Pages

Pages

Sabtu, 04 Mei 2013

Pemerintah didesak berhenti berbohong soal tahanan politik di Papua

Para tapol Papua
Pemerintah Indonesia harus berhenti berbohong mengenai keberadaan tahanan politik (tapol)  di Papua yang dipenjara karena mengekpresikan opini dan aspirasi mereka, demikian pernyataan dalam laporan terbaru TAPOL sebuah LSM HAM berbasis di London  yang bekerja sama dengan organisasi lokal di Indonesia dan Papua Barat.

TAPOL merilis laporan setebal 31 halaman berjudul ‘Tidak Ada Tahanan Politik? Pembungkaman Protes Politik di Papua Barat’ pada Senin (19/4) lalu.

Mereka menggugat pemerintah Indonesia yang selalu menekankan tidak adanya tahanan politik di Papua.

“Pemerintah tidak bisa berdalih tak ada tahanan politik di Papua. Mereka terdiri dari para laki-laki dan perempuan yang nyata ada dan harus diakui”, kata Paul Barber, koordinator Tapol dalam pernyataan resmi.

“Jika pemerintah berniat untuk membangun perdamaian di Papua Barat, mereka harus berbicara dengan para pimpinan politik, bukan justru memenjarakannya”, lanjutnya.
Laporan ini didasarkan pada penelitian dan wawancara serta data dari situs www.papuanbehindbars.org, sebuah upaya inisiatif baru dari kelompok masyarakat sipil di Papua Barat dan telah dirilis di Jayapura, awal bulan ini.

Hingga Maret tahun ini, kata mereka, terdapat 40 tapol di Papua. Laporan ini juga mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 210 peristiwa penangkapan bernuansa politik di Papua sepanjang tahun 2012, dimana 9 persennya menimpa kaum perempuan.

‘Untuk setiap tapol di mana pemerintah mengabaikannya, terdapat ribuan orang-orang Papua yang merasa sakit hati dan diabaikan. Memberikan orang Papua hak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri sama seperti warga negara lainnya adalah langkah awal menuju dasar penyelesaian konfik,’ ujar Paul Barber.

Menurut Tapol, penangkapan sewenang-wenang aktivis politik sering diikuti dengan pelanggaran HAM, termasuk penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, penyangkalan atas hak-hak dalam peradilan yang jujur dan lemahnya akses untuk mendapatkan layanan kesehatan dan perawatan medis yang layak.

“Menurut para pengacara HAM yang ada di Jayapura, penjara-penjara yang ada di Papua Barat mengalami masalah kekurangan air bersih, kurangnya fasilitas medis, kesombongan para sipir, dan penggunaan kekerasan di dalam penjara”, kata laporan ini.

Mina, isteri seorang mantan tapol yang diwawancara dalam laporan ini mendeskripsikan dampak yang dihadapi anak-anaknya ketika suaminya dipenjara karena melakukan aktivitas politik.

Ia mengaku, ketika dirinya sakit malaria yang sangat parah, ia harus  menjual semua baju dan selimut agar bisa membeli obat.

“Kami terbiasa berbicara lewat telepon, ia meminjam telepon dan menelepon saya. Saya terbiasa menyatakan padanya bahwa semua baik-baik saja, meskipun sebenarnya tidak. Saya tidak ingin dia khawatir kepada saya. Kami  luar biasa menderita”, katanya.

Menurut TAPOL, kasus yang menimpa tapol di Papua dijerat Pasal 106 KUHP tentang tindakan makar, bunyinya: “Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

Tapol mengatakan, undang-undang tersebut dipandang oleh para pengacara di Papua Barat dan daerah-daerah lain di Indonesia sebagai peraturan perundangan yang telah kadaluwarsa, bekas peninggalan pemerintah  Belanda yang dahulu digunakan untuk menekan para penjuang nasional Indonesia dan saat ini tidak lagi cocok digunakan dalam suatu demokrasi modern.
Selain itu, katanya, selama ini UU hanya tegas diterapkan untuk orang Papua.

Wakil Menteri Hukum da Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana tidak merespon ketika hendak dimintai komentar lewat telepon dan SMS oleh ucanews.com terkait hal ini. 

Tahun lalu, dalam salah satu diskusi di Jakarta terkait keberadaan tapol Papua Dahana, perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM mengatakan bahwa di Papua tidak ada tapol.
“Yang ada adalah narapidana karena terjerat kasus makar sesuai Pasal 106 KUHP”, katanya.
Septer Manufandu, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM di Tanah Papua mengatakan, pemerintah Indonesia harus segera membuka mata terhadap tahanan politik di Papua.

“Selain membebaskan mereka yang berada di penjara-penjara di Papua dan segera memulai upaya dialog damai dengan rakyat Papua, pemerntah juga harus menjamin hak-hak mereka kesehatan dan pelayanan hukum”.

Ia menambahkan,  pemerintah pusat harus segera berkunjung ke Papua dan bertemu dengan para tahanan politik yang sedang mendekam di berbagai penjara.untuk mendapatkan fakta atas kondisi mereka.

 Ryan Dagur, Jakarta

visit www.loogix.com