Ilustrasi (Jubi) |
Jayapura - Asian Human Rights Commission (AHRC) menyebutkan
aparat keamanan Indonesia (gabungan TNI dan Polri) menangkap secara
sewenang-wenang 6 warga Paniai. Tak hanya itu, 4 oknum aparat keamanan
ini disebutkan telah mencabuli seorang wanita hamil.
Di malam hari, tanggal 7 Februari 2013, disebutkan oleh AHRC dalam rilis persnya kepada tabloidjubi.com, Rabu (20/03) malam, pasukan gabungan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Militer Indonesia masuk ke kampung Ipakiye di Distrik Paniai Timur, Papua. Pasukan gabungan ini terdiri dari anggota Brimob Papua
Di malam hari, tanggal 7 Februari 2013, disebutkan oleh AHRC dalam rilis persnya kepada tabloidjubi.com, Rabu (20/03) malam, pasukan gabungan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Militer Indonesia masuk ke kampung Ipakiye di Distrik Paniai Timur, Papua. Pasukan gabungan ini terdiri dari anggota Brimob Papua
Kepolisian Resort Paniai dan Batalyon 753 TNI. Tujuan operasi gabungan ini untuk menemukan anggota kelompok pro-kemerdekaan Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Sekitar pukul 21.30 pasukan gabungan ini menggerebek rumah SY, seorang warga sipil yang menikah dengan DG dan ayah dari seorang bayi berumur 18 bulan. SG sendiri, karena sudah mengetahui adanya sweeping di kampung lainnya, ia melarikan diri dari kampungnya untuk menyelamatkan diri, meninggalkan anak dan istrinya. Empat orang dari pasukan gabungan ini rupanya memaksa masuk ke rumah dan bertanya pada istri SG, DG, yang sedang hamil 5 bulan. DG tak bisa menjawab pertanyaan petugas karena dia terkejut ketakutan dan hanya bisa berbicara bahasa lokal saja. Karena tak bisa menemukan SG dalam rumahnya itu, empat orang oknum pasukan gabungan ini melampiaskan kemarahan mereka pada DG dan bayinya yang berusia 18 bulan.
Empat oknum aparat keamanan yang memaksa masuk ke rumah Stepanus mulai melucuti pakaian DG, mengikatnya dan secara bergiliran menindih dan meraba-raba. Saat beberapa oknum aparat keamanan ini melakukan penganiayaan seksual terhadap DG, yang lainnya membawa bayi DG, membaliknya dengan kepala di bawah lalu mengguncang-guncangkan bayi tersebut hingga bayi itu menangis. Setelah itu, aparat gabungan ini kemudian meninggalkan DG dengan bayinya yang menangis untuk kembali bergabung dengan anggota lain dari pasukan gabungan.
AHRC juga menyebutkan bahwa penggerebekan dilanjutkan di rumah Musa Yeimo, seorang pemimpin gereja lokal. Dia dan keluarganya masih tertidur ketika pasukan gabungan mengepung rumah dan paksa memasukinya. Musa Yeimo kemudian ditangkap bersama Benny Yeimo, Mesak Yeimo, Sam Yeimo, Kalep Yeimo dan Alpius Nawipa. Semuanya semua warga sipil, anggota Ipakiye Kingmi Gereja dan tidak terkait dengan kelompok pro-kemerdekaan. Enam warga sipil ini kemudian dibawa ke Kantor Polisi Kabupaten Paniai.
Setelah penangkapan dan penahanan enam warga sipil ini, warga Desa Ipakiya melakukan dua kali protes menuntut enam warganya dilepaskan. Polisi kemudian melepaskan tanpa syarat, Musa Yeimo dan lima lainnya pada tanggal 9 Maret 2013 karena tidak ada bukti jika mereka terlibat dalam gerakan pro-kemerdekaan.
Sehari sebelum penggerebekan di Kampung Ipakiye, seorang PNS lokal ditangkap dan ditahan selama enam malam di Pos Polisi Kecamatan Paniai. Ia dituduh terlibat dalam gerakan pro-kemerdekaan. Empat warga sipil juga ditangkap secara terpisah pada 25 Februari 2013 di Kampung Bobaigo dan Daoguto dengan tuduhan yang sama. AHRC juga menginformasikan bahwa warga sipil Paniai yang ditangkap oleh polisi pada tanggal 11 Maret 2013 atas tuduhan bertanggungjawab dalam kasus pembunuhan, mengalami pemukulan saat penangkapan hingga bibirnya mengalami pendarahan. (Jubi/Victor Mambor)
Sumber : Tabloid Jubi