Buku Sintong Panjaitan, topik
pembahasa PEPERA 1969
juga dibahas di dalamnya (Foto: Ist)
|
Oleh: Martyr Papua*
Setiap kali kita berbicara tentang masalah Papua, kita selalu
dihadapkan dengan kontroversi keabsahan Pepera, alias Penentuan Pendapat
Rakyat Papua pada tahun 1969.
Bagi pemerintah NKRI, termasuk Presiden SBY, Pepera sudah tidak perlu
lagi dipermasalahkan, karena hasilnya sudah diterima oleh PBB.
Tetapi, bagi banyak orang asli Papua, termasuk mereka yang lahir sesudah tahun 1969, Pepera sarat dengan cacat.
Pada tanggal 29 Mei sampai 2 Juni 2000, hampir 13, tahun yang lalu,
berlangsung Kongres II Papua di Jayapura. Mungkin ini adalah pertemuan
yang paling akbar dan paling demokratis yang dihadiri oleh sekitar
21.000 orang asli Papua dan bukan Papua.
Presiden Abdurrahman Wahid waktu itu memberikan izin, bahkan ikut
membiayai, walaupun belakangan beliau menyesalkan hasil-hasil kongres
yang tidak sesuai dengan keinginan pejabat pemerintah di Jakarta.
Sidang Komisi I Kongres Papua II, yang membahas tentang pelurusan
Sejarah Papua, menghasilkan 13 butir pernyataan. Dari ke-13 butir
tersebut, paling tidak 10 butir secara spesifik mengeritik Pepera.
Intinya hanya satu: rakyat Papua Barat tidak pernah diberikan
kesempatan yang adil, demokratis dan bermartabat sesuai persetujuan
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda yang ditandatangani oleh Dr.
Subandrio dan J. Herman van Royendan C.W.A. Shurmann, Persetujuan itu
dibuat di Markas Besar PBB, 15 Agustus 1962, dan oleh karenanya dikenal
dengan nama New York Agreement.
Sudah barang tentu pemerintah Indonesia dengan tegas menolak klaim
bahwa Pepera cacat. Penolakan itu dilakukan mulai dari pejabat Kodam
XVII Cenderawasih (http://kodam17cenderawasih.mil.id/media.php?module=detailartikel&id=18) sampai Kementerian Luar Negeri melalui kedutaan-kedutaan besarnya (http://www.indonesianembassy.org.uk/papua/papua.html).
Tetapi, apa penuturan Sintong Panjaitan, yang ketika itu adalah
seorang perwira muda jempolan para komando, tentang Pepera di Papua,
setidak-tidaknya di Manokwari?
Di dalam buku “Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”
karangan Hendro Subroto, diterbitkan tahun 2009 oleh Penerbit Buku
Kompas, tercatat seperti berikut ini: “Sintong yang pada tahun 1967
telah berpengalaman dalam operasi tempur selama sepuluh bulan di
Kabupaten Manokwari berusaha mendekati penduduk. Ia memperkirakan jika
di Kabupaten Manokwari dilaksanakan kebebasan memilih, maka antara
pilihan Irian Barat masuk kedalam wilayah Indonesia dan Irian Barat
berdiri sendir ia kuatir dapat perbanding suara 2:3 untuk kemenangan
pihak yang menginginkan Irian Barat berdiri sendiri.” (hal. 182).
Kalau begitu, benarkah rakyat Papua telah diberikan kesempatan yang
demokratis, adil dan bermartabat untuk menentukan nasibnya sendiri?
Benarkah tidak ada intimidasi kepada rakyat Papua dan/atau para wakil
mereka ketika Pepera dilakukan?
*Penulis pemerhati sosial, tinggal di pinggiran Kota Jayapura, Papua
Sumber : www.suarapapua.com