(Foto: Pasti Liberti/detikcom) |
50 Tahun Integrasi Irian Barat ke NKRI
Sorong - Pada 1 Mei lalu bertepatan dengan 50 tahun
integrasi Irian Barat (sekarang Papua) ke Indonesia. Kala itu United
Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) menyerahkan pemerintahan
atas Irian Barat kepada Indonesia. Penggalan sejarah itu tentunya
digugat aktivis Gerakan Papua Merdeka. Namun pertanyaan saat ini
tentunya adalah, selama setengah abad, adakah makna bergabungnya Papua
ke wilayah Indonesia bagi masyarakatnya?
Yahya Solossa, 69 tahun, seorang tokoh integrasi Papua kelahiran Ayamaru, Kabupaten Maybrat, menuturkan kepada Detik sebagian kecil sejarah itu di kediamannya Rabu dua pekan lalu.
Sembari berbincang di teras rumahnya di sebuah bukit yang menghadap ke Pantai Rufei, Kota Sorong, Papua Barat, bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Sorong itu juga menuturkan kondisi dan tantangan yang dihadapi Papua saat ini dari perspektifnya sebagai pejuang integrasi. Berikut ini petikan wawancaranya.
Sebagai pelaku sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia, apa yang bisa dilihat selama setengah abad ini?
Saya pegawai Belanda saat itu sebagai guru Sekolah Rakyat. Pada zaman Belanda, sasaran utama adalah perdagangan. Mereka mencari daerah yang punya potensi. Kita lihat, pada zaman Belanda, pendidikan orang Papua terbatas pada Sekolah Rakyat dan sekolah kejuruan selama dua tahun. Hanya itu.
Nanti, setelah pengembangan di sejumlah negara Pasifik, muncul ada riak membentuk negara sendiri. Belanda juga mulai mengupayakan sekitar 1959. Pada 1960 sudah mulai dipersiapkan Papua juga harus merdeka.
Akhirnya, kalau kita lihat garis besarnya, pendidikan politik belum siap, karena pendidikan terbatas. Baru ada Sekolah Rakyat kok mau merdeka. Setelah mendekati 1960, ada beberapa pemuda Papua yang dikirim bersekolah ke Belanda. Hanya sekitar dua tahun kemudian muncul Indonesia dengan adanya Bung Karno.
Orang Papua bikin kelompok perjuangan menyatukan diri dengan Indonesia. Melepaskan diri dari Belanda. Pada 1961 bulan April mulai terjun Pasukan Gerak Tjepat (PGT) di Sorong, Fakfak, dan Kaimana. Presiden Sukarno sudah mulai melakukan aksi tegas Belanda tidak boleh bertahan. Sampai 1962, Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai campur tangan dengan membentuk pemerintah sementara (UNTEA) dari Agustus 1962 sampai 1 Mei 1963.
PBB dengan Belanda dan Indonesia melakukan pertemuan. PBB mengembalikan Papua kepada Indonesia. Sampai 1969, baru Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua. Apakah tetap dengan Belanda, merdeka, atau Indonesia. Dalam kesepakatan PBB dengan Indonesia dan Belanda, akan diadakan pemungutan suara. Bulan Juli 1969 mulai pelaksanaan sampai Agustus. Setelah Pepera, baru resmi dinyatakan Papua masuk dalam Indonesia.
Tanggal 1 Mei itu sejarah tentang pelepasan kekuasaan Belanda yang diwakilkan kepada UNTEA, lalu PBB melepaskan itu kepada Indonesia. Bendera PBB diturunkan, lalu Merah-Putih dikibarkan di daratan Irian Barat.
Kita evaluasi kemajuan dari 1963 bahwa banyak kemajuan perkembangan pendidikan. Kita tinggal menata diri supaya hidup layak dan baik. Jalan-jalan yang sebelumnya sulit sudah sampai ke pedalaman.
Kesehatan juga luar biasa, yang jadi dokter dan suster orang Papua sendiri. Kalau ada riak-riak, anggap itu hal biasa. Ini didatangkan oleh orang Papua sendiri. Bikin riak. Otsus (Otonomi Khusus) itu benar sudah datang. Bikin riak lagi. Otsus itu ibarat kunci rumah. Terserah orang Papua mau buat apa di rumah sendiri. Kalau orang Papua sendiri ikut menyelewengkan, itu sama saja menghancurkan.
Namun saya minta kepada partai-partai besar yang ada di pusat agar, untuk DPR Pusat, orang Papua yang menduduki dia punya kursi. Jangan (diduduki) orang-orang di luar Papua. Kalau tidak, saya sebagai pejuang juga akan mengatakan, buat apa, lebih baik kita merdeka saja. Sehingga komunikasi pusat dengan Papua aman. Saya lihat selama ini yang mewakili Papua tidak benar-benar.
Undang-Undang Otsus sudah memenuhi kebutuhan orang Papua?
Belum ada peraturan daerah khusus sebagai turunan dari Undang-Undang Otsus agar bisa diimplementasikan. Harus ada peraturan daerah khusus agar diatur secara terperinci, misalnya uang Otsus diatur atau dimanfaatkan ke mana.
Namun tuntutan merdeka tidak pernah hilang dari tanah Papua?
Riak separatisme memang ada. Namun gerakan itu hanya pelepasan emosional atau kurang puas terhadap orang Papua sendiri yang diberi kedudukan yang layak. Ini karena mementingkan diri, sehingga saudara-saudara mereka tidak dipikirkan. Sebenarnya, kalau bicara soal orang Papua mau merdeka, lihat dulu kekuatannya itu apa. Orang mau merdeka itu harus melihat dulu kesiapan. Apakah sudah siap?
Ancaman terbesar lainnya bagi Papua?
Salah satunya adalah minuman keras, yang memicu pemuda yang tidak belajar dengan baik. Ikut teman mabuk-mabukan.
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Detik edisi Senin, 13 Mei 2013.
(nwk/nwk)
Yahya Solossa, 69 tahun, seorang tokoh integrasi Papua kelahiran Ayamaru, Kabupaten Maybrat, menuturkan kepada Detik sebagian kecil sejarah itu di kediamannya Rabu dua pekan lalu.
Sembari berbincang di teras rumahnya di sebuah bukit yang menghadap ke Pantai Rufei, Kota Sorong, Papua Barat, bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Sorong itu juga menuturkan kondisi dan tantangan yang dihadapi Papua saat ini dari perspektifnya sebagai pejuang integrasi. Berikut ini petikan wawancaranya.
Sebagai pelaku sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia, apa yang bisa dilihat selama setengah abad ini?
Saya pegawai Belanda saat itu sebagai guru Sekolah Rakyat. Pada zaman Belanda, sasaran utama adalah perdagangan. Mereka mencari daerah yang punya potensi. Kita lihat, pada zaman Belanda, pendidikan orang Papua terbatas pada Sekolah Rakyat dan sekolah kejuruan selama dua tahun. Hanya itu.
Nanti, setelah pengembangan di sejumlah negara Pasifik, muncul ada riak membentuk negara sendiri. Belanda juga mulai mengupayakan sekitar 1959. Pada 1960 sudah mulai dipersiapkan Papua juga harus merdeka.
Akhirnya, kalau kita lihat garis besarnya, pendidikan politik belum siap, karena pendidikan terbatas. Baru ada Sekolah Rakyat kok mau merdeka. Setelah mendekati 1960, ada beberapa pemuda Papua yang dikirim bersekolah ke Belanda. Hanya sekitar dua tahun kemudian muncul Indonesia dengan adanya Bung Karno.
Orang Papua bikin kelompok perjuangan menyatukan diri dengan Indonesia. Melepaskan diri dari Belanda. Pada 1961 bulan April mulai terjun Pasukan Gerak Tjepat (PGT) di Sorong, Fakfak, dan Kaimana. Presiden Sukarno sudah mulai melakukan aksi tegas Belanda tidak boleh bertahan. Sampai 1962, Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai campur tangan dengan membentuk pemerintah sementara (UNTEA) dari Agustus 1962 sampai 1 Mei 1963.
PBB dengan Belanda dan Indonesia melakukan pertemuan. PBB mengembalikan Papua kepada Indonesia. Sampai 1969, baru Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua. Apakah tetap dengan Belanda, merdeka, atau Indonesia. Dalam kesepakatan PBB dengan Indonesia dan Belanda, akan diadakan pemungutan suara. Bulan Juli 1969 mulai pelaksanaan sampai Agustus. Setelah Pepera, baru resmi dinyatakan Papua masuk dalam Indonesia.
Tanggal 1 Mei itu sejarah tentang pelepasan kekuasaan Belanda yang diwakilkan kepada UNTEA, lalu PBB melepaskan itu kepada Indonesia. Bendera PBB diturunkan, lalu Merah-Putih dikibarkan di daratan Irian Barat.
Kita evaluasi kemajuan dari 1963 bahwa banyak kemajuan perkembangan pendidikan. Kita tinggal menata diri supaya hidup layak dan baik. Jalan-jalan yang sebelumnya sulit sudah sampai ke pedalaman.
Kesehatan juga luar biasa, yang jadi dokter dan suster orang Papua sendiri. Kalau ada riak-riak, anggap itu hal biasa. Ini didatangkan oleh orang Papua sendiri. Bikin riak. Otsus (Otonomi Khusus) itu benar sudah datang. Bikin riak lagi. Otsus itu ibarat kunci rumah. Terserah orang Papua mau buat apa di rumah sendiri. Kalau orang Papua sendiri ikut menyelewengkan, itu sama saja menghancurkan.
Namun saya minta kepada partai-partai besar yang ada di pusat agar, untuk DPR Pusat, orang Papua yang menduduki dia punya kursi. Jangan (diduduki) orang-orang di luar Papua. Kalau tidak, saya sebagai pejuang juga akan mengatakan, buat apa, lebih baik kita merdeka saja. Sehingga komunikasi pusat dengan Papua aman. Saya lihat selama ini yang mewakili Papua tidak benar-benar.
Undang-Undang Otsus sudah memenuhi kebutuhan orang Papua?
Belum ada peraturan daerah khusus sebagai turunan dari Undang-Undang Otsus agar bisa diimplementasikan. Harus ada peraturan daerah khusus agar diatur secara terperinci, misalnya uang Otsus diatur atau dimanfaatkan ke mana.
Namun tuntutan merdeka tidak pernah hilang dari tanah Papua?
Riak separatisme memang ada. Namun gerakan itu hanya pelepasan emosional atau kurang puas terhadap orang Papua sendiri yang diberi kedudukan yang layak. Ini karena mementingkan diri, sehingga saudara-saudara mereka tidak dipikirkan. Sebenarnya, kalau bicara soal orang Papua mau merdeka, lihat dulu kekuatannya itu apa. Orang mau merdeka itu harus melihat dulu kesiapan. Apakah sudah siap?
Ancaman terbesar lainnya bagi Papua?
Salah satunya adalah minuman keras, yang memicu pemuda yang tidak belajar dengan baik. Ikut teman mabuk-mabukan.
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Detik edisi Senin, 13 Mei 2013.
(nwk/nwk)