Suasana Konferensi NAPAS. Foto: Mettu |
Jakarta, MAJALAH SELANGKAH - Nasional
Papua Solidarity (NAPAS) menggelar Konferensi Nasional di gedung The
Wahid Institute Jalan Amir Hamzah, Jakarta Pusat, selama dua hari, Jumat,
(22/03/13) dan Sabtu, (23/03/13).
Konferensi bertema Membangun Solidaritas Kemanusiaan Menuju Papua yang Damai, Bermartabat dan Berkeadilan itu berlangsung meriah.
Konferensi bertema Membangun Solidaritas Kemanusiaan Menuju Papua yang Damai, Bermartabat dan Berkeadilan itu berlangsung meriah.
Ketua Panitia Konferensi,
Sem Awom kepada majalahselangkah.com di sela-sela kegiatan mengatakan, tujuan
diadakan konferensi itu untuk membangun diskusi, dialog dan pemahaman yang
lebih objekif, tajam dan menyeluruh atas masalah-masalah Papua di kalangan
masyarakat sipil di Indonesia.
Selain itu, kata dia,
untuk membangun sebuah jaringan atau wadah solidaritas di lingkungan gerakan
masyarakat sipil untuk solusi damai dan demokratis bagi Papua secara
berkelanjutan.
Kata Sem, konferensi itu terselenggara atas dukungan
banyak pihak, baik secara individu maupun organisasi. Organisasi pendukung
misalnya, KontraS, Aliansi Mahasiswa Papua
(AMP), Perempuan Mahardika, Foker Papua.
Secara perorangan
didukung oleh tahanan politik Papua, Filep
Karma; Aktivis KontraS, Haris Azha; Ketua Sinode Gereja Kingmi di tanah
Papua, Pendeta Benny Giay;
Ketua Persekutuan
Gereja Gereja Baptis di Papua,
Pendeta Socratez Sofyan Yoman;
Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), Pastor Neles Tebay; Aktivis, Usman
Hamid.
Juga didukung oleh
beberapa media di Papua, misalnya tabloidjubi.com, Papua Woice, Enggage Media, dan diliput oleh
dua koresponden majalahselangkah.com.
Konferensi yang
dihadiri ratusan peserta dari
berbagai organisasi itu menghadirkan pembicara Adriana Elisabeth dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI); Haris Azhar dari Napas, dan lainnya.
Adriana Elisabeth
memaparkan materi tentang "Memahami Kondisi Papua dala m Bingkai Indonesia". Adriana menjelaskan, Papua masih dikategorikan
daerah miskin walapun kekayaan alamnya melimpah. Kata dia, sumbangsi Papua ke
Indonesia lebih besar. Tetapi, sumber
daya manusia masih minim dan daya saing juga belum mampu. Hingga saat ini masih
memunyai persoalan yang kompleks.
Untuk itu kata dia, Jakarta
dan Papua harus duduk sama-sama mencari jalan keluarnya. "Jika kedua pihak mau,
LIPI siap fasilitasi dan menanyakan Papua
mau apa dan Jakarta mau apa,"kata dia.
Haris Azhar lebih
banyak menyampaikan apa yang sebenarnya sedang terjadi dan di alami oleh masyarakat
Papua saat ini. Menurutnya, praktik-praktik klonialisme, imperialisme, kapitalisme dan neoliberalisme masih terjadi
di Papua. Juga, awal persoalan di Papua adalah Perjanjian Newyork, Trikora, dan PEPERA 1969 uang memaksa Papua gabung
ke Indonesia.
Kata dia, status
politik Papua dalam Indonesia masih belum final. Selama ini pemerintah pusat
menutup ruang demokrasi di Papua. Papua dijadikan daerah operasi militer lewat
penambahan batalyon di sejumlah tempat di Papua.
Azhar juga menjelaskan
soal tahanan politik di bumi demokrasi. Di Papua, para aktivis ditahan paksa, diadili dengan hukum
yang tidak jelas. Juga, kata dia, di era Otonomi Khusus, orang Papua masih dililit
kemiskinan, gizi buruk, pendidikan buruk
dan masalah sosial lainnya. (Mettu Badi/MS)
Sumber : http://majalahselangkah.com/content/galang-solidaritas-nasional-soal-papua-napas-gelar-konferensi