Beberapa elemen yang tergabung dalam Solidariotas Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, saat jumpa pers di Abepura (Jubi/Eveerth |
Jayapura — Solidaritas Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) di Papua, menyatakan aksi Senin, t 13 Mei 2013 adalah murni
menuntut keadilan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi
di bumi Cenderawasih. Namun aksi ini dilarang oleh aparat Kepolisian.
Seperti diketahui sebelumnya, Aksi Peringatan 1 Mei 2013 yang oleh
Rakyat Papua dikenang sebagai Hari Peringatan 50 Tahun Aneksasi Wilayah
Papua Barat (New Guinea) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), sempat diperingati secara berbeda di beberapa tempat.
Namun dalam aksi-aksi peringatan itu, pihak aparat keamanan Indonesia
(TNI/Polisi) telah melakukan rangkaian tindakan represif dan brutal
terhadap setiap aksi yang dilakukan di beberapa daerah seperti, Sorong,
Fak-fak, Biak, Nabire dan Timika.
“Pihak keamanan RI seolah berpegang teguh pada landasan klasik yang
terus menjadi kontroversi hingga saat ini bahwa pada 1 Mei 1963 silam,
Papua telah bergabung kembali ke dalam pangkuan Ibu pertiwi. Karena itu,
otoritas wilayah NKRI mutlak harga mati dan tidak bisa diganggu gugat,”
ujar Wim Rocky Medlama, selaku Juru Bicara KNPB, di Abepura,
Rabu(15/5).
Dijelaskan, pada malam menjelang peringatan hari Aneksasi 1 Mei 2013 di
Sorong misalnya, sempat terjadi peristiwa tragis yang memakam korban.
Dimana pihak keamanan Indonesia (gabungan Polisi/TNI) pada Jumat malam,
30 April 2013, telah melakukan penyerangan membabi buta terhadap warga
Papua di sebuah kompleks di Aimas Sorong.
“Dalam aksi penyerangan itu, sejumlah warga mengalami luka-luka,
termasuk dua orang Papua berusia muda tewas di tempat kejadian. Mereka
adalah Abner Malagawa (20 thn) dan Thomas Blesia (28 thn) yang tewas
akibat timah panas yang menerjang tubuh mereka,” jelasnya.
Sedangkan seorang perempuan bernama Salomina Klaibin (37 thn) yang juga
tertembus peluru, akhirnya meninggal dunia setelah sempat kritis saat
menjalani operasi mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya pada
salah satu rumah sakit di Sorong.
“Menanggapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia di berbagai
wilayah Papua pada peringatan 1 Mei 2013, terlebih peristiwa tragis di
Aimas Sorong, sejumlah aktivis Papua di Jayapura yang terdiri dari para
pemuda dan mahasiswa lalu melakukan pertemuan koordinasi secara
berturut-turut di beberapa tempat di sekitar Abepura. Pertemuan
koorrdinasi kemudian lebih dititik beratkan pada upaya menanggapi
peristiwa berdarah yang terjadi di Aimas Sorong,” paparnya.
Dari sekian pertemuan yang dihadiri para aktivis yang berasal dari
sejumlah organ gerakan dan organisasi mahasiswa, dihasilkan kesepakatan
agar perlu menyikapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia atas
rakyat Papua di Sorong dan beberapa daerah lain melalui aksi solidaritas
peduli HAM.
“Aksi solidaritas dimaksud rencananya dilakukan dalam bentuk pemberian
pernyaatan pers bersama dengan mengundang wartawan kemudian nantinya
akan dilanjutkan dengan aksi protes bersama (demonstrasi massa) ke
kantor MRP, DPRP atau ke Kantor Gubernur Papua,” katanya.
Setelah melewati berbagai tahapan koordinasi, katanya, guna memuluskan
rencana aksi demo pada Senin 13 Mei 2013, tim solidaritas aksi lalu
membuat surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan kepada pihak
Kepolisian Daerah (Polda) Papua dan Kepolisian Resort Kota Jayapura.
Surat itu kemudian dimasukan pada Jumat 10 Mei.
Dalam surat yang dimasukan ke pihak kepolisian itu, di dalamnya tertera
beberapa nama penanggung jawab aksi seperti; Yason Ngelia dan Septi
Maidodga selaku perwakilan BEM-MPM Uncen, Bovit Bofra selaku ketua
Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P), Victor Yeimo sebagai ketua
Komite Nasional Papua Barat/KNPB) dan Marthen Manggaprouw dari
perwakilan West Papua National Autority (WPNA).
Kemudian, pada sore harinya dilanjutkan dengan pertemuan koordinasi
lanjutan antara para aktivis yang tergabung dalam rencana aksi
solidaritas.
Satu hari selepas surat pemberitahuan pelaksaan aksi dimasukan, pihak
Polda Papua melalui staf bidang Intelijen dan keamanan (Intelkam) lalu
menghubungi via phone dan meminta perwakilan penanggung jawab aksi untuk
dapat bertemu direktur Intelkam Polda perihal aksi yang bakal digelar.
Bovit Bofra dan Yason Ngelia selaku perwakilan penanggung jawab aksi
lalu memenuhi panggilan Markas Polda Papua yang berada di jantung Kota
Jayapura, Sabtu 11 Mei, jam 09 pagi. Mereka bertemu direktur Bidang
Intelkam Polda Papua Kombes (Pol) Yakobus Marzuki.
Dalam pertemuan kecil yang berlangsung cukup alot dan tegang di ruang
Direktur Intelkam Polda, Kombes Yakobus Marzuki meminta mereka
mengklarifikasi rencana aksi yang bakal digelar.
“Selain mempersoalkan keabsahan organ-organ yang tergabung dalam aksi
solidaritas karena keberadaanya tidak terdaftar di Badan Kesbangpol.
Pihak Polda juga mempersoalkan surat pemberitahuan rencana aksi yang
dianggap terlalu mempolitisasi keadaan karena berpotensi mengganggu
ketenteraman masyarakat (kantibmas),” ucapnya.
Sebab dalam isi surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan ke Polda
Papua dan Polresta Jayapura itu disebutkan bahwa kasus penyerbuaan yang
dilakukan pihak aparat gabungan TNI-Polisi di Aimas Sorong sebagai
sebuah “tragedi kemanusiaan” karena menyebabkan rakyat sipil Papua
menjadi korban.
Istilah “tragedi’ dalam isi surat itu menurut direktur Intelkam Polda
Kombes Yakobus Marzuki) sangat tidak mendasar dan tidak bisa diterima.
Sebaliknya, menurut dia, aksi yang dilakukan oleh aparat keamanan itu
sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Menurut dia, kelompok yang menjadi sasaran penyergapan di Aimas Sorong
itu terindikasi kuat bakal membahayakan stabilitas keamanan Negara
Indonesia lewat peringatan 1 Mei 2013. Setelah menyampaikan statemen
demikian, Direktur Intelkam Polda Papua kemudian mengeluarkan selembar
surat penolakan pelaksanaan aksi yang berlangsung pada Senin 13 Mei
2013.
Cuma saja, dalam isi surat penolakan itu hanya disebutkan nama Victor
Yeimo selaku ketua KNPB yang menjadi penanggung jawab aksi. Padahal
sesuai surat pemberitahuan aksi sebelumnya, jelas tercamtum beberapa
nama penanggung jawab aksi yang mewakili organisasi mereka
masing-masing.
Selain itu, Direktur Intelkam juga menegaskan sikap Gubernur Papua Lukas
Enembe, yang mengatakan bahwa aksi-aksi demonstrasi hanya akan
menghambat proses pembangunan di Papua. Menanggapi peryataan itu, Bovit
dan Yason lalu mengklarifikasi isi surat penolakan dari Polda Papua itu
dan maksud rencana aksi yang hendak dilakukan. Namun tetap terjadi tawar
menawar dengan berbagai argumentasi selama kurang lebih 20 menit.
Karena tidak ada kesepakatan bersama, akhirnya Bovit Bofra dan Yason
Ngelia dengan terpaksa menegaskan komitmen mereka bahwa sesuai
kesepakatan, aksi tetap akan dilakukan pada Senin 13 Mei 2013.
Namun, Direktur Intelkam juga menanggapi dengan menegaskan bahwa
pihaknya (Polda Papua) tetap tidak mengijinkan dan menghendaki aksi itu
dilakukan. Bila aksi tetap dipaksakan, para penanggung jawab aksi
beserta massa yang terlibat siap menghadapi segala resiko yang terjadi,
termasuk konsekuensi hukumnya. (Jubi/Eveerth)