John Pakage |
Tanah Papua adalah satu-satunya
wilayah yang dalam proses integrasinya melibatkan perjanjian
internasional. Berbeda dengan wilayah di Indonesia lainnya.
Lantaran
integrasinya melibatkan Negara lain serta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
inilah yang menjadi “pondasi” konflik yang tak mengenal kata usai antara Negara
Indonesia dan orang Papua di Tanah Papua.
Tentu antara para pihak yang
bertikai ini memiliki argumentasi yang berbeda. Negara merasa sejarah masuknya
Indonesia ke tanah Papua telah final. Artinya Tanah Papua sudah menjadi bagian
dari Indonesia. Sementara orang Papua memiliki argumentasi bahwa Indonesia
masuk ke Papua melalui “jendela”. Artinya Indonesia tidak mengamalkan
perjanjian internasional one men one Vote.
Lantaran masing-masing
mempertahankan argument inilah yang akhirnya sebagai seruan resolusi konflik
muncul ide Dialog. Istilah dialog ini bagi orang Papua bukan hal baru karena
dalam setiap budaya ada kebiasaan duduk sama-sama di Honay atau duduk di Emawa
atau dipara-para untuk membicarakan semua hal lalu mencari jalan keluar
bersama-sama.
Tentu di Pihak Negara Indonesia juga
bukan baru pertama melaksanakan dialog.
Dalam berbagai konflik yang ada
Indonesia mengenal Dialog untuk mencari solusinya. Lihat saja, waktu bangsa
melayu berjuang untuk membentuk Negara Indonesia yang berdaulat seperti yang
ada saat ini, perwakilan orang-orang Melayu mengadakan konfrensi bersama pihak
yang sedang bertikai yakni antara Belanda dan orang Melayu. Akhirnya mampu
menghasilkan sejumlah kesepakatan bersama.
Selain itu dalam era yang sudah
merdeka, Indonesia juga pernah melangsungkan Dialog antara Indonesia dengan
bangsa Aceh di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 sialam.. Perjanjian
helsini yang lebih dikenal dengan istilah kesepakatan untuk mengakhiri konflik
antara Indonesia dan orang-orang dari bangsa Aceh.
Dunia internasional sangat setujuh
dan mendukung upaya dialog yang sudah pernah dilakukan antara Bangsa Aceh dan
Indonesia karena dunia internasional kini sedang mengupayakan tak ada konflik.
Jika ada konflik antar Negara maka Dialog menjadi kampanye utama
Negara-negara saat ini.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pun saat ini mendukung upaya dialog damai bagi daerah atau Negara yang
masih berkonflik. Upaya PBB untuk menghapus konflik pada era sekarang.
PBB terus mengajak Negara-negara anggota PBB untuk mendukung Dialog damai.
Termasuk untuk mengakhiri konflik antara orang Papua di Tanah Papua dengan
Negara Indonesia.
Pengalaman banyak daerah yang
berkonflik di dunia ini, PBB telah berhasil mempertemukan agar masing-masing
pihak yang berkonflik duduk di satu meja untuk mencari akar konfliknya dan
menyepakati bersama solusi untuk keluar dari konflik tersebut.
Seruan agar Indonesia dan
orang-orang Papua dapat duduk satu para-para lalu mencari resolusi konflik
bersama sudah kita dengar dari sejumlah Negara-negara anggota PBB. Misalnya,
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mengatakan di Jakarta pada
Senin 3 September 2012 lalu bahwa pemerintah Amerika Serikat mengecam kekerasan
yang berlangsung di Papua dan berharap pemerintah Indonesia dapat mengedepankan
proses dialog damai dalam penyelesaian konflik yang terjadi.
Selain itu pada saat sidang HAM PBB
di Jenewa Swis beberapa waktu lalu, banyak negara menyeruhkan agar
secepatnya mengakhiri konflik di Tanah Papua.
Tanah Papua sebagai daerah konflik
antara Indonesia dan orang Papua membuat ribuan orang telah menjadi korban.
Termasuk akses media asing dan lsm kemanusiaan berkarya di tanah
Papua pun di tutup akses. Dalam ketertutupan akses media seperti ini tentu tak
aka nada resolusi konflik tetapi justru semakin memprihatinkan hak setiap warga
untuk hidup dan bereskpresi.
Tentu dialog untuk menyelesaikan
konflik antara para pihak yang bertikai tidak melanggar undang-undang juga
menjadi amanat luhur dalam kitab suci dari setiap agama yang ada dan diakui di
muka bumi ini. Setiap agama menginginkan agar warga dan umatnya hidup damai.
Untuk hidup damai ini memerlukan para pihak yang bertikai agar berdamai.
Proses para pihak duduk untuk
membicarakan persoalan sehingga tercipta resolusi konflik inilah yang
disebut Dialog bersama. Proses dimana para pihak yang bertikai yakni Perwakilan
Negara dan perwakilan orang Papua duduk satu para-para dan membicarakan mengapa
harus ada warga korban dan bagaimana resolusi yang disepakati bersama antara
kedua belah pihak inilah yang sudah, sedang dan akan terus di upayakan oleh
Jaringan Damai Papua (JDP).
Sayangnya Dialog yang suci
karena harus di yakini akan mengakhiri konflik lantaran ada penandatanganan
resolusi konflik bersama antar para pihak yang bertikai dengan disaksikan oleh
kaum independen ini disalah artikan. Negara melihat tak perlu ada dialog. Jika
pun ada Negara menggunakan istilah dialog Konstruktif bukan seperti yang di
istilahkan oleh JDP yakni Dialog antar Jakarta dan Papua.
Aparatus Negara juga memahami
pentingnya berdialog antar para pihak yang bertikai untuk itu dalam sejumlah
kesempatan perwakilan Pemerintah Indonesia menghendaki agar ada orang Papua
yang dipercaya untuk mewakili orang Papua berdialog dengan Negara.
Belum adanya orang Papua yang
dipilih mewakili bangsa Papua yang akan berdialog dengan Negara menjadi alasan
utama Pemerintah Indonesia tak mau menerima konsep dialog antara Jakarta dan
orang papua waktu itu. Kini orang Papua telah memilih juru runding yang akan
berbicara mewakili orang Papua namun Pemerintah tak memberi respon sedikit pun
untuk berdialog.
Pada konfrensi Perdamaian Papua yang
diselenggarakan di Universitas Cenderawasih (Uncen) Orang Papua juga telah
memilih beberapa orang yang akan menjadi juru runding saat perwakilan orang
Papua dan perwakilan dari Negara Indonesia melakukan dialog.
Dalam konfrensi yang
berlangsung dari tanggal 5 hingga 7 Juli 2011 silam di Audioterium
Universitas Cenderawasih Abepura ini dihadiri bukan hanya satu pihak yang
konflik melainkan dari dua belah pihak yang berkonflik hadir. Perwakilan Pemerintah
Indonesia dalam hal ini Menteri Koordinator PoLitik Hukum Dan Keamanan Djoko
Suyanto, dan Gubernur Papua Barnabas Suebu sementara dari pihak orang Papua
diwakili oleh 350 orang peserta dari seluruh Tanah Papua dan Papua Barat, juga
300 pengamat baik yang ada di Papua maupun luar Papua.
Para pihak yang tak mau berdialog
untuk mengakhiri konflik yang sudah mengorbankan ribuan orang tentu patut
dipertanyakan niat hidup berdamainya. Kini orang Papua telah memilih perwakilan
yang akan menjadi juru runding pada saat duduk satu meja dengan Negara
Indonesia.
Dialog untuk mencari resolusi
bersama dalam upaya mengakhiri konflik berkepanjangan telah menjadi tujuan PBB
yang juga tidak bertentangan dengan undang-undang Negara termasuk tidak
adanya larangan dari setiap agama yang ada di Indonesia untuk setiap warga
hidup damai. Jika ada konflik secepatnya para pihak mencari resolusi bersama
maka mengapa Pimpinan Negara Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono belum mau
berdialog?
Jika Dialog untuk resolusi konflik
antar Pemerintah Indonesia dan orang Papua telah digelar maka tentu tak mungkin
terjadi lagi Peristiwa; Pada kamis, 16 agustus 2012, pukul 19.00 wit
terjadi penembakan di Obano, distrik Paniai Barat oleh orang tak dikenal (OTK)
yang menewaskan seorang pedagang (Mustafa, 22 thn) dan 2 orang lainnya (Ahyar,
25 thn dan Basri, 22 thn) luka-luka. Akibatnya para pedagang non pribumi merasa
tidak nyaman dan masyarakat Obano pada umumnya resah.
Penembakan di Ujung Bandara
Enarotali oleh orang tak dikenal (OTK) pada Selasa, 21 agustus 2012 lalu yang
menewaskan Brigadir Polisi Yohan Kisiwaitoi, anggota Polres Paniai. Akhirnya
aparat keamanan menembak puluhan peluru sebagai bentuk pelampiasan emosi mereka
dan melakukan tindak sewenang-wenang yang bersasaran pada masyarakat sipil.
Masyarakat semakin takut dan terpaksa melarikan diri ke rumah masing-masing dan
para pedagangpun segera menutup kiosnya masing-masing.
Jika Dialog telah digelar maka tak
mungkin terjadi Penembakan terhadap Mako Tabuni, Ketua I Komite Nasional Papua
Barat di Perumnas III Waena, Distrik Heram, Abepura, Kota Jayapura, Kamis 14
Juni 201. Juga tak mungkin ada 42 tahanan Politik Papua di sejumlah
Penjara.
Andai Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menggelar Dialog Damai maka tak mungkin Negara dipermalukan
atas sorotan beberapa Negara anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB terkait
buruknya Demokrasi dan kondisi HAM di Papua.
Lantaran belum ada niat dari SBY
untuk menggelar Dialog Damai maka Indonesia terus dipermalukan pada berbagai
kesempatan dipodium internasional.
Akhirnya banyak warga merasa tak
percaya diri menjadi warga di Negara yang tak serius mengurus soal Hak Hidup,
Hak untuk aman dan berdemokrasi. Lihat saja Selama Universal Periodic
Review(Tinjauan Periodik Universal) atas Indonesia di Dewan HAM PBB, 23 Mei,
negara Perancis minta Indonesia memberi akses bebas kepada masyarakat sipil dan
jurnalis ke tanah Papua (Papua dan Papua Barat). Pemerintah Britania Raya
mencatat “peningkatan kekerasan” di Papua dan “mendukung Indonesia untuk
mengatasi kekerasan terhadap keyakinan minoritas serta menerima permohonon
kunjungan Pelapor Khusus.
Negara Austria, Chile, Maldives, dan
Korea Selatan mendesak Indonesia agar menerima permintaan pelapor HAM PBB dan
badan-badan prosedur khusus PBB. Meksiko secara khusus minta pemerintah
Indonesia mengundanng pelapor khusus PBB ke Papua. Sebelumnya, Pelapor
Khusus PBB untuk pembunuhan sewenang-wenang, Philip Alston, membuat permohonan
berkunjung ke Indonesia pada 2004 dan berikutnya 2008, yang tak pernah sekali
pun direspon.
Walaupun telah banyak suara “memberi
nasehat “ agar Indonesia memperbaiki kondisi Negara dari buruknya
hidup berdemokrasi namun tak ada respon positif dari Indonesia. Perubahan yang
diharapkan tak kunjung tiba. Yang kunjung tiba adalah malu menjadi warga pada
Negara yang tak tahu malu.
Oleh: John Pakage
Sumber : http://suarakritingfree.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar