Benny Wenda, tokoh OPM yang gencar melakukan lobi internasional. (sumber: Oxford Mail) |
Jakarta -
Dibukanya secara resmi Kantor Perwakilan Papua Merdeka, di Oxford,
Inggris, pada 28 April lalu dinilai sebagai cermin lemahnya diplomasi
pemerintah Indonesia.
"Tumpulnya diplomas RI ditunjukkan tidak bisanya menghadapi ofensif diplomasi individual seperti yang dilakukan Benny Wenda," kata Sekretaris Jenderal Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) Girindra Sandino dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (4/6).
Di Papua, masih ada Tentara Pembebasan Nasional OPM dibawah Goliath Tabuni, Komite Nasional Papua Barat dan lain-lain, yang masih berkembang melakukan kampanye Papua Merdeka.
Ditambah dengan kian tumbuhnya dukungan internasional dari kekuatan politik di Papua Nugini, Vanuatu, serta sejumlah politisi di Inggris, Selandia Baru dan Australia, Girindra mendesak pemerintah untuk meningkatkan ofensif diplomatik.
Menurutnya, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) juga harusnya menghentikan gaya diplomasi yang 'gemulai', dimana setiap bentuk dukungan internasional terhadap Papua Merdeka harus segera direspons keras, atau tegasnya, minimal dengan kecaman keras.
Di samping itu, lanjut dia, intensifikasi dan akselerasi program-program kesejahteraan rakyat, pembangunan infrastruktur dan efektivikasi dana Otsus, begitu pula tindakan tegas atas korupsi dana Otsus, harus menjadi agenda prioritas Pemerintah.
"Dengan memberi izin membuka perwakilan Papua Merdeka di Inggris. Inggris tidak menghormati kedaulatan negara kita. Pemerintah harus segera mengirim nota protes kepada pemerintah Inggris. NKRI sudah final. Jangan pernah tunduk terhadap tekanan dan kecaman Lembaga-lembaga HAM Internasional yang mengatasnamakan kemanusiaan," tuturnya.
Langkah konkret pemerintah seandainya Kantor Papua Merdeka tidak ditutup, menurut Girindra, juga bisa berupa diplomasi yang keras atau ekstrem berupa pemutusan hubungan diplomatik dengan Inggris.
Di sisi lain, menurutnya, Inggris telah melecehkan Republik Indonesia, karena beberapa hari lalu, Indonesia pada tanggal 1 Mei, yakni tahun 1963 lalu, berhasil merebut kembali Irian Barat ke pangkuan Ibu pertiwi melalui serangkaian perjuangan diplomasi.
"Tumpulnya diplomas RI ditunjukkan tidak bisanya menghadapi ofensif diplomasi individual seperti yang dilakukan Benny Wenda," kata Sekretaris Jenderal Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) Girindra Sandino dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (4/6).
Di Papua, masih ada Tentara Pembebasan Nasional OPM dibawah Goliath Tabuni, Komite Nasional Papua Barat dan lain-lain, yang masih berkembang melakukan kampanye Papua Merdeka.
Ditambah dengan kian tumbuhnya dukungan internasional dari kekuatan politik di Papua Nugini, Vanuatu, serta sejumlah politisi di Inggris, Selandia Baru dan Australia, Girindra mendesak pemerintah untuk meningkatkan ofensif diplomatik.
Menurutnya, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) juga harusnya menghentikan gaya diplomasi yang 'gemulai', dimana setiap bentuk dukungan internasional terhadap Papua Merdeka harus segera direspons keras, atau tegasnya, minimal dengan kecaman keras.
Di samping itu, lanjut dia, intensifikasi dan akselerasi program-program kesejahteraan rakyat, pembangunan infrastruktur dan efektivikasi dana Otsus, begitu pula tindakan tegas atas korupsi dana Otsus, harus menjadi agenda prioritas Pemerintah.
"Dengan memberi izin membuka perwakilan Papua Merdeka di Inggris. Inggris tidak menghormati kedaulatan negara kita. Pemerintah harus segera mengirim nota protes kepada pemerintah Inggris. NKRI sudah final. Jangan pernah tunduk terhadap tekanan dan kecaman Lembaga-lembaga HAM Internasional yang mengatasnamakan kemanusiaan," tuturnya.
Langkah konkret pemerintah seandainya Kantor Papua Merdeka tidak ditutup, menurut Girindra, juga bisa berupa diplomasi yang keras atau ekstrem berupa pemutusan hubungan diplomatik dengan Inggris.
Di sisi lain, menurutnya, Inggris telah melecehkan Republik Indonesia, karena beberapa hari lalu, Indonesia pada tanggal 1 Mei, yakni tahun 1963 lalu, berhasil merebut kembali Irian Barat ke pangkuan Ibu pertiwi melalui serangkaian perjuangan diplomasi.
Penulis: WIN/FEB
Sumber:Suara Pembaruan/www.beritasatu.com