Pages

Pages

Minggu, 24 Maret 2013

BUDAYA PENGARUHI TURUNNYA PRODUKSI KAKAO DI PAPUA

Masyarakat di Kampung Klaisu, Distrik Gresi Selatan
Kab Jayapura, belum memanfaatkan produk
kakao secara maksimal.(Jubi/dam)
Jayapura, 23/3 (JUBI)Agus Rumansara Direktur Yayasan Pengembangan Pembinaan Wirausaha Papua mengatakan faktor budaya masih mempengaruhi produktsi buah kakao di Papua. Pasalnya masyarakat masih sebatas menanam dan membiarkan kakao tumbuh sendiri.

“Kebiasaan ini masih terjadi karena masyarakat belum secara penuh merawat dan membersihkan tanaman kakao secara rutin. Masih membiarkan kakao tumbuh sendiri tanpa melakukan perlakuan khusus kepada tanaman tersebut,”kata Rumansara  saat berkunjung ke Kampung Klaisu, Distrik Gresi Selatan, Kabupaten Jayapura, Sabtu(23/3).

Dia menambahkan masyarakat umumnya masih meramu sehingga saat menjadi petani masih perlu pendampingan di lapangan untuk memberikan motivasi bagi mereka agar terus menekuni profesi sebagai petani kakao.” Kalau ada pendampingan terus menerus dari berbagai pihak termasuk pemerintah masyarakat bisa melihat kakao sebagai usaha keluarga,”katanya.

Selain itu kata Rumansara, kekurangan tenaga kerja yang menggarap kebun kakao di Kampung  Klaisu juga mempengaruhi turunya produksi. “Soalnya saat ini di kampung niat kaum muda untuk bertani menurun sehingga tenaga kerja berkurang,”kata Rumansara.

Faktor yang juga memicu menurunnya produksi lanjut dia karena faktor hama penggerek buah kakao(HPB) menyebabkan masyarakat di Kampung Klaisu patah semangat dan tidak bergairah lagi mengelola kebun kakao.

Sementara itu Kepala Kampung Klaisu Andreas Waisimon menambahkan faktor hama penggerek kakao (HPK) juga mempengaruhi semangat warga untuk mengembangkan kakao pasca 2008. “Padahal sebelumnya masyarakat punya penghasilan sangat memadai dengan menjual kakao. Bahkan sempat menolak beras raskin dari pemerintah,”kata Waisimon.

Namun dia menambahkan masyarakat di Kampung Klaisu akan meminta kepada pemerintah Kabupaten Jayapura untuk mengembangkan bibit jenis criolo karena lebih tahan hama dan produksi buahnya lebih banyak.”Kita akan bikin demplot bibit dan kedepan masyarakat sendiri yang menyediakan bibit kakao sendiri,”katanya.

Hama Pengerek Buah Kakao(PBK) yang terjadi di Kampung Klaisu lanjut Kepala Kampung, Waisimon lebih banyak menyerang buah kakao yang punya kulit sangat tebal sehingga membuat buah kakao kering dan keras berwarna kehitam-hitaman.

Penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella, buah kakao yang diserang berukuran panjang delapan centimeter. gejala masak awal, yaitu belang kuning hijau atau kuning jingga dan terdapat lubang gerekan bekas keluar larva. Saat buah dibelah biji-biji saling melekat dan berwarna kehitaman, biji tidak berkembang dan ukurannya menjadi lebih kecil. Kalau buah digoyang tak berbunyi.

Agus Rumansara juga mengingatkan kalau saat ini di Kabupaten Keerom, buah kakao di sana sudah terkena virus VSD menyerang kakao milik masyarakat di sana. Penyakit Vascular Streak Dieback(VSD) ini lanjut Rumansara menyebabkan klorosis tampak daun menguning dengan bercak-bercak berwarna hijau. “Serangan dimulai dari kayu, air tidak lancar ke daun dan ranting mati.”katanya.

Menurut Balai Litbang Kementrian Pertanian RI, penyakit pembuluh kayu atau Vascular Streak Dieback (VSD) pertama ditemukan pada akhir tahun 1930 an di Papua New Guinea. Kemudian penyakit ini menyebar ke negara Asia lainya dan sekarang terdapat di India Selatan, Pulau Hainan-Cina, Burma, Thailand, Malaysia, Filipina, Indonesia, dan sejumlah pulau di Oseania. Kabupaten Keerom yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea(PNG) kini sudah terkena VSD di tanam Kakao milik petani kakao di Arso.(Jubi/Dominggus A Mampioper)

Sumber :  http://tabloidjubi.com/?p=17205