Dari
ratusan bahasa yang ada di tanah Papua sebanyak 251 bag, bahasa Dusner
menjadi bahasa yang terancam mengalami kepunahan. Bukan tanpa sebab,
kini bahasa tersebut hanya menyisakan tiga orang penutur berusia tua di
teluk Wondama, Papua Barat.
"Tinggal tiga 3 orang penutur, yang paling muda 65 tahun yang lainnya di
atas itu. Yang saya dapat 2 narasumber menyampaikan. Satu nenek Emma
Somisa dan Enos Yoweni satu lagi tidak tinggal di satu kampung berbeda,"
ungkap Direktur Pusat Penelitian Bahasa dan Budaya Papua, Andreas J
Deda, hal ini dilansir merdeka.com, Minggu (5/5).
Dari penlitiannya bersama dengan institusi asing dan juga universitas
Papua, pengaruh sosial budaya menjadi penyebab rentannya bahasa ini
punah. Terlebih lagi dominasi dan pengaruh luar yang membuat semakin
hilangnya penutur bahasa Dusner.
"Pertama, secara lokal ada persaingan wilayah dilihat ada persaingan
kedaerahan atau orientasi hidup termasuk kelompok bahasa papua
Austerinesia kelompok Biak. Kedua, di tahun 1920-an sudah dilarang oleh
guru Injil. Orang di sana tidak boleh menggunakan Dusner karena bahasa
itu termasuk bahasa setan karena bahasa itu digunakan untuk bicara
dengan nenek moyang," jelasnya lagi.
Tak banyak yang bisa dilakukan Andreas untuk melestarikan bahasa
leluhurnya ini. Seakan tak mampu membendung pengaruh modernisme dan
dominasi suku besar, tim peneliti bahasa mengembalikan pilihan kepada
masyarakat Wondama. Ingin kembali menuturkan bahasa ini atau tidak.
"Yang kami lakukan sekarang membuat kamusnya kemudian dari profesor dari
luar, rektor kami menulis tentang grammar-nya. Sekarang kita kembalikan
ke masyarakat tergantung ke masyarakat," tutupnya.
Bahasa Dusner melengkapi dua bahasa di Papua lainnya yang telah punah.
Bahasa tersebut adalah bahasa Mansin dan Tandinia yang telah hilang pada
tahun 1970-an.
Sumber : www.malanesia.com