Ilustrasi |
Saatnya Orang Papua hidup dengan
pengandaian-pengandaian yang tidak dipercaya begitu saja. Misalnya bahwa
orang
yang beragama itu dianikan pasti baik. Atau orang yang kaya secara
ekonomi itu
diandaikan pasti pintar. Namun seringkali pengandaian itu belum tentu
benar.
Sebelum mempercayai suatu pengandaian, ada baiknya kita menguji dulu
pengandaian tersebut. Di tahun 2012 ini, kita perlu menggunakan
paradigma
“belum tentu”, sebelum salah sangka, atau malah tertipu.
Terhadap Kekayaan
Orang kaya belum tentu pintar. Banyak juga orang kaya,
karena mendapat warisan. Bisa juga ia menang lotere, menang judi,
menipu, atau
korupsi, lalu menjadi kaya. Tidak ada hubungan yang pasti antara
kekayaan dan
kecerdasan.
Di Papua, orang kaya seringkali dianggap orang cerdas.
Pendapat-pendapat mereka didengarkan, bukan karena pendapat itu benar,
melainkan karena yang berbicara adalah orang kaya. Bahkan orang kaya
dengan
mudah dicalonkan menjadi anggota DPR/DPRD bukan karena ia layak,
melainkan
semata karena ia kaya. Padahal seperti saya bilang sebelumnya, banyak
orang
kaya mendapatkan kekayaannya dari warisan, atau dari sumber-sumber lain
yang
tak menuntut kecerdasan.
Maka kita perlu menerapkan paradigma “belum tentu” di
dalam melihat orang kaya. Kita perlu berhenti mendewakan orang kaya,
karena
mereka belum tentu benar, dan pendapat mereka belum tentu berisi. Orang
kaya
adalah manusia, dan manusia bisa salah, maka orang kaya pun bisa salah.
Kita
tidak boleh tertipu.
Orang kaya belum tentu berhati baik. Di balik
sumbangan yang diberikan, ia seringkali punya motif-motif tersembunyi
yang tak
selalu luhur. Ia seringkali punya agenda politik ataupun bisnis yang
menipu.
Tidak ada hubungan pasti antara kekayaan dan kebaikan hati.
Di Indonesia umumnya dan khususnya di Papua orang
kaya, terutama ketika menyumbang, langsung dianggap orang baik. Berbagai
cap
positif ditempelkan ke mereka secara naif, apalagi jika yang memuji
terciprat
harta dari si kaya. Uang yang berlimpah menutupi sikap kritis. Orang
lalu buta
terhadap si kaya, ketika ia dilumuri oleh harta berlimpah. “Maju tak
gentar
membela yang bayar”, begitu kata orang.
Kita perlu menerapkan paradigma “belum tentu” di dalam
menghubungkan antara kekayaan dan kebaikan. Orang kaya belum tentu baik,
walaupun ia tampaknya baik dengan menyumbang banyak orang. Kita tidak
boleh
tertipu, walaupun diiming-imingi harta berlimpah.
Terhadap Beragama dan Bergelar
Orang beragama juga belum tentu baik. Bisa juga kedok
agama digunakan untuk menutupi kejahatan yang telah ia lakukan. Ia ingin
tampil
suci untuk menutupi aksi jahat yang telah dilakukan atau sedang
direncanakan.
Tidak ada hubungan pasti antara orang yang beragama dengan orang yang
baik.
Di Papua orang beragama dianggap pasti bermoral baik.
Makanya orang takut untuk tidak beragama. Institusi-institusi tertentu
sering
menggunakan nama agama tertentu, walaupun isinya jauh dari hal-hal baik.
Agama
disamakan begitu saja dengan kebaikan, tanpa pernah secara kritis
dipertimbangkan.
Kita juga harus menerapkan paradigma “belum tentu” di
dalam menghubungkan antara status beragama dengan sifat baik. Jelas
sekali
bahwa orang beragama, serajin apapun dia beribadah, belum tentu adalah
orang
baik. Kita tidak boleh tertipu dengan slogan-slogan religius,
jubah-jubah yang
tampak suci, gelar-gelar religius, dan keahlian mengutip kitab-kitab,
melainkan
berani belajar untuk melihat apa yang ada di baliknya.
Orang bergelar akademik panjang, seperti professor
doktor, belum tentu orang cerdas. Seringkali mereka adalah orang-orang
yang
bekerja sebagai dosen puluhan tahun, tetapi tidak menghasilkan
karya-karya
bermutu yang mencerahkan masyarakat di bidang keahliannya. Dengan kata
lain
gelar akademik seringkali adalah gelar formalitas yang tak selalu
mencerminkan
kecerdasan orang-orang yang memakainya.
Di Indonesia gelar adalah segalanya. Semakin banyak
gelarnya maka ia akan semakin dianggap jenius oleh lingkungannya.
Omongannya
tetap didengarkan dengan penuh kagum, walaupun mungkin tak ada isinya.
Gelar
dipampang di forum-forum publik, seolah tak percaya diri dengan nama
yang telah
diberikan orang tuanya.
Orang bergelar panjang “belum tentu” cerdas dan
bermoral baik. Paradigma “belum tentu” pun perlu kita terapkan di dalam
memandang orang-orang bergelar panjang. Kita tidak boleh tertipu oleh
kedok
gelar yang dikenakan seseorang, dan perlu untuk sungguh belajar melihat
apa
yang sungguh ada di baliknya.
Terhadap Etiket
Orang sopan juga belum tentu baik. Seringkali ia
menutupi maksud jahat dengan tata krama yang tampak baik. Kata-kata
lembut
dikeluarkan untuk memberi kedok bagi maksud jahat yang tetap tersembunyi
di
balik kata-kata. Sikap sopan hanyalah topeng dari sesuatu yang tak jelas
dibaliknya.
Di Indonesia orang tergila-gila dengan tata krama.
Sikap sopan langsung diangap sebagai tanda kebaikan. Kata-kata lembut
dianggap
amat penting, tak peduli maksud tersembunyi apa yang ada di baliknya.
Penampilan dan tata krama adalah ukuran bagi kebaikan seseorang.
Paradigma “belum tentu” perlu diterapkan untuk melihat
kesopanan. Yang jelas orang sopan belum tentu baik. Jangan sampai kita
tertipu,
karena hanya terpaku melihat etiket serta tata krama, namun buta pada
karakter
asli yang seringkali tersembunyi di baliknya.
Terhadap Litani “Belum Tentu”
Ada banyak lagi litani “belum tentu” dalam hidup kita.
Orang miskin belum tentu bodoh. Orang miskin belum tentu tak bahagia.
Bisa saja
ia miskin, karena ditipu orang, atau karena hidup mempermainkannya tanpa
tujuan. Bisa saja ia miskin, karena ia bahagia dengan kesederhanaan
hidup, dan
tak mau menjadi budak materi. Ada banyak kemungkinan.
Orang tua belum tentu bijaksana, karena bisa saja ia
jarang menimba pelajaran dari pengalaman hidupnya. Orang muda belum
tentu tidak
tahu apa-apa, karena bisa saja ia amat reflektif di dalam menggali
pelajaran
dari pengalaman hidupnya. Ada banyak kemungkinan.
Orang yang berperilaku tidak lazim belum tentu sakit,
atau gila. Bisa saja karena ia adalah orang yang amat kreatif, yang
mampu
melihat dunia dari sudut yang unik, yang tak dimiliki oleh orang-orang
lainnya.
Begitu pula sebaliknya; orang waras belum tentu sehat. Bisa saja ia
menutupi
kegilaannya dengan perilaku normal. Mayoritas pembunuh dan pemerkosa
berantai
adalah orang-orang yang sehari-harinya tampak normal.
Institusi ternama belum tentu bermutu. Sekolah
terkenal belum tentu kualitas pendidikannya bagus. Universitas besar
belum
tentu mampu mendidik secara tepat. Perusahaan besar belum tentu
memberikan
kepuasan dan kebahagiaan pada pegawai maupun konsumennya. Ada banyak
kemungkinan lain yang harus kita pertimbangkan lebih jauh.
Orang berjenggot, bersorban, dan tampak ganas belum
tentu teroris. Begitu pula orang berpenampilan rapih belum tentu orang
baik.
Orang berijazah belum tentu mampu mampu bekerja dan
punya karakter bagus. Dan sebaliknya juga benar, orang yang tak punya
ijazah
belum tentu tak mampu bekerja dan berkarakter jelek. Hasil ujian belum
tentu
mencerminkan kualitas diri peserta didik. Hasil psikotes belum tentu
mencerminkan karakter, kepribadian, ataupun potensi diri si peserta tes.
Ada
banyak kemungkinan lain.
Terhadap Keterbukaan
Di tahun 2012 ini, kita perlu lebih berpikir terbuka.
Kita perlu untuk lebih menggunakan paradigma “belum tentu” di dalam
hidup
sehari-hari kita. Semakin banyak orang tidak bisa lagi digolongkan di
dalam
satu kategori pengandaian (beragama maka baik, atau sopan maka
bermoral). Dunia
kita semakin banyak diisi oleh hal-hal yang “belum tentu”.
Jangan sampai kita tertipu, atau salah membuat
tindakan, karena kita masih berpegang pada pengandaian-pengandaian naif
yang
tak terbuktikan. Ada banyak kemungkinan lain di balik
pengandaian-pengandaian
tersebut, yang justru merupakan peluang untuk bertindak kreatif dan
menghasilkan
hal-hal bermutu. Tahun 2012 adalah tahun baru, namun “belum tentu” kita
semua
bisa berpikir secara baru. Semoga yang terakhir ini tidak benar. “Belum
tentu”…..
Oleh:
Yustinus G. Ukago
Penulis
adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya
Sumber:
http://yimuna.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar