Pages

Pages

Jumat, 22 November 2013

Integrasi Politik Papua, Konspirasi Internasional

 Oleh : Longginus Pekey

Integrasi Papua Barat ke dalam Indonesia adalah suatu konspirasi politik antara beberapa pihak, yaitu Amerika, Belanda elit politik Jakarta dan elit politik Papua Barat. Konspirasi itu dilandasi oleh kepentingan masing-masing pihak dan akhirnya mengorbankan dan menginjak-injak harkat dan martabat mayoritas masyarakat Papua.
 
Kepentingan yang dominan adalah ekonomi. Penegakan sejarah sangatlah penting untuk membuktikan suatu kebenaran[[i]]. Karena, dengan menuliskan dan dengan memahami sejarah masa lalu, sebuah identitas bisa ditemukan pandangannya dan setiap orang bisa belajar darinya[[ii]]. 

Otis Simopiaref (2002) menyatakan, sejarah harus diteliti kembali di mana lembaran hitam harus diputihkan dan yang bengkok harus diluruskan, kalau tidak perdamaian dunia tidak akan pernah tercapai.[[iii]

Selanjutnya, Dr. George Junus Aditjondro (2000:3) mengatakan, "Sejarah satu komunitas adalah jati diri dan sekaligus imajinasi mengenai hari depan dari komunitas itu sendiri."[[iv]]

Paradigma Elit Jakarta dalam Integrasi Papua
Alasan historis dan ekonomi menjadi semangat nasionalisme elit Jakarta dalam mengintegrasikan Papua Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Alasan historis terkait dengan teritorial sebagai wilayah dari kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan Tidore Ternate dan sebagai daerah jajahan Hindia - Belanda. Lebih cenderung disebut memiliki sejarah yang sama.
Benarkah itu?

Kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan Tidore pernah sampai ke daerah Papua. Tidak tercatat secara de facto dan de jure bahwa Papua Barat sebagai daerah taklukan mereka, karena pada saat itu yang dibangun adalah hubungan dagang/ekonomi. Indonesia pun baru sebagai negara (politik) didirikan pada 17 Agustus 1945.

Benar, bahwa Papua adalah daerah yang pernah diduduki oleh Belanda. Dan terjadi eksploitasi terhadap kekayaan alam. Tetapi, aneksasi terhadap Papua Barat oleh Belanda maupun elit Jakarta berdasarkan Proklamasi dan UUD 1945 adalah sepihak, tidak melibatkan orang Papua Barat. Tidak ada kesamaan nasib dalam sejarah dalam mengahadapi Belanda. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) Belanda telah menempatkan Papua Barat langsung di bawah Belanda.

Alasan ekonomi terkait dengan kekayaan alam Papua. Dengan kedok kesatuan politik, sebenarnya elit Jakarta memandang Papua sebagai sumber dari kekayaan negara, banyak terdapat kekayaan alam mineral, hutan, laut dan lainnya. Bagi elit Jakarta, Papua Barat harus direbut dari Belanda dan harus dipertahankan dengan cara apa pun.

Nasionalisme Pendiri Bangsa
Ensiklopedia popular mendefinisikan nasionalisme sebagai paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan nasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat dan maju dalam satu kesatuan bangsa negara dan cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara serta mengabadikan identitas persatuan, kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan negara kebangsaan yang bersangkutan [[v]].

Nasionalisme atau paham kebangsaan itu bisa disederhanakan sebagai semangat cinta bangsa dan cinta tanah air (patriotisme) memang memunyai perwujudannya. Pada zaman masa revolusi untuk menegakkan negara bangsa, semangat kebangsaan terwujud jelas antara lain dengan mengangkat senjata mengusir musuh sebagai tentara atau suka relawan, (Sutarjo Adisusili, 1996: 1). Itu berarti sama seperti dikatakan Hans Kohn, dalam bukunya "Nasionalisme Arti dan Sejarah" bahwa nasionalisme adalah suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserakan kepada negara bangsa (Hans Khon,1984: 14).

Secara etimologis Nasionalisme berasala dari bahasa latin Natio yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran, dari kata Nasci yang berarti dilahirkan. Maka jika dihubungkan secara obyektif ada beberapa factor lahirnya nasionalisme, seperti bahasa, ras, agama, dan peradaban (zivilization), wilayah, negara, dan kewarganegaraan (Hansk Kohn, melalui Natalis, 2000: hal 14). 

Carton J. H. Hayes membagi dua factor penyebab lahir dan tumbuhnya nasionalisme. Pertama faktor obyektif yang paling lazim dikemukakan adalah faktor politik (penjajahan), faktor sosial, faktor ekonomi, faktor budaya, dll. Kedua, faktor subyektif, seperti Dogma, ide pemikiran, dll (J.H. Hayes, Adisusilo, 1998: 1). Faktor-faktor lahir dan tumbuhnya nasionalisme dari waktu ke waktu dapat berubah, misalkan perubahan nasionalisme Indonesia, pada zaman prakemerdekaan berbeda dengan zaman kemerdekaan.

Di Indonesia, nasionalisme prakemerdekaan tumbuh dan berkembang untuk melawan kolonial Belanda. Itulah sebabnya pada saat perjuangan kemerdekaan Indonesia semangat nasionalisme tidak terpisahkan dari kesadaran sejarah kaum terpelajar. Kaum tepelajar dan mahasiswa terus berjuang mengubah polo perlawanan yang bersifat kedaerahan menjadi perlawanan secara bersama melalui berbagai organisasi yang dibentuk seperti, Budi Utomo dan lainnya.

Puncak dari nasionalisme Indonesia terbentuk pada tahun 1928 dengan mengikrarkannya Sumpah Pemuda. Jelas-jelas tidak ada Jong Papua di sana. 

Papua Barat telah menjadi perdebatan Indonesia-Belanda. Aspek nasionalisme kebangsaan yang dipandang para elit politik pendiri Indonesia di Jakarta dalam usaha mengintegrasikan Papua Barat adalah:

Pertama, dari aspek histories. Mereka menempatkan nasionalisme kebangsaan yang akan dibangun berdasarkan teritorial. Menurut Yamin dan Soekarno kalaim teritorial atas Papua Barat, Malaya dan Pilipina karena alasan histories sebagai wilayah bagian dari kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai cikal bakal dari berdirinya Indonesia. 

Bisa dibilang ini kekeliruan karena Sriwijaya, Majapahit merupakan negara tersendiri yang memiliki sistem pemerintahannya terlepas dari sistem pemerintahan modern yang dianut oleh Indonesia. 

Nasionalisme teritorial dalam sejarah perjuangan Indonesia tidak sepenuh hati menerima perjanjian Rom-royem, Renvile yang memperkecil wilayah Indonesia. Kemudian gagasan RIS dan Federal untuk Indonesia tidak memuaskan bagi elit politik yang pada saat itu berkuasa. Dalam Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) para elit politik Jakarta memandang semua daerah bekas jajahan Belanda sebagai bagian dari NKRI. 

Pemikiran itu pernah diungkapkan Moh. Yamin yang kemudian ditanggapi oleh Moh. Hatta dengan mengatakan pemikiran Yamin terkesan sangat imperialis. Soekarno membantah pendapat Hatta dengan berpandangan tidak hanya Papua dan Malaya, bahkan Sukarno secara teritorial menghendaki Pan Indonesia yang meliputi Pilipina, Malaya dan Papua, namun Pilipina telah merdeka lebih dahulu (Risalah BPUPKI, 1995: 148-152).

Nasionalisme teritorial yang dibangun oleh teori-teori Moh. Yamin dan Soekarno dalam Rapat Besar BPUPKI pada Juli 1945 menurut Mohamat Hatta tidak ada bedanya dengan nasionalisme yang pernah dibangun Jerman Kultur und Boden. Ia sebagai dasar dari imperialisme yang dimajukan oleh Jerman meluap keluar dan mau menjajah Oosternritjk dan Cekoslovakia. Hatta lebih menekankan kepada forum agar mengajak para pemuda-pemudi berpikir realistis dan menghilangkan nafsu yang mau meluap keluar, mengubah tujuan menjadi meluap ke dalam, membangun negara dengan sebaiknya dan mempertahankan negara dengan sehebat-hebatnya. 

Oleh karena itu, Hatta berpendapat bahwa biarkan bangsa Papua dan Malaya diserahkan kepada masyarakatnya sendiri. Hatta mengakui bahwa mereka juga punya hak untuk merdeka.

Kedua adalah nasionalisme yang dibangun atas aspek manusia di dalamnya yaitu seperti aspek sosio kulturnya. Moh. Yamin pernah membangun teori dalam rapat BPUPKI.  Ia mengatakan bahwa orang Papua Barat memiliki Ras yang sama dengan ras Melayu. Namun dibantah oleh Hatta. 

Dalam tulisan ini, saya tidak perlu membahasnya, karena ini tidak mungkin seperti yang tampak pada ciri fisik antara kedua ras tersebut. Kecuali, sebagai penghuni dunia dan ciptahan Tuhan dilengkapi dengan akal sehat.

Ketiga, faktor ekonomi. Papua Barat sangat kaya raya dengan luas wilayah sekitar 3 kali lebih dari pulau Jawa. Secara geogrfis berada di pintu gerbang Samudra Pasifik. Ia memiliki fungsi militer-politis sangat vital dan memiliki sumber kekayaan alam yang sangat berfariasi dengan kualitas dan kuantitas sangat potensial. Ada emas, timah, platina, biji besi, batu bara, minyak, kaolin dan juga uranium. 

Dengan alasan ekonomi inilah, elit politik Jakarta berkonspirasi dengan kapitalis (Amerika) dalam mengintegrasikan Papua Barat. Ini terbukti dengan kehadiran PT. Freeport Indonesia (PT FI) pada tahun 1967 yang aneh. 

Karena: Pertama, Papua belum sah menjadi bagian dari Indonesia, tetapi Soeharto telah meneken masuknya PT FI ke Erstberg di Timika, tanah Papua.
Kedua, PT FI telah masuk ke Erstberg jauh sebelum UU penanaman modal asing (PMA) Nomor 1 tahun 1967 itu disahkan. Berarti, UU PMA itu dibuat memfasilitasi dan mempermulus PT FI. Sampai saat ini merupakan sumber pendapatan Jakarta dan Amerika terbesar. Dan, sumber penderitaan terbesar bagi orang Papua Barat.

Nasionalisme yang dibangun elit politik Jakarta itu tidak beda, sepeti ideologi komunis atau kapitalis yang menjadi agaman baru bagi masyarakat dunia. Sama halnya nasionalisme Indonesia yang dibangun oleh elit politik Jakarta melalui sistem politik, ekonomi, pendidikan, juga melalui pelatihan serta kepemudaan dan simbol-simbol seperti bendera kebangsaan, bahasa nasional melalui pelatihan, organisasi kepemudaan, dan lainnya.

Itu hanya sebatas hegemoni kekuasaan untuk melakukan Jawanisasi di Papua Barat. Sehingga bagi penduduk Papua Barat merupakan sesuatu yang baru tanpa tahu maknanya dan harus mengikutinya. Dengan begitu, jelas sudah nasionalisme menjadi suatu dogma bagi masyarakat.

Nasionalisme yang dibangun oleh elit politik Jakarta mengedepankan militer. Tidak ada bedanya dengan penyatuan wilayah nusantara yang pernah dilakukan oleh Patih Gajah Mada pada masa kerajaan Majapahit. 

Daniel Dhakidae pada bagian pengantar buku karya Benedict Anderson "Imagined Communities" menyebutkan dua kata yaitu Jaladi Mantri dalam arti sesungguhnya adalah Armada dan itu tidak lain dari ABRI. Ketika Trikora dikumandangkan padat tahun 1963 untuk merebut Papua Barat tidak lain yang lebih didahulukan adalah invasi militer dan mobilisasi sosial untuk membangun koloni baru di Papua Barat. 

Demi membangun koloni Indonesia di Papua, militer dikirim untuk membunuh semagat nasionalisme etis Papua (Melanesia) yang sedang terbangun. Kehadiran militer Indonesia di Papua Barat dengan berbagai bentuk intimidasi secara fisik, seperti melakukan pembunuhan terhadap mereka yang pro Belanda ataupun yang bercita-cita membentuk Negara Bangsa sendiri. Penindasan mental, seperti usaha sentralisasi dalam segala aspek kehidupan dengan tujuan mematikan nasionalisme melanesia telah terus dibangun.

Perjanjian New York 1962 dan Pepera 1969
Soal gugatan terhadap New York Agreement dan Pepera. Mengapa Perjanjian Pasal 2 di tetapkan penyerahan wilayah Papua kepada UNTEA (PBB) dan selanjutnya dari UNTEA (PBB) menyerahkan kepada Indonesia?

Pada tanggal 1 Oktober 1962 pemerintah wilayah menyerahkan wilayah Papua kepada PBB dan United Nations Temporary Excutive Authority (UNTEA). UNTEA hanya menguasai Papua selama 6 bulan. Tanggal 1 Mei 1963 adalah penyerahan wilayah Papua Barat secara resmi kepada Indonesia oleh PBB, pada waktu itu disebut dengan UNTEA. 

Yang berlu disoroti adalah UNTEA sebagai lembaga Internasional sepatutnya terus berada di Papua sampai pelaksanaan penentuan nasib sendiri orang-orang Papua. Tetapi yang terjadi adalah penyerahan wilayah Papua secara resmi ke dalam kekuasaan Indonesia tanpa prosedur penentuan nasib sendiri.

Mengapa Perjanjian Pasal 7 dam 13 disetujui menggunakan kekuatan-kekuatan militer Indonesia sebelum Papua menjadi bagian wilayah Indonesia?
Bertitik tolak dari penyerahan wilayah Papua secara resmi ke dalam wilayah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka untuk mengendalikan keamanan di wilayah Papua digunakan kekuatan-kekuatan militer Indonesia. Jika benar-benar mau dilaksanakan penentuan nasib sendiri orang-orang Papua berdasarkan hukum dan HAM dan praktek internasional, lebih terhormat, bermartabat dan manusiawi maka yang patut memegang kendali keamanan di Papua sebelum penentuan nasib sendiri orang-orang Papua adalah UNTEA yang di dalamnya adalah Dewan Keamanan PBB.

Beberapa kali UNTEA (PBB) memberitahukan kepada orang-orang Papua sesuai dengan Perjanjian Pasal 10 tetang penyerahan pemerintah dari UNTEA kepada Indonesia untuk melaksanakan tugas UNTEA yang sangat berat dengan tiga alasan. 

Pertama, PBB telah terlibat dalam konspirasi politik untuk mengabaikan hak-hak asasi dan martabat orang Papua untuk menentukan nasib sendiri di negeri dan tanah airnya sendiri. 

Kedua, UNTEA memunyai waktu yang sangat terbatas dan juga jangkauan komunikasi yang sangat sulit untuk berkomunikasi dengan orang-orag Papua, secara khusus yang berada di daerah-daerah pedalaman. 

Ketiga, pemerintah sengaja menghalang-halangi pekerjaan PBB di Papua Barat waktu itu.

Mengapa Perjanjian Pasal 12 ditetapkan PBB, penyerahan semua atau sebagian bahkan penyerahan kembali pemerintah penuh kepada Indonesia?
Orang-orang Papua belum menyatakan bergabung dengan Indonesia atau merdeka sendiri dari tanah dan negerinya sendiri. Tetapi, kenyataan politik adalah PBB, Amerika, Belanda sudah menyerahkan orang-orang Papua ke tangan Indonesia melalui Perjanjian New York ini. Dan secara resmi diserahkan tanggal 1 Mei 1963 dan PBB pergi meninggalkan orang-orang Papua tanpa bertanggung jawab atas nasib masa depan orang-orang Papua. Orang-orang Papua tidak menentukan nasib sendiri sesuai dengan Perjanjian New York, Penentuan nasib sendiri orang-orang Papua sesuai dengan praktek internasional

Mengapa Pasal 14 disetujui untuk pelaksanaan undang-undang dan peraturan-peraturan Indonesia sebelum Papua menjadi bagian sah wilayah Indonesia?
Orang-orang Papua belum menyatakan bergabung dengan Indonesia atau berkehendak berdiri sebagai suatu bangsa yang berdaulat melalui penentuan pendapat rakyat. Tetapi, dalam perjanjian pasal 14 telah disetujui dan ditetapkan oleh PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia, bahwa di Papua diterapkan undang-undang dan peraturan-peraturan Indonesia. 

Yang menentukan orang-orang Papua untuk tinggal dengan Indonesia dan mengakui undang-undang dan peraturan-peraturan orang-orang Indonesia adalah PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia, bukan orang Papua.

Apakah pemerintah Indonesia sungguh-sungguh melaksanakan Perjanjian Pasal 15 tentang pendidikan dan pembangunan sosial, budaya dan ekonomi di Papua Barat sebelum PEPERA 1969?

Pasal ini sedikit dilaksanakan di daerah-daerha perkotaan, tetapi lebih berhasil adalah menempatkan orang-orang Papua yang rival (lawan) pemerintah Indonesia dengan stigma OPM dan separatis, sehingga militer Indonesia secara leluasa meneror, intimidasi, intervensi, mengejar, menangkap, memenjarakan, menyiksa, membunuh, menculik menghilangkan, dan memperkosa orang-orang Papua.

Ini terbukti dengan pasal 7 dan 13 yang ditetapkan untuk pasukan-pasukan Indonesia menguasai Papua untuk melawan orang Papua yang menyatakan pendapat politik yang berbeda dengan orang Indonesia. Dan juga, perjanjian pasal 14 untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan Indonesia di Papua Barat.

Mengapa Perjanjian Pasal 16 ditetapkan tentang keberadaan dan tugas PBB di Papua harus mendapat pertimbangan dari Indonesia?

Keberadaan dan tugas PBB di Papua harus medapat pertimbangan dari Indonesia, karena Indonesia memunyai wewenang atas wilayah Papua. Sehingga angota PBB yang bertugas di Papua sebagai orang asing sehingga harus meminta petimbangan dari pemerintah Indonesia, karena Perjanjian New York telah ditetapkan pada tnggal 15 Agustus 1962 mewarnai kepentingan Amerika, dan Indonesia. Nasib orang-orang Papua di atas negeri dan tanah airnya diabaikan.

Mengapa perjanjian Pasal 17 ditetapkan bahwa pelaksanaan PEPERA 1969 adalah tanggung jawab Indonesia?

Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat adalah hanya sebuah usaha sandiwara oleh PBB, pemerintah Indonesia dan Belanda. Karena itu, pemerintah Indonesia merasa bertanggung jawab untuk melaksanakan PEPERA 1969 sebagai usah formalitas saja. Pada kenyataannya wilayah Papua Barat sudah diserakan secara resmi pada tanggal 1 Mei 1963 oleh UNTEA (PBB) sesuai dengan perjanjian ini. Ini adalah konspirasi politik internasional yang melecehkan dan mengkhianati hak-hak asasi dan martabat manusia pada umumnya dan martabat orang-orang Papua.

Mengapa Perjanjian Pasal 18-d tidak dilaksanakan sesuai praktik Internasional ?

Perjanjian pasal 18-d tidak dilaksanakan sesuai praktek internasional karena dua alasan mendasar. Pertama, Papua sesudah diserahkan kepada Indonesia secara resmi oleh PBB, Amerika, Belanda, melalui perjanjian ini dan diwujudkan pada tanggal 1 Mei 1963. 

Kedua, berdasarkan kesepakatan Italia, Roma, tanggal 20 s.d. 21 Mei 1969 antara Menteri Luar Negeri J.M.A.H. Luns, Mentri Bantuan Pembangunan Belanda B.J.Undink, dan Mentri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik. Bunyi kesepakatannya adalah "Mentri Luar Negeri Indonesia menyatakan posisi Pemerintah Indonesia mengenai Kebebasan Memilih yakni bahwa mengingat pertimbangan-pertimbangan praktis dan teknis, maka sistem Indonesia 'Musyawarah' merupakan cara yang terbaik"[[vi]]

Mengapa Perjanjian Pasal 21 ditetapkan bahwa hasil penentuan nasib sendiri orang-orang Papua hanya dilaporkan oleh Indonesia dan PBB kepada Sekretaris Jendral PBB untuk dilaporkan dalam Sidan Umum PBB?

Jikalau PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia benar-benar memikirkan masa depan orang orang Papua, langkah bijaksana dan penting yang perlu ditempuh adalah: pertama, UNTEA tidak harus menyerahkan Papua kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, tetapi UNTEA seharusnya menguasai Papua sampai penyelesaian pelaksanaan penentuan nasib sendiri orang-orang Papua. 

Kedua, pihak Indonesia yang sedang bertikai dengan Belanda tentang status politik Papua Barat, seharusnya tidak dilibatkan dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri orang-orang Papua. 

Ketiga,pemerintah Indonesia seharusnya tidak diijinkan menerapkan undang-undang dan peraturan-peraturan nasional Indonesia serta menempatkan pasukan-pasukan Tentara Nasional Indonesia di Papua Barat, sebelum orang Papua menyatakan pilihan kehendaknya bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai suatu bangsa berdaulat berdasarkan penentuan nasib sendiri.

Mengapa UNTEA dan Indonesia tidak melaksanakan secara sungguh-sungguh Perjanjian Pasal 22 tentang jaminan keamanan dan kebebasan orang-orang Papua?

Tampak sekali bahwa PBB, Amerika, Belanda, Indonesia tidak memikirkan masalah jaminan keamanan dan kebebasan orang-orang Papua di atas tanah dan negeri mereka sendiri. Yang menjadi tujua utatama Amerika, Indonesia adalah sumber daya alam di Papua Barat.

Jadi, masalah jaminan keamanan dan kebebasan orang-orang Papua Barat bukanlah urusan Amerika, PBB dan Indonesia. Perjanjian Pasal 22 hanya sebagai upaya untuk menghindari tekanan-tekanan dunia internasional dari beberapa negara anggota PBB yang akan mempersoalkan laporan hasil-hasil rekayasa PEPERA 1969 yang dilaksanakan di Papua Barat.

Perjanjian New York Abaikan Pro Merdeka
Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang terdiri dari 29 pasal ini, nasib orang Papua yang pro-merdeka tidak diatur dalam satu pasal pun. Perjanjian New York yang terdiri dari 29 Pasal itu melecehkan hak-hak asasi orang Papua yang pro-merdeka.

"Dalam perjanjian New York 15 Agustus 1962 tidak dibahas dan ditetapkan dalam satu pasal pun tentang nasib orang Papua yang berpendirian kuat untuk merdeka di tanah airnya. Apakah dalam pasal-pasal perjanjian New York ada tersirat tentang kepentingan Rakyat Papua yang pro-Merdeka? Perjanjian New York sangat mengabaikan hak-hak asasi Rakyat Papua yang pro-Merdeka."[[vii]]

Pengabaian nasib orang Papua yang pro-merdeka dalam Perjanjian New York adalah pelanggaran hak asasi Rakyat dan bangsa Papua yang pro-merdeka. Ideologi dan nasionalisme sebagai bangsa Papua Barat sudah tumbuh dan berkembang di hati dan pikiran orang Papua sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan bangsanya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Jika perjanjian New York 15 Agustus 1962 secara jujur dirumuskan menentukan nasib sendiri (self determination) untuk digunakan praktek internasional, berarti hak-hak setiap orang Papua patut mendapat perhatian utama termasuk di dalamnya adalah bagi yang pro-merdeka. 

Rakyat Papua anti Indonesia dapat dikatakan 99% waktu itu. Sebaliknya, pro-Indonesia adalah beberapa kelompok yang digalang oleh Indonesia, kebanyakan orang-orang yang berasal dari Indo-Belanda, Jawa, Manado, Makassar, Buton, Bugis, dan Ambon, kebanyakan non-Papua yang tinggal di Manukwari dan Hollandia (Jayapura).

Tidak dibicarakannya nasib orang Papua pro-merdeka dalam 29 Pasal Perjanjian New York disebabkan karena Perjanjian New York itu hanya kepentingan politik dan ekonomi Amerika dan Indonesia dengan tujuan untuk menguasai sumber daya alam di tanah Papua. Keberpihakan Perjanjian New York untuk Indonesia sangat menonjol dalam seluruh isi Perjanjian New York.
Ia sesungguhnya hanya sebagai suatu instrumen internasional untuk mengejar, menangkap, membantai, memperkosa, menyiksa, memenjarakan, dan membunuh seluruh penghuni bumi Papua Barat. "..menurut perspektif rakyat Papua, Perjanjian New York merupakan awal penangkapan, pembantaian, pemerkosaan, penyiksaan, pemenjaraan, pembunuhan, penjarahan,dan penindasan hak-hak asasi rakyat Papua Barat."[[viii]]

Seluruh isi perjanjian New York sebagai kesalahan fatal yang dilakukan oleh Amerika, Indonesia, Belanda dan PBB. Tidak ada dasar hukum yang membenarkan bahwa daerah yang masih dipersengketakan oleh kedua negara, salah satu dari antara kedua negara yang bersengketa diijinkan untuk menerapkan atauran-aturan di dalam wilayah yang dipersengketakan. 

Pelecehan dan Penghinaan orang Papua
Pasal-pasal yang disebut di atas menyangkut transfer kewenangan dari UNTEA kepada Indonesia ini sebagai suatu distorsi yang dilakukan oleh Indonesia, Belanda, Amerika dan PBB dalam proses pembuatan Perjanjian New York. Berkaitan dengan distorsi sejarah, John Rimbiak, Supervisor ELSHAM Papua menyatakan:

"Kesalahan sejarah (distorsi hystoris) yang dilakukan oleh PBB dalam proses transfer kewenangan dari Belanda ke Indonesia telah menjastivikasi negara Republik Indonesia untuk melakukan berbagai pelanggaran HAM dalam menciptakan kesejahteraan dan keadilan di Papua Barat selama tiga dekade lebih" [[ix]]

Penempatan Indonesia di tanah Papua sejak tanggal 1 Mei 1963 secara administrasi adalah kekeliruan dan kesalahan terbesar dalam sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dunia. Dikatakan kesalahan dan kekeliruan karena hak-hak asasi Rakyat dan bangsa Papua Barat yang bekulit hitam dan berambut keriting yang ditempatkan Tuhan di bumi Papua sangat dilecehkan dan dihina.

Hak-hak dan kebebasan rakyat Papua benar-benar tidak dijamin. Walaupun hak-hak dan kebenaran itu sudah diatur sebagaimana ditetapkan dalam Pasal XIV yang menyatakan : "bahwa mereka (Indonesia) konsisten dengan hak-hak dan kebebasan yang dijamin untuk penduduk di bawah persyaratan-persyaratan perjanjian ini"[[x]

Selanjutnya dalam Perjaniaan New York itu menegaskan bahwa "UNTEA dan Indonesia menjamin secara penuh hak-hak, termasuk hak-hak kebebasan berpendapat, kebebasan bergerak, dan berkumpul, bagi penduduk daerah itu."[[xi]]

Tetapi, kebebasan Rakyat dan Bangsa Papua Barat yang ditetapkan di dalam Perjanjian New York tersebut benar-benar dirampas, dikhianati oleh pemerintah Indonesia dengan surat keputusan resmi presiden IR. Soekarno bernomer : 8/Mei/1963 yang menyatakan:

"Melarang/mengahalangi atas bangkitnya cabang-cabang partai baru di Papua Barat (Iraian Barat). Di daerah Papua Barat dilarang kegiatan politik dan kegiatan bentuk rapat umum, pertemuan umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-penumuman, penyebaran, perdagangan atau artikel, pameran umum, gambar-gambar atau foto-foto tanpa izin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditujukkan oleh Presiden."[[xii]]

Surat keputusan (SK) Ir. Soekarno yang dikutip di atas adalah bagian integral yang tak terlepas dari teror, intervensi, intimidasi, dan rekayasa pemerintah Indonesia terhadap Rakyat dan Bangsa Papua Barat. Pemerintah Indonesia benar-benar mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaiman yang dituangkan dalam Pancasila sebagia ideologi bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945.

Soal PEPERA
Penentuan Pendapat  Rakyat (PEPERA) yang dilakukan tahun 1969 di Papua menurut peneliti sejarah Belanda, Prof. P.J. Droodlever terjadi manipulasi oleh Indonesia. Kesepakatan New York Agreement yang dilaksanakan pada 15 Agustus 1962 dilanggar baik secara hukum nasional maupun internasional. 

Pelaksanaan PEPERA tidak sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah kerajaan Belanda dengan pemerintah Republik Indonesia dalam New York Agreement. Pelaksanaan PEPERA tidak dilaksanakan sesuai dengan praktek-praktek kebiasaan internasional dan hukum internasional. Pelaksanaan PEPERA tidak menggunakan prinsip "One man one vote", satu orang satu suara. Tetapi menggunakan prinsip perwakilan (baca: musyawarah). 

Dalam pelaksanaan PEPERA untuk memberikan pendapat apakah Papua Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan RI atau harus merdeka/terpisah dari RI digunakan cara utusan mewakili utusan atau wakil mewakili wakil yang terdiri dari 175 wakil dari jumlah utusan sebanyak 1.026 dari delapan Kapupaten di Papua Barat.

Terkait dengan poin di atas, penentuan status Papua Barat tetap dalam negara RI hanya ditentukan oleh sebagian orang dari 800 ribu penduduk Papua Barat pada waktu itu. Masih banyak masalah hukum yang menimbulkan tanda tanya menyangkut pelaksanaan PEPERA tahun 1969 itu. Sah tidaknya terus menjadi perdebatan di tingkat nasional maupun internasional. Ini penting karena menyangkut pelurusan sejarah Papua maupun khususnya menyangkut pelaksanaan PEPERA itu. 

Gencarnya tuntutan rakyat Papua Barat itu karena pelaksanaan PEPERA di Papua Barat dinilai cacat hukum. Hasil PEPERA dipertanyakan dan harus digugat kembali melalui Mahkamah Internasional. Karena ia adalah konspirasi politik Internasional antara Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB. 

Mereka telah mengorbankan dan merugikan hak-hak asasi dan martabat manusia, dalam hal ini orang asli Papua Barat. Hal ini jelas-jelas telah tergambar dalam Perjanjian New York, pelaksanaan PEPERA dan hasil PEPERA.


[i] Socratez Sofyan Yoman, 2005, 34.
[ii] Robin Osborne, 2001, Jakarta, hlm, xii.
[iii] Ottis Simopiaref: Mencari Solidaritas Masyarakat Non- Papua (lihat Yorrys TH Raweyai: Mengapa Papua Ingin Merdeka, Januari 2002, hlm, xxii.
[iv] Dr. George Junus Aditjondro, Juli 2000, hlm 3, Edisi 1.
[v]  Ensiklopedia Popular, Politik dan Pembangunan Pancasila, jilid III. Yayasan Cipta Loka Caraka hlm. 31.
[vi]  Text of the joint statemen follwing the discussion held between the Nedherlands Minister for  Devolopment Cooperation, Mr. Udink, with the Indonesia Minister of ForeignAffairs, Mr. Malik, in Rome on 20 th and 21 st May, 1969
[vii]  S Sofyan Yoman, S.Th. Rakyat Papua Bukan Separatis, tahun 2000,hlm. 4.
[viii] S Sofyan Yoman, S.Th. Rakyat Papua Bukan Separatis, tahun 2000,hlm. 1.
[ix]  Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Observasi Awal Tentang Konspirasi Internasional dan Pelanggaran HAM di Papua Barat, Port Numbay, 2000, hlm.4.
[x]  New York Agreement 15 Agustus 1962, Artikel XIV.
[xi]  New York Agreement 15 Agustus 1962, Artikel XXII.
[xii]  SK. Ir Sukarno: No, 8 Mai 1963.

Longginus Pekey adalah Pendidik di Papua. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar