Foto
IlusterasiKekerasan Aparat
Militer
Indonesia di West Papu
|
Jayapura – Indonesia terus mendapat sorotan atas dugaan pelanggaran
HAM dari Peninjauan Berkala Universal PBB (UN Universal Periodic
Review). Pemerhati HAM dunia Amnesty Internasional kemudian menyurati
Presiden RI SBY dan meminta meninjau undang-undang dan peraturan
tertentu yang membatasi hak kebebasan berekspresi, berpikiran,
berkeyakinan, dan beragama.
“Pasukan keamanan RI terus menghadapi tuduhan pelanggaran hak asasi
manusia (HAM), termasuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya
serta penggunaan kekerasan dan senjata api yang berlebihan. Bahkan,
setidaknya 76 tahanan nurani (prisoners of conscience) tetap berada di
balik jeruji. Intimidasi dan serangan terhadap minoritas agama makin
marak. Hukum, kebijakan, dan praktik yang diskriminatif menghalangi
perempuan dan anak perempuan dalam menikmati haknya, terutama, hak
kesehatan seksual, dan reproduksi. Tidak ada kemajuan dalam membawa
pelaku kejahatan HAM masa lalu ke hadapan hukum.
Tidak ada eksekusi mati yang dilaporkan,”ungkap Pegiat Amnesty
Internasional untuk kampanye di Indonesia Josef Benedic melalui pesan
elektroniknya, Kamis 23 Mei.
Lanjutnya, Pemerintah Indonesia juga menolak beberapa rekomendasi
kunci untuk meninjau undang-undang dan peraturan tertentu yang membatasi
hak kebebasan berekspresi, berpikiran, berkeyakinan, dan beragama. “
Indonesia memaparkan laporannya pada Komite CEDAW (Komite untuk
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan). Pada bulan November,
Indonesia mengadopsi Deklarasi HAM ASEAN,terlepas kekhawatiran besar
bahwa deklarasi tersebut jatuh di bawah standar
internasional,”terangnya.
Kerangka kerja legislasi Indonesia tetap tidak memadai untuk
bertindak atas tuduhan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang
lainnya.” Hukuman cambuk tetap digunakan sebagai bentuk hukuman di
Provinsi Aceh untuk pelanggaran Shari’a. Setidaknya 45 orang dicambuk
sepanjang tahun karena berjudi dan karena berduaan dengan seseorang dari
lawan jenis yang bukan pasangan perkawinan atau kerabat
(khalwat),”jelasnya.
Polisi dan pasukan keamanan
Polisi berulangkali dituduh melakukan pelanggaran HAM, termasuk
penggunaan kekerasan dan senjata api secara berlebihan, penyiksaan dan
perlakuan sewenang-wenang lainnya. Mekanisme akuntabilitas internal dan
eksternal polisi gagal untuk mengatasi kasus-kasus pelanggaran yang
dilakukan oleh polisi, dan investigasi atas pelanggaran HAM jarang
terjadi.
“17 pria dari Nusa Tenggara Timur ditahan secara sewenang-wenang atas
tuduhan pembunuhan seorang polisi. Mereka diduga dilucuti pakaiannya,
diborgol serta dipukuli selama 12 hari dalam tahanan oleh aparat
Kepolisian Sektor (Polsek) Sabu Barat.Beberapa mengalami luka tusuk dan
patah tulang. Beberapa dilaporkan dipaksa polisi untuk minum air seni
mereka sendiri. Mereka dilepas tanpa dituntut pada akhir Juni karena
kurangnya bukti”.
“Pasukan keamanan Indonesia, termasuk polisi dan militer, dituduh
melakukan pelanggaran HAM di Papua. Penyiksaan serta perlakuan
sewenang-wenang, penggunaan kekerasan dan senjata api berlebihan dan
kemungkinan pembunuhan di luar proses hukum dilaporkan terjadi. Dalam
banyak kasus, pelaku tidak dibawa ke hadapan hukum dan korban tidak
menerima reparasi”.
Demikian juga sejumlah kasus yang terjadi di Papua, antara lain kasus
Mako Tabuni, aktivis politik Papua dan wakil ketua gerakan
pro-kemerdekaan Komite Nasional Papua Barat (KNPB),
ditembak mati oleh polisi di Waena, dekat Jayapura, Provinsi Papua. .
Tidak ada investigasi imparsial atau independen atas pembunuhan ini.
tentara menyerang sebuah desa di Wamena, Provinsi Papua, sebagai
pembalasan atas meninggalnya dan lukanya dua aparat mereka. Mereka
dilaporkan melepas tembakan secara membabi buta, menusuk puluhan orang
dengan bayonet- mengakibatkan satu korban jiwa- dan membakar sejumlah
rumah, bangunan, dan kendaraan.
Pada bulan Agustus, aparat polisi dan militer di Pulau Yapen,
Provinsi Papua, membubarkan paksa demonstrasi damai peringatan Hari
Internasional Masyarakat Adat Dunia. Pasukan keamanan melepas tembakan
ke udara dan menangkap secara sewenang-wenang setidaknya enam
demonstran. Beberapa dilaporkan dipukuli saat ditangkap.
aparat polisi dari Kabupaten Jayawijaya di Provinsi Papua secara
sewenang-wenang menangkap dan diduga menampar, memukul, dan menendang
lima pria dalam upaya mereka memaksa mengakui pembunuhan. Tidak ada
investigasi yang berjalan atas pelanggaran ini,”paparnya.
Kebebasan berekspresi
Pihak berwenang terus menggunakan peraturan represif untuk
memidanakan aktivis politik damai. Setidaknya 70 orang dari wilayah
Papua dan Maluku dipenjara karena secara damai mengekspresikan pendapat
mereka.
L”ima aktivis politik Papua dituntut dengan dakwaan “makar”
berdasarkan Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dijatuhi
hukuman penjara tiga tahun karena keterlibatan mereka dalam Kongres
Rakyat Papua III, sebuah pertemuan damai di Abepura pada Oktober 2011″.
Tahanan nurani Maluku, Johan Teterissa, yang menjalani 15 tahun
penjara, ditendang, dan dipukuli dengan kabel listrik menyusul
pemindahannya dari Penjara Madiun ke Penjara Batu di Pulau
Nusakambangan, Jawa Tengah. Ia tidak menerima bantuan kesehatan setelah
pemukulan itu.
Pembela HAM dan jurnalis terus mengalami intimidasi dan serangan
akibat pekerjaan mereka. Pengamat internasional, termasuk LSM dan
jurnalis, terus dihalangi atas akses bebas dan tidak terbatas atas
wilayah Papua.
Tantowi Anwari, Aktivis dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman
(SEJUK) dipukuli dan ditendangi oleh anggota organisasi garis keras,
Front Pembela Islam (FPI) di Bekasi, Jawa Barat. Tantowi melapor pada
polisi, namun tidak ada perkembangan atas kasusnya hingga akhir tahun.
Pengacara HAM Papua, Olga Hamadi, diancam setelah menginvestigasi
tuduhan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang polisi dalam sebuah
kasus pembunuhan di Wamena, Provinsi Papua. Tidak ada investigasi atas
ancaman tersebut, dan bahaya atas keamanannya tetap ada.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan
Pihak berwenang menngunakan pasal soal penghasutan dan penodaan agama
untuk mengkriminalkan kebebasan beragama, juga kebebasan berekspresi,
berpikir dan berkeyakinan. Setidaknya enam tahanan nurani tetap berada
dibalik jeruji karena tuntutan penghasutan dan penodaan agama.
Pada bulan Juni, Alexander Aan, seorang atheis, dijatuhi hukuman dua
setengah tahun penjara dan denda 100 juta rupiah (US$10,600) untuk
penghasutan setelah ia memasang pernyataan dan gambar yang oleh sebagian
orang dianggap menghina Islam dan Nabi Muhammad.
Pada bulan Juli, Tajul Muluk, pemimpin agama Muslim Shi’a dari Jawa
Timur, dijatuhi hukuman dua tahun penjara untuk penodaan agama
berdasarkan pasal 156(a) KUHP oleh Pengadilan Negeri Sampang. Kelompok
HAM lokal dan ahli hukum mengungkapkan kekhawatiran mereka atas masalah
peradilan yang adil. Pada bulan September, hukumannya ditingkatkan
hingga empat tahun pada pengadilan banding.
Minoritas keagamaan- termasuk Ahmadiyya, Shi’a dan Kristen-
menghadapi diskriminasi, intimidasi dan serangan secara terus menerus.
Dalam banyak kasus pihak berwenang gagal menyediakan perlindungan
memadai bagi mereka atau membawa pelaku ke hadapan hukum.
Pada bulan Agustus, satu orang terbunuh dan puluhan terluka ketika
sekelompok massa menyerang komunitas Shi’a di Sampang, Jawa Timur.
Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) polisi tidak
mengambil langkah pencegahan untuk melindungi komunitas tersebut.
Setidaknya 34 keluarga dari komunitas Ahmadiyya di Nusa Tenggara
Barat, yang diserang dan tercerabut dari rumahnya pada 2006 karena
kepercayaan mereka, terus hidup di penampungan sementara di Kota Lombok,
Mataram. Tidak seorang pun dituntut untuk serangan tersebut.
Pihak berwenang menolak menjalankan keputusan Mahkamah Agung pada
tahun 2010 dan 2011 untuk membuka Gereja Kristen Taman Yasmin di Bogor
dan Gereja Kristen Batak Protestan Filadelfia di Kota Bekasi. Gereja
tersebut masih disegel oleh aparat lokal sejak 2010. Kedua kongregasi
tetap berisiko atas gangguan dan intimidasi dari kelompok garis keras
karena terus beribadah di luar gedung mereka.
Hak-hak Perempuan
Perempuan dan anak perempuan terus menghadapi rintangan dalam
menikmati hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi mereka. Pada bulan
Juli, Komite CEDAW merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk
mempromosikan pemahaman hak-hak dan kesehatan seksual dan reproduksi,
termasuk kepada perempuan yang belum menikah dan perempuan pekerja rumah
tangga (PRT). Komite itu juga merekomendasikan perempuan diberikan
akses atas kontrasepsi tanpa perlu mendapatkan persetujuan suami mereka.
Pada tahun 2010 peraturan pemerintah yang membolehkan “sunat
perempuan” tetap berlaku, melanggar kewajiban Indonesia berdasarkan
hukum HAM internasional. Komite CEDAW meminta pemerintah Indonesia untuk
mencabut peraturan tersebut dan mengadopsi undang-undang yang
mengkriminalkan praktik tersebut.
Untuk ketiga tahun berturut-turut, parlemen gagal membahas dan
mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga,
mengakibatkan pekerja rumah tangga, sebagian besar perempuan dan anak
perempuan, rentan terhadap eksploitasi ekonomi dan peningkaran hak-hak
mereka atas kondisi kerja, kesehatan dan pendidikan yang adil. Meskipun
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tahun 1990 tentang
Perlindungan Hak-Hak Seluruh Buruh Migran dan Keluarganya pada bulan
Mei, kurangnya perlindungan hukum memadai di negeri ini membuat pekerja
rumah tangga migran, sebagian besar perempuan dan anak perempuan,
terpapar pada praktik kerja paksa dan pelanggaran HAM lainnya di
Indonesia dan luar negeri.
Impunitas
Ada sedikit kemajuan dalam menyediakan keadilan, kebenaran dan
reparasi bagi pelanggaran HAM masa lalu, termasuk di Aceh, Papua dan
Timor-Leste (dulunya Timor Timur). Penyintas kekerasan seksual belum
menerima layanan kesehatan atau perawatan medis, psikologis, seksual,
dan reproduksi dan kejiwaan yang memadai. Pada bulan September,
pemerintah Indonesia mengumumkan dalam Dewan HAM PBB bahwa mereka sedang
merampungkan Undang-Undang baru tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi; namun, tidak ada perkembangan yang dilaporkan. Sebuah tim
lintas institusi yang dibentuk Presiden pada tahun 2011 untuk menyusun
rencana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu belum juga mengumumkan
rencana konkrit apa pun.
Pada bulan Juli, Komnas HAM mengirim laporan kepada Kejaksaan Agung
atas kemungkinan terjadinya kejahatan atas kemanusiaan (crimes against
humanity) yang dilakukan terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan mereka yang diduga simpatisan komunis dalam konteks kudeta gagal
tahun 1965. Komisi meminta Kejaksaan Agung untuk memulai investigasi
resmi, membawa pelakunya ke hadapan Pengadilan HAM dan membentuk komisi
kebenaran dan rekonsiliasi. Tidak ada kemajuan yang dilaporkan.
Pada bulan September, Parlemen Provinsi Aceh mengumumkan penundaan
pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Ini membuat korban
dan keluarga mereka tanpa mekanisme resmi untuk mengungkap kebenaran
atas pelanggaran yang mereka alami pada masa konflik atau untuk
menungkapkan nasib keberadaan mereka sayangi yang terbunuh atau hilang.
Presiden gagal menindaklanjuti rekomendasi parlemen tahun 2009 untuk
membawa kehadapan pengadilan mereka yang terlibat dalam penghilangan
paksa 13 aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997 dan 1998, untuk
secepatnya melakukan pencarian aktivis yang hilang dan menyediakan
rehabilitasi dan kompensasi kepada keluarga mereka.
Pemerintah gagal mengimplementasikan rekomendasi yang dibuat oleh
Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor- Leste, terutama dalam
membentuk komisi orang hilang yang bertugas mengidentifikasi keberadaan
semua anak Timor-Leste yang terpisah dari keluarga mereka dan
memberitahu keluarga mereka.
Hukuman mati
Untuk empat tahun berturut-turut tidak ada eksekusi hukuman mati yang
dilaporkan. Namun, setidaknya 12 hukuman mati baru dijatuhkan sepanjang
tahun dan setidaknya 130 orang berada dalam jeratan hukuman mati. Dalam
sebuah langkah positif pada bulan Oktober, dilaporkan Mahkamah Agung
mengubah hukuman mati seorang bandar narkotika dan obat-obatan terlarang
lainya (narkoba) pada Agustus 2011, mengatakan hukuman mati sebagai
pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi. Lalu pada bulan Oktober, telah
diumumkan Presiden telah mengubah 19 hukuman mati antara 2004 dan 2011.
Kunjungan dan laporan Amnesty International
Delegasi Amnesty International mengunjungi Indonesia di bulan April,
Mei, dan Oktober menyimpulkan Reformasi terhambat: Impunitas,
diskriminasi dan pelanggaran oleh pasukan keamanan di Indonesia.
(jir/don/l03)
Sumber: Jum’at, 24 Mei 2013 06:39, Binpa
Sumber ; http://papuapost.com/?p=7664