Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) untuk Hak Asasi
Manusia , Navi Pillay (Dok. UN)
|
Jayapura, 3/5 – Komisaris Tinggi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia , Navi Pillay, menyatakan
keprihatinan serius atas tindakan kekerasan terhadap demonstrasi massa
di seluruh Papua sejak 30 April hingga 1 Mei 2013. Pilay menyebutkan
polisi telah menggunakan kekuatan yang berlebihan dan menangkap orang
karena mengibarkan bendera pro-kemerdekaan.
“Insiden terbaru adalah contoh penindasan berkelanjutan kebebasan
berekspresi dan penggunaan kekuatan yang berlebihan di Papua,” kata
Pillay, dalam rilis yang dikirimkan Kantor Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia
ini kepada tabloidjubi.com, Kamis (02/5) malam. “Saya mendesak
Pemerintah Indonesia untuk memungkinkan protes damai dan meminta
pertanggungjawaban mereka yang terlibat dalam pelanggaran.” lanjut
Pilay.
Dalam rilis yang dikirimkan, Pilay mengatakan berbagai laporan media
massa menunjukkan bahwa pada 30 April polisi menembak dan menewaskan dua
pengunjuk rasa di kota Sorong yang sedang menyiapkan kegiatan
peringatan 50 tahun Papua menjadi bagian dari Indonesia. Dan sekitar 20
pengunjuk rasa ditangkap di kota Biak dan Timika pada tanggal 1 Mei.
“Setelah kunjungan resmi ke Indonesia November lalu, saya kecewa
melihat kekerasan dan pelanggaran berlanjut di Papua,” kata Pillay. Dia
menambahkan bahwa ada kebutuhan untuk kebijakan dan tindakan yang
koheren untuk mengatasi masalah yang mendasar dan keluhan dari penduduk
lokal di Papua.
Pilay menegaskan Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk Hak Asasi Manusia sejak Mei 2012, telah menerima 26 laporan
tentang pelanggaran hak asasi manusia, termasuk 45 pembunuhan dan
kasus-kasus penyiksaan yang melibatkan 27 orang di Papua. Banyak insiden
di Papua berhubungan dengan kekerasan komunal, yang menjadi tuduhan
serius pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat penegak hukum.
“Hukum hak asasi manusia internasional menuntut Pemerintah Indonesia
untuk secara menyeluruh, cepat dan tidak memihak melakukan penyelidikan
insiden pembunuhan dan penyiksaan serta membawa para pelaku ke
pengadilan,” kata Pilay.
Pilay menilai belum ada transparansi yang memadai dalam menangani pelanggaran berat hak asasi manusia di Papua.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada malam tanggal 30 April 2013, dua
warga Sorong, Papua Barat, Abner Malagawak (22 tahun) dan Thomas
Blesia (28 tahun) tewas terkena timah panas saat berada dalam posko
perjuangan Papua Merdeka di Distrik Aimas, Kabupaten Sorong. Tak hanya
itu, tiga warga lainnya yang berada dalam posko itu, mengalami
luka-luka akibat kena tembakan. Di Biak, sekitar belasan orang ditangkap
dan satu orang luka tertembak. Sedangkan di Timika, lima belas orang
ditangkap dan diperiksa di kantor Polisi Mimika karena menaikkan bendera
Bintang Kejora di Kwamki Baru.
Sementara dari pihak aparat keamanan, dilaporkan satu orang anggota TNI terluka akibat insiden penembakan di Sorong. (Jubi/Victor Mambor)
Sumber : tabloidjubi.com