Logo AMP dan Peta Negara West Papua |
Jayapura (Sulpa) – Ditahannya beberapa mahasiswa yang
tergabung dalam Gerakan Pemuda Mahasiswa dan Rakyat Papua (Gempar)
dinilai sebagai tindakan fasisme negara Indonesia terhadap kebebasan
berekspresi dan berdemokrasi.
“Ironis memang di tengah arus reformasi yang didengung-dengunkan
penguasa Indonesia, masih ada pengekangan terhadap ruang demokrasi yang
dilakukan aparat kepolisian terhadap aksi damai yang dilakukan
Gempar-Papua pada 07/11/2013 di Jayapura,” kata Ketua Umum Komite
Pimpinan Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Rinto Kogoya Rabu dalam
siaran persnya.
Kenyataan ini menunjukan bahwa Indonesia menjalankan kekuasaan
terhadap rakyat Papua secara otoriter tanpa bisa menerima perbedaan
pandangan dan keyakinan dalam masyarakat Indonesia. AMP menilai bahwa
TNI/Polri secara nyata menjalankan otoritarianisme NKRI terhadap rakyat
Papua.
Mestinya, aksi damai yang dilakukan oleh Gempar dikawal secara baik,
bukan dengan penangkapan. Soal penahanan Yason Ngelia, yang diduga
karena melakukan penganiayaan terhadap mahasiswa empat bulan lalu
dinilainya tidak logis.
“Ini merupakan taktik dan upaya aparat kepolisiaan untuk mematikan semangat perlawanan gerakan massa rakyat Papua,” lanjutnya.
AMP mendesak agar membebaskan Yason Ngelia, Cs tanpa syarat demi
penegakan terhadap HAM dan demokrasi di Tanah Papua. AMP juga mendesak
presiden RI SBY untuk mencopot Kapolda Papua dan Kapolresta Jayapura
yang dinilai menutup ruang demokrasi di Tanah Papua.
Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat Papua.
Lain halnya dengan Ketua Pemuda Gereja Kingmi Klasis Kota Jayapura
Naftali Magay. Ia menilai, Otsus yang diberikan pemerintah pusat hanya
menghibur orang Papua, sebab, hanya dilihat dari segi ekonomi seperti
kesejahteraan.
Ia mengatakan, Otsus, UP4B, Otsus Plus (RUU PP) dinilainya tidak sesuai dengan kondisi di Papua.
“Pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Papua melakukan pelanggaran
dengan cara menggodok RUU PP dan Otonomi Plus secara sepihak tanpa
melibatkan orang asli Papua yang notabenenya adalah pemilik hak ulayat,”
kata Naftali di Abepura, Kamis.
Aktivis Papua pun menggelar aksi protes yang berujung pada
penangkapan sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Gempar. Rektor dan
MRP pun diminta bertanggung jawab atas penangkapan ini.
“Ya, sekarang kita bisa lihat pemerintah sengaja menutupi kesalahan
dengan menangkap beberapa aktivis Gempar yang menyuarakan hak-hak dasar
orang Papua yang telah dilecehkan pemerintah saat ini dengan memberikan
undang-undang yang tumpang dindih katanya,” lanjutnya.
Carles Pigay, aktivis gereja Kingmi mengklaim Uncen dan MRP sengaja membiarkan penangkapan terhadap mahasiswa. (B/TM/CR1/R5/lo3)
Sumber : www.suluhpapua.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar