Oleh : Felix Minggus Degei
(Tinjauan atas tulisan di Harian Bintang Papua, Edisi Rabu 20 November 2013 pada Rubrik
Pendidikan dan Kesehatan)
Tulisan ini
adalah tinjauan kritis atas tulisan berjudul "Bangsa Proposal" pada Rubrik
Pendidikan Kesehatan oleh Lamadi de Lamato yang dilansir di Media Harian Lokal
Bintang Papua (edisi Rabu 20 November
2013). Saya tidak ingin berpelemik di facebook.
Lebih baik, artikel harus ditanggapi juga dengan artikel.
Setelah
melihat, membaca dan menelaah isi dari tulisan tersebut, membuat saya sebagai
Putra Daerah Asli Papua tidak rela untuk menerimanya. Tentu, ada beberapa
alasan mendasar yang membuat tidak berkenan di hati dengan tulisan tersebut.
Di sana
beberapa pernyataan yang menurut saya agak keliru. Kekeliruannya mulai terlihat sejak awal judul dari tulisan tersebut
hingga di bagian isi selanjutnya.
Telaah Makna Judul "Bangsa Proposal"
Jika kita
melihat dan menganalisa judul tersebut, maka ia terdiri dari dua kata yang
berbeda. Kedua kata adalah masing-masing kata Bangsa dan Proposal. Tentu,
kedua kata tersebut memiliki makna yang sangat luas dan mendalam.
Selain itu,
tentu kita juga patut mengartikan dan memahami maknanya sesuai dengan konteks
yang berbeda pula. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya penulis mencoba
untuk mengkritisi dari tulisan pada judul tersebut kata demi kata.
Pertama, kata Bangsa sendiri pernah
diungkap oleh banyak ahli. Salah satunya adalah seperti yang pernah diungkapkan
oleh ahli berkebangsaan Prancis, Ernest Renan. Menurutnya, Bangsa adalah suatu nyawa, suatu akal yang
terjadi dari dua hal, yaitu rakyat yang harus hidup bersama-sama menjalankan
satu riwayat, dan rakyat yang kemudian harus memunyai kemauan atau keinginan
hidup untuk menjadi satu.
Jadi dari
definisi di atas, dipahami bahwa bangsa adalah suatu kelompok manusia yang
memiliki karakteristik dan ciri yang sama (nama, budaya, adat), yang bertempat tinggal di suatu wilayah yang telah dikuasainya
atas sebuah persatuan yang timbul dari rasa nasionalisme serta rasa solidaritas
dari sekumpulan manusia tersebut serta mengakui negaranya sebagai tanah airnya.
Jika
dikaitkan dengan konteks dalam berita, maka penulis tersebut bermaksud adalah kelompok yang memiliki kesamaan
ciri-ciri seperti; nama, budaya, adat, tempat atau wilayah yang mereka tinggal.
Sehingga, saya menafsirkan bahwa dalam tulisan, subjek yang disoroti adalah
Bangsa Ras Melanesia Orang Asli Papua (OAP).
Kedua, kata Proposal sendiri memiliki makna yang
sangat luas dan mendalam pula. Proposal adalah rencana kerja yang disusun
secara sistematis dan terinci untuk suatu kegiatan yang bersifat formal.
Selain itu,
proposal juga adalah suatu usulan kegiatan perlu dukungan atau persetujuan
pihak lain. Jika dilihat dari bentuknya, maka proposal itu sendiri terdiri dari
dua bentuk, antara lain proposal penelitian dalam dunia akademik pendidikan.
Dan,
proposal rancangan kerja yang memuat langkah-langkah dalam suatu kegiatan yang
termasuk rencana anggaran belanjanya (budget). Dengan
bentuk proposal kedua ini biasanya bersifat permohonan sesuai dengan rencana
dana yang dibutuhkan.
Selanjutnya,
dipahami bahwa dalam tulisannya yang dilansir di harian Bintang Papua (20/11)
tersebut adalah tentang proposal yang non penelitian dalam dunia akademik. Oleh
karena itu, tentu isinya bersifat permohonan bantuan dana.
Akan
tetapi, sebenarnya tentu dari setiap proposal permohonan bantuan memiliki skala
kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda. Sehingga, bagi siapa saja entah
itu perseorangan maupun instansi sesungguhnya harus lebih jelih melihat,
membaca dan menelaah isi dari setiap proposal lalu diresponi adalah barangkali
lebih baik dari pada tidak dilihat dengan mata sekalipun cover luar dari surat tersebut lalu dimusnakan.
Hal seperti
ini, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Bapak Gubernur Papua saat ini, pada
beberapa bulan yang lalu.
Setelah
membedah, membaca dan menelaah dari kedua kata, maka sudah sangatlah jelas arah
dan tujuan dari penulis atas judul tulisannya. Dipahami bahwa "Ia mengatakan semua
orang asli (Bangsa) Papua adalah orang (Bangsa) yang tukang bawah permohonan bantuan
(Proposal). Atau, dengan pengertian lain adalah "semua orang asli (bangsa) Papua
adalah pengemis uang kepada para pejabat."
Sebagai
bahan reflektif, apakah memang benar, semua orang Asli Papua dari yang masih
dalam kandungan hingga lanjut usia (lansia) adalah pengemis kepada para pejabat
dengan permohonan bantuan (proposal), sehingga kita disebut BANGSA PROPOSAL?.
Menurut
saya, hal ini adalah keputusan yang terlalu cepat dan umum (general). Padahal, hal semacam ini harus dilihat dan dipahami
secara khusus (parsial). Sesuai skala
kasus, faktor penyebanya serta subjek yang bermain di dalam.
Telaah Isi dari Tulisan
Sesungguhnya,
pernyataan Bapak Gubernur yang mengatakan bahwa "Orang Papua dikaruniai
kekayaan alam yang melimpah sehingga meminta-minta sangat menyalahi jati diri
Orang Papua itu sendiri." Media Bintang
Papua (20/11/2013).
Pernyataan
di atas, sebenarnya tidaklah salah. Akan tetapi, yang perlu kita telusuri lebih
dalam adalah tentang mengapa Orang Asli Papua (OAP) yang sebelumnya hanya
mengenal, menogok sagu, nelayan, bercocok tanam, beternak, bertani dan berburu,
tiba-tiba mengenal gaya hidup seperti yang diulas dalam tulisannya Pak Lamadi
de Lamato pada media itu.
Menurut
hemat saya, perilaku dan pola hidup OAP yang sudah berubah signifikan tersebut
terjadi hanya karena implementasi program pemerintah baik daerah maupun pusat
selama ini yang kelihatannya tidak mendidik dan memberdayakan (mal praktek).
Janganlah
heran, jika saat ini banyak masyarakat yang kelihatannya hidup hanya bergatung
pada beras, mie instan, ayam kulkas dan sebagainya dari pada makanan khasnya
masing-masing.
Idealnya,
penyelenggaraan program pemerintah harus bersifat memberdayakan bukan memanjakan atau pun membuat masyarakat hidup
tergantung pada pemerintah semata. Ibarat "Lebih menyediakan mata kail supaya mereka
bisa mencari, memancing sindiri ikan dan menghidupi nafkahnya. Sehingga, dalam
hal ini pemerintah hanya memberikan bagaimana tip dan trik dari memancing itu
sendiri."
Akan
tetapi,
semua program pemerintah selama ini hanya sifatnya memanjakan warganya
terlebih khusus OAP baik sebelum dan setelah UU Otsus di Papua. Ibarat
"Pemerintah selalu menyediakan ikan dari pada memberikan mata kail
supaya
mereka berupaya sendiri." Berbagai program pemerintah selama ini yang
tidak
mendidik dan memberdayakan, antara lain; pembagian Bantuan Langsung
Tunai
(BLT), Beras untuk Rakyat Miskin
(Raskin), Bantuan Dana BBM, dan lain sebagainya.
Semua
program ini membuat warga terasa sama seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
setiap bulan mendapatkan gaji dan jata beras. Kondisi pembiasaan seperti ini
tentu akan mengarakan masyarakat untuk selalu hidup bergantung pada pemerintah.
Sehingga, tidak jarang di pedesaan masyarakat selalu menghitung hari, kapan
akan datangnya bantuan dari pemerintah. Mana ada dari mereka yang sekarang
berpikir tentang mata pencaharian yang sebenarnya diwariskan sejak zaman nenek
moyang.
Oleh karena
itu, janganlah heran jika banyak sekali warga yang berbondong-bondong ke kantor
dan rumah-rumah pejabat untuk memasukan permohonan bantuan (proposal). Karena itulah, salah satu hasil salah didik dari
pemerintah sendiri yang selalu mau menyuap saja. Dari pada memberikan waktu dan
ruang supaya mereka bekerja dan menghidupi nafkahnya sendiri.
Fenomena
inilah yang harus dipahami pada saat ini di tanah Papua yang sebenarnya penuh
dengan susu dan madu ini. Alias "surga kecil yang jatuh ke bumi" ujar Edo Kondologit dalam lirik lagu Aku Papua.
Dalam
tulisan tersebut penulis juga menyinggung tentang sikap komunalitas yang dianut
oleh OAP. Memang benar, Orang Papua itu telah mengenal sikap sosial yang
tinggi. Akan tetapi, motif dari sikap tersebut tentu berbeda jika dibandingkan
antara zaman dulu dengan sekarang. Masyarakat dahulu hidup terlihat begitu
solid, karena mereka memiliki visi dan misi yang sama. Salah satu fenomena yang
menggambarkan keharmonisan hidup komunal pada zaman dahulu OAP adalah dengan
cara barter.
Perdagangan
dengan cara tukar menukar barang sudah lama terjadi antara masyarakat pesisir
dan pegunungan. Salah satu contohnya adalah masyarakat dari pegunungan datang
dengan hasil buruan, kulit kayu guna menukar dengan hasil laut seperti ikan,
udang, kulit bia atau kerang. Selain itu, mereka juga memiliki ritual-ritual
adat yang membutuhkan harus adanya kerja sama yang kuat (gotong royong), contoh
Pesta Babi (Yuwo) di Paniai, dan lain
sebagainya.
Sangatlah
jelas bahwa dengan adanya momentum-momentum seperti ini membuat OAP memiliki
sikap sosial yang sangat besar terhadap sesamanya. Sikap keseharian yang
seperti itu tentu akan menjadi kebiasaan mereka. Akan tetapi, yang membuat
tidak jelas dan kabur akan nilai-nilai hidup mereka saat ini adalah dengan
adanya budaya-budaya luar yang pelan tetapi pasti yang sedang mengikis nilai
luhur yang dianut oleh OAP.
Sementara
itu, program dari pemerintah yang tidak mendidik dan memberdayakan juga membuat
semakin suram akan gaya hidup (life
style) dari OAP yang sesungguhnya.
Untuk
mengakhiri tulisan ini, penulis hanya
mau mengajak kepada kita sekalian untuk harus melihat suatu masalah itu secara
holistik. Tanpa ada unsur kepentingan perseorangan maupun kelompok tertentu
yang masuk dalam pelayanan kita yang sesungguhnya nan mulia.
Bukankah
kita melayani sesama kita sendiri itu adalah sama saja dengan melayani Tuhan
kita? Ingatlah bahwa tanah Papua adalah
tanah yang telah diberkati oleh Tuhan sendiri. Sehingga, seyogiyanya siapa pun
yang berkarya di tanah ini harus berpedoman pada nilai-nilai keadilan dan
kebenaran. Akhir kata, sesungguhnya "KASIH ITU MENEMBUS PERBEDAAN."
Felix Minggus Degei adalah Anak Muda Papua yang Menaruh
Perhatian pada Masalah Pendidikan dan Kebudayaan di Tanah Papua.
Sumber : www.majalahselangkah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar