Pages

Pages

Sabtu, 10 Agustus 2013

KRIMINALISASI UNDANG UNDANG ANTI TERORISME DI TANAH PAPUA

(Kriminalisasi Pejuang Hak Asasi Manusia Papua Menjadi Teroris)

A. PENDAHULUAN

Isu perang melawan teroris yang dikumandangkan George W Bush pada tahun 2001 pasca pengeboman gedung Word Trade Center (WTC) telah menguncangkan dunia, seruan tersebut seakan memberikan perintah bagi seluruh Negara di dunia untuk membentuk kekuatan untuk menghalau ancaman terorisme itu baik di tingkat internasional, regional dan nasional. Seruan diatas terkesan laksana suara raja dunia yang membahana keseluruh wilayah dunia sehingga semua warga dunia yang bermukim dalam Negara-negara yang telah Merdeka untuk segerah mengikuti himbauan tersebut dengan membentuk Tim Khusus Anti Terorisme.

Negara Indonesia yang adalah sekutu bungsu Amerika Serikat secara ekonomi politik memberikan sumbangsi terbesar dalam mendanai semua program Amerika Serikat baik di bidang ekonomi, sosial, sipil, poltik, dan lain-lain di dalam negeri maupun di luar negeri salah satunya adalah Proyek Perang Melawan Teroris melalui hasil beberapa Perusahaan Besar Milik Negara Amerika Serikat yang beroperasi di Indonesia seperti PT Freeport Mc Morand And Gold Coper (Papua), PT. Newmond (Minahasa dan NTT), PT. Exon Mobile (Sumatra), dan lain sebagainya.
Sebelumnya Negara Indonesia tidak terlalu menggubris seruan Raja Dunia diatas, namun dengan terjadinya Bom Bali I (2002) dan disusul dengan Bom II kemudian membangkitkan Indonesia untuk membuat Aturan Legal dan Istitusi Pelaksananya. UU Anti Terorisme dan Tim Khusus Detasemen 88 merupakan dasar legal dan alat yang digunakan oleh Negara Indonesia untuk perang melawan terorisme di Indonesia, melalui perangkat hukum dan institusi itu telah merenggut sekian jiwa manusia yang diduga Teroris tanpa melihat dan menghargai HAM yang melekat pada mereka (korban).
Dalam kontek hukum terorisme dikategorikan kedalam Tindak Pidana Khusus sehingga dalam penagganannya dilakukan secara khsusus oleh institusi yang terlatih secara khusus pula. Institusi khusus Anti Terorisme Indonesia yang dikenal dengan sebutan Detsemen 88 itu didanai, persenjatai, dan dilatih langsung oleh Pemerintah Australia. Sikap pemerintah Australia ini mengundang sejuta pertannya terkait apa motifasinya dengan mengeluarkan dana sekian dolar hanya untuk melatih sekelompok manusia untuk membunuh manusia lainnya yang adalah sesama warga Negara indonesia.
Sampai saat ini detasemen 88 belum mampu mempertangungjawabkan tindakan mereka kepada public sesuai dengan Asas Keterbukaan yang dianut dalam Negara Demokrasi Indonesia terkait apakan status korban pembantaian mereka itu adalah benar-benar anggota teroris, dan jika memang teroris maka dari jaringan mana sebab semua korbannya mayoritas diketemukan tewas. Kenyataan itu seakan ada tindakan terselubung Detasemen 88 untuk menimbun Tindakan Pelanggaran HAM Berat yang dilakukan secara terang-terang didepan kamera yang disiarkan langsung secara nasional bahkan internasional melalui media elektronik milik Negara Indonesia seperti yang terlihat pada peristiwa penyergapan dan pembunuhan DR. Ashari di Solo, Jawa Tenggah.
Dengan dilebarkannya sayap Detasemen 88 keseluruh pelosok wilayah Indonesia yang didalamnya memang masih terdapat beberapa wilayah yang rawan akan konflik baik konfilk sosial dan konflik poltitik seperti Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, dan Papua. Hanya akan menimbulkan pertanyaan kemudian, jika pada kenyataannya Detasemen 88 sudah, telah, dan akan membunuh orang-orang disana dengan dalil Teroris.
Peroses kriminalisasi UU Anti Terorisme di Negara Indonesia sudah tercium aromanya melaui tindak tanduk Detaseman 88 Anti Teror, melalui kiparah institusi keamanan dari tubuh Kepolisian Republik Indonesia diatas telah memperlihatkan bagaimana Negara Hukum Indonesia memfasilitasikan alat keamanan Negara untuk melanggar Hak Konstitusi warga Negara Indonesia sendiri melalui aturan legal yang diciptakannya sendiri yaitu UU Anti Terorisme.
Status kekhususan dalam ranah hukum pidana pada konteks Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme seakan memuluskan Detasemen 88 untuk mengesampingkan aturan formal Hukum Pidana Indonesia yang terkandung dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan melaluinya telah memporak-porandakan aturan umum tentang Pidana yang telah termuat dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai titik pusat acuan semua aturan hukum tentang Tindak Pidana, serta melaluinya terkesan telah mencabut taring Hakim sebagai wakil Tuhan di dunia yang memiliki kewenangan dalam Negara hukum Indonesia untuk mencabut Hak Asasi Manusia setiap orang yang bermasalah dengan Hukum Pidana.
Sikap acuh tak acuhnya Negara Indonesia dalam mengadopsi pernyataan perang terhadap terorisme titisan Raja Dunia diatas, dengan sendirinya telah sedikit mengikis status Negara hukum Indonesia menjadi Negara komprador yang hanya bisa menjalankan perintah Raja Dunia tanpa melihat kenyataan apakah yang dibunuh adalah teroris ataukah sebaliknya justru sebagai warga sipil yang hanya memiliki kepandaian dalam hal merakit bom untuk dijadikan bahan pelengkap dalam upaya pencarian ikan dilaut oleh nelayan di Papua (sorong), atau untuk dijadikan alat pelindung diri dari gangguan kelompok lain yang merupakan bekas musuh pada saat konflik social terjadi di Poso dan Ambon, atau bahkan bom dan/atau senjata api yang merupakan peninggalan masa perang antara GAM dan TNI di Aceh, dan lebih parah lagi adalah pembunuhan Para Aktifis HAM Papau seperti Mako Tabuni dan Habel Mabel oleh Tim Detasemen 88 di Papua, dan lain sebagainya.

Mungkin dengan lahirnya UU Anti Terorisme, Negara Indonesia khususnya Detasemen 88 sebagai Tim Pelaksana dilapangan sedikit berpikir bahwa melaluinya (UUAT) dapat digunakan sebagai dasar legal untuk mecari dana segar dari donator internasional dan membuka hutang luar negeri baru, melumpuhkan dan menghilangkan nyawa rakyat, serta menyumbatkan ruang demokrasi rakyat Indonesia yang kepala batu menurut kacamata Negara Indonesia dalam konteks Negara Indonesia yang mengedepankan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Kepastian Hukum dalam mengimplementasi Sistem Pemerintahan Indonesia pasca Reformasi 98, artinya lahirnya UU Anti Terorisme memberikan peluang bagi Aparat Keamanan Negara Indonesia, khususnya Detasemen 88 untuk mengimplementasikan modus operandi baru secara legalitas untuk melakukan Pelanggaran HAM Berat secara terang-terang seperti yang sudah dilakukan sebelumnya pada beberapa tahun yang lalu.

B. POTRET KRIMINALISA DI TANAH PAPUA
Irjen Pol Tito Karnavian Ph.d adalah aktor intelektual milik KAPOLRI yang sangat handala dan teruji dalam mengungkap beberapa kasus terorisme di Indonesia, pemburuan, pembunuhan, dan pengeledaan beberapa actor teroris seperti Nudin M Top, Dr Ashari, dan lain sebagainya adalah bentuk kesuksesan beliau pada saat menjabat sebagai Komadan Pasukan Elit Kepolisian yang dikenal dengan nama Desus 88 Anti Teror (Alais Peneror).
Sejak ditetapkannya Irjen Pol Tito Karnavian Ph.d sebagai KAPOLDA PAPUA isu penemuan bom dengan berbagai motif mulai terlihat di tanah papua, seperti ; isu penemuan sebuah kantong plastic berwarna hitam yang diduga bom di Pos Lantas Skyland jayapura, disusul dengan isu penemuan bom diwamena, dan ledakan bom ikan milik nelan di sorong. Disusul dengan penangkapan dan penyitaan beberapa warga sipil papua yang memiliki puluhan amunisi dan senjata api baik yang diperoleh dari oknum Aparat Keamana dengan cara membeli, dan sumber yang kurang jelas.
Jauh sebelum ditetapkannya beliau di propinsi papua telah terjadi pembunuhan terhadap Jenderal Kelik Kwalik oleh Detasemen 88 di timika papua sebagai bentuk pemanfaatan UU Terorisme untuk mengkriminalisasikan Pejuang Hak Asasi Manusia Papua. Posos beliau yang adalah Eks Pejabat Kepolisian di Detasemen 88 kemudian memberikan jawaban bahwa maka dialah actor intelektual Kriminalisasi UU Anti Terorisme di Papua. 

Dengan melihat isu terorisme yang berkembang bagai jamur ditanah papua pasca ditetapkan eks pejabat Detasemen sebagai KAPOLDA PAPUA diatas, mayoritas ditujukan kepada Individu/person yang dijadikan korban kriminalisasi. Anehnya adalah Pernyataan tidak jelas dan sepihak yang dikeluarkan oleh KAPOLDA Papua bahwa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dalam suatu Kongres Luar Biasa yang diselengarakan di Biak, Papua telah menghibau kepada Kadernya untuk melatih diri untuk merakit bom, padahal berdasarkan keterangan ketua umum KNPB Viktor Yeimo dalam kongres yang diselengarakannya tidak pernah ada stekmen dimaksud yang disampaikan. 

Sikap KAPOLDA PAPUA dan jajarannya telah menunjukan bahwa adanya upaya-upaya untuk menjadikan KNPB sebagai “kelenci percobaan” dalam upaya untuk mengkriminalisan organisasi tersebut agar tidak melakukan Hak Konstitusinya yaitu “berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat dimuka umum atau dapat disimpulkan dengan Hak Berdemokrasi”. 

Upaya mengkriminalisasikan pejuang HAM Papua sebagai Teroris telah sukses diimplementasikan disana, didukung sukses oleh beberapa media masa cetak maupun elektronik baik local maupun nasional yang selalu mengangkat opini Kapolda Papua ke publik. Disamping itu tindakan kepolisian daerah papua juga dibeck-up juga oleh kabar mengungsinya pemimpin Teroris di wilayah Poso, Sulawesi Tenggah ke papua sehingga memberikan satu pandangan umum bahwa tindakan Kapolda Papua sangat tepat. 

Secara legal tindakan Kapolda Papua juga mendapatkan restu oleh UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua melalui rekomendasi kepada Pemerintah Pusat untuk mengelola/mengurus bidang Pertahanan Keamanan di seluruh wilayah Papua. Melalui pandangan itu kemudian memberikan suatu asumsi bahwa dalam upaya Kriminalisasi Pejuang HAM Papua sebagai Teroris adalah Proyek Pemerintah Pusat yang diwujudkan oleh Kapolda Papua, dan selanjutnya dapat disimpulkan bahwa UU Anti Terorisme adalah salah satu Kebijakan Kriminal Negara Indonesia untuk melumpuhkan/mematikan ruang demokrasi masyarakat papua, dan sekaliugus sebagai dasar legalitas untuk melakukan pelanggaran HAM terhadap Pejuang HAM Papua.
Berdasarkan sikap dan tindakan Kapolda Papua diatas, dan pandangan Negara yang terkesan mengapresiasikan tindakan dimaksud telah menunjukan adanya pemanfaatan hukum demi melegalkan tindakan pelanggaran HAM secara terang-terang oleh Kepolisian Daerah Papua yang juga telah dipandang sebagai suatu tindakan kewajaran oleh Internasional sehingga aliran dana, pelatihan, dan Peralatan bagi Detasemen 88 semakin kencang mengalir, seperti yang sudah dilakukan oleh pemerintah Australia, dan Amerika Serikat.

C. KORBAN KRIMINALISASI UU TINDAK PIDANA TERORISME
Sejak diberlakukannya UU Anti Terorisme sampai saat ini telah tercatat beberapa korban jiwa, barang, harta benda, dan bahkan kebebasan berorganisasi yang telah dikorbankan oleh Detasemen 88 di Tanah Papua. Disamping itu, tindakan mereka yang selalu mengelar parade lengkap dengan peralatan pada waktu-waktu tertentu yang diidentik dengan hari bersejarah Papua juga telah membangkitkan kembali trauma yang berkepanjangan dalam masyarakat papua.
Ada 3 (tiga) kasus kriminalisasi UU Tindak Pidana Terorisme yang telah dilakukian oleh Detasemen 88 terhadap Pejuang HAM Papua, secara rinci ada 2 (dua) kasus terhadap person, dan 1 (satu) kasus terhadap organisasi, yaitu : 1). Kasus Pembunuhan Jenderal Besar Kelik Kwalik di Timika, dan 2). Kasus Pembunuhan Musa Alias Mako Tabuni di (Waena) Jayapura, dan 3). Kasus Kriminalisasi KNPB menjadi Organisasi Teroris.
Di dalam mengeksekusi kedua Tokoh Pejuang HAM Papua, serta pembungkaman ruang demokrasi bagi KNPB dengan dalil Kriminalisasi Organisasi Teroris diatas, detasemen 88 benar-benar menunjukan tindakan kebiadaban dan anti terhadap HAM didepan mata seluruh masyarakat papua.

1) Kasus Pembunuhan Jenderal Besar Kelik Kwalik
Pembunuhan terhadap Jenderal Besar Kelik Kwalik dilakukan pada saat beliau dalam kondisi tidak bersenjata didalam sebuah rumah sekitar perkampungan warga yang telah dikepung oleh anggota Detasemen 88. Teknis penyergapan dan pembunuhan yang dipraktekan sungguh sangat tidak manusiawi karena penembakan dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh anggota detasemen 88 yang mengepung rumah tersebut, setelah itu mereka kemudian mendekati rumah tersebut dan masuk dan melakukan tembakan lagi kearah Jenderal Besar Kelik Kwalik sehingga Tubuh dan Wajahnya Rusak terkena Ribuan Amunisi milik Detasemen 88. Dalam kondisi itu mereka kewalahan untuk mendeteksi identitas sebenarnya Jenderal Besar Kelik Kwalik, kemudian jasadnya dikirim ke Jayapura untuk diotopsi dan diidentifikasi kebenarannya, selanjudnya jasadnya dikembalikan ke Timika untuk dikebumikan.

2) Kasus Pembunuhan Musa Alias Mako Tabuni
Pembunuhan terhadap musa alias mako tabuni dilakukan pada pagi hari kurang lebih jam 09.10 pagi (WP) didepan putaran taksi (angkutan umum) jalur abepura - perumnas tiga (waena). Awalnya musa datang ke tempat itu untuk membeli pinang, setibahnya didepan meja kemudia ia membeli pinang dan sementara dia sedang makan pinang tiba-tiba datang sekelompok orang yang berbadan tegap dan terkesan muka baru ditempat datang dari arah sebuah mobil pribadi yang berkaca hitam langsung datang mendekati musa dan memegang tangannya, karena tangannya dipegang kemudian musa merontak untuk melepaskan tangannya dari gengaman orang yang memegangnya dan hendak bertanya : 

“kalian ini siapa, dari mana ?, kemudian mereka mengatakan bahwa Mereka Adalah Polisi., karena mendengar polisi kemudian musa bertanya Mana Surat Perintah Penangkapan, dan Surat Tugas Anda ?., mereka tidak menunjukan satu surat sebagai jawaban pertanyaan musa, namun mereka Menunjukan Sikap dan Tindakan Hanya Untuk Menangkap karena musa melihat mereka tidak memeiliki surat apa-apa sehingga musa pun hendak meninggalkan mereka kurang lebih 1, 5 meter kemudia mereka mengeluarkan senjata dan mulai menembak musa dari belakang sebanyak 3 (tiga) peluru yang bersarang dalam tubuh musa dimana satu peluru bersarang dibagian kepala, satu peluru lagi di lutur, dan satunya lagi dibagian lengan”

Setelah menembak musa kemudian mereka menembak lagi kearah udarah sehingga suasana disekitar situ mulai panik dan banyak orang dan taksi (angkutan umum) yang saling berlumba untuk mencari selamat situasi tempat tersebut tidak teratur dan sembrawut. Dalam kondisi itu kemudian dari dalam mobil pribadi yang berkaca hitam itu hendak bergerak merapat kearah musa yang sedang jatuh bersimbah darah dan sedang dikelilingi oleh beberapa orang yang menembaknya itu. Sesampainya disekitar terkaparnya musa kemudian keluar lagi beberapa orang yang berbadan tegak dan berpakaian preman dari dalam mobil tersebut, kemudian musa yang sudah terkapar bersibah darah itu diangkugkut kedalam mobil dan kemudian mobil tersebut melaju menuju kantor polisi.

Karena banyaknya pendarahan sehingga musa dilarikan kerumah sakit bayangkara, namun karena jaraknya jauh sehingga musa kehabisan nyawa dalam perjalanan menuju RS. Bayangkarat. Dalam perjalanan itu kemudian lahirlah ide gila dari para oknum detasemn 88 itu dengan meletakan sebuah pistol, dan beberapa buah amunisi dalam kantong musa yang kemudian disebutkan bahwa karena musa hendak melawan sehingga mereka mengambil tindakan melumpukan musa di Tempat Kejadian Perkara.


3) Kasus Kriminalisasi KNPB menjadi Organisasi Teroris
Stekmen terbuka Kapolda Papua yang diliput melalui surat kabar Bintang Papua terkait adanya istruksi ketua KNPB pada saat Kongres Luar Biasa di Biak untuk memerintahkan seluruh anggotannya disetiap wilayah untuk belajar merakti bom, yang dibantah secara langsung dan terbuka oleh ketua KNPB merupakan bukti kriminalisasi KNPB. 

Semenjak dikeluarkannya stekmen terbuka yang sepihak dan terkesan pembohongan publik oleh Kapolda Papua itu seakan-akan membuka lebar pintu bagi Detasemen 88 untuk mulai melakukan penyisiran terhadap angota KNPB secara serempak di seluruh wilayah Papua, sehingga tercatat banyak yang menjadi korban atas tindakan kebrutalan Dentasemen Khusus 88. Menurut laporan ketua KNPB sepanjang tahun 2012 telah tercatat 22 Kasus Kekerasan yang menimpa KNPB. Terhitung sebagai kasus pertama yang tercatat di tahun 2013 adalah penyisiran dan pembunuhan ketua militan KNPB wilayah wamena Habel Mabel, januari lalu.

D. KESIMPULAN
Deklarasi Internasional Tentang Hak Asasi Manusia yang menjadi sipirit lahirnya PBB pada tahun 1948 terkesan diabaikan oleh Amerika Serikat hanya untuk menopang pernyataan Perang Melawan Teroris pasca diruntuhkannya gedung pentagon 2001 lalu. Pernyataannya juga sangat mujarab untuk merayu semua negara untuk ikut berperang dalam perangnya itu, sehingga melahirkan kesan lahirnya system feodalisme modern dibawah bawah tahta kapitalisme Amerika Serikat. 

Indonesia adalah salah sau negara yang sukses menjalankan misi tersebut sehingga mampu terrekrut menjadi agend CIA. Melaluinya juga indonesia telah mampu meraup keuntungan dalam hal dana, dan peralatan perang oleh pemilik perang dan sekutunya, namun saying sikap Indonesia itu hanya membuat terjadinya benturan, pemanfaatan, dan bahan penghilangan Aturan Hukum seperti UUD 1945, KUHAP, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU No. 21 Tahun 2001 Tentang OTSUS Papua. 

Di tengah situasi itu ada beberapa pihak yang cukup girang dengan lahirnya fenomena kriminalisasi oleh Kapolda Papua diatas, pihak-pihak yang dimaksud disini adalah mereka yang berkepentingan secara ekonomi dan politik di tanah papua sehingga menganggap keberadaan Pejuang HAM Papua sebagai penghalang bagi pemenuhan kepentingan mereka masing-masing. Pihak-pihak dimaksud adalah : Pemerintah Indonesia, Amerika Serikat, dan Australia.

Indonesia sebagai negara hukum sehingga wajib menjunjung tinggi nilai-nilai hukum yang telah diberlakukan didalamnya, dan merupakan suatu keharusan untuk menegakkan supremasi Hukum. Dengan demikian maka pemenuhan keadilan bagi para korban krminalisasi UU Tindak Pindak Terorisme di tanah Papua wajib dipertanggungjawabkan secara hukum, sehingga para pelaku penembakan terhadap beberapa pejuang HAM Papua wajib disidang dan dihukum sesuai dengan perbuatannya. Disamping itu untuk membentuk suatu negara yang demokratis dan diakui oleh dunia intrernasional, dan mewujudkan hak-hak konstitusi maka Negara wajib membuka ruang demokrasi sebesar-besarnya di Tanah Papua agar Hak Asasi Manusia Bangsa Papua dapat dihargai sesuai dengan cita-cita lahirnya Deklarasi Internasional Tentang Hak Asasi Manusia.
Sumber :  www.malanesia.com