
S Sofyan Yoman, S.Th. Rakyat Papua
Bukan Separatis, tahun 2000,hlm. 4.
[viii]
S
Sofyan Yoman, S.Th. Rakyat Papua Bukan Separatis, tahun 2000,hlm. 1.
[ix] Kejahatan terhadap Kemanusiaan,
Observasi Awal Tentang Konspirasi Internasional dan Pelanggaran HAM di Papua
Barat, Port Numbay, 2000, hlm.4.
[x]
New York Agreement 15 Agustus 1962,
Artikel XIV.
[xi]
New York Agreement 15 Agustus 1962,
Artikel XXII.
[xii]
SK. Ir Sukarno: No, 8 Mai 1963.
Longginus Pekey adalah Pendidik di Papua.
Sumber : www.majalahselangkah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar