Tobias Bagubau (Jubi/Mawel) |
Jayapura,20/3—Ketua Lembaga Swadaya
Masyarakat Adat Suku Wolani, Mee dan Monni, Tobias Bagubau menilai
penerapan hukum rimba menjadi sumber konflik horisontal di Papua. Rakyat
saling rebut hak ulayat dengan mengorbankan sesamanya.
“Saya kecewa rakyat Papua mengunakan hukum rimba. Rakyat ini terkesan
tidak tahu yang namanya menghargai hak sesamanya,”ujar Tobias kepada tabloidjubi.com, Rabu (20/3) di Expo Waena, Kota Jayapura, Papua.
Menurut dia, rakyat selalu megendepankan egonya untuk merebut hak
sesamanya. Rakyat selalu klaim dan merebut tanah adat. “Mereka yang kuat
merebut dan mengambil tanah adat dan isinya”.
Kebiasaan ini berlangsung lama. Papua sudah mengenal ini sebelum
kontak dengan dunia luar. Pontensi ini kemudian menjadi jalan masuk
pihak ketiga, dunia luar yang mendatanggi orang Papua kini. Pihak ketiga
memanfaatkan orang Papua saling membunuh. “Pihak ketiga memakai mereka
untuk saling membunuh,”ujarnya.
Dampaknya sangat nyata. Orang Papua saling membunuh dengan berbagai
alasan. Alasan perebutan tanah adat, pemekaran, pemilukada dan
pertambangan. “Kita lihat contoh konfilik di Timika, Degeuwo dan Puncak
Jaya.”katanya.
Menurut diA konflik yang muncul bisa teratasi dan sangat tergantung
kepada intelektual orang Papua itu sendiri. Dikatakan intlektual orang
Papua mesti berperan aktif memberikan pemahaman, peta sosial budaya dan
politik terkini agar rakyat Papua memahami dan tidak gampang
dimanfaatkan oleh pihak lain atau pihak ketiga. “Intelektual Papua harus
memberikan pemahaman kepada masyarakat,”tegasnya. (Jubi/Mawel)