Masyarakat di Kampung Klaisu, Distrik Gresi Selatan
Kab Jayapura, belum memanfaatkan produk
kakao secara maksimal.(Jubi/dam)
|
Jayapura, 23/3 (JUBI)–Agus Rumansara Direktur
Yayasan Pengembangan Pembinaan Wirausaha Papua mengatakan faktor budaya
masih mempengaruhi produktsi buah kakao di Papua. Pasalnya masyarakat
masih sebatas menanam dan membiarkan kakao tumbuh sendiri.
“Kebiasaan ini masih terjadi karena masyarakat belum secara penuh
merawat dan membersihkan tanaman kakao secara rutin. Masih membiarkan
kakao tumbuh sendiri tanpa melakukan perlakuan khusus kepada tanaman
tersebut,”kata Rumansara saat berkunjung ke Kampung Klaisu, Distrik
Gresi Selatan, Kabupaten Jayapura, Sabtu(23/3).
Dia menambahkan masyarakat umumnya masih meramu sehingga saat menjadi
petani masih perlu pendampingan di lapangan untuk memberikan motivasi
bagi mereka agar terus menekuni profesi sebagai petani kakao.” Kalau ada
pendampingan terus menerus dari berbagai pihak termasuk pemerintah
masyarakat bisa melihat kakao sebagai usaha keluarga,”katanya.
Selain itu kata Rumansara, kekurangan tenaga kerja yang menggarap
kebun kakao di Kampung Klaisu juga mempengaruhi turunya produksi.
“Soalnya saat ini di kampung niat kaum muda untuk bertani menurun
sehingga tenaga kerja berkurang,”kata Rumansara.
Faktor yang juga memicu menurunnya produksi lanjut dia karena faktor
hama penggerek buah kakao(HPB) menyebabkan masyarakat di Kampung Klaisu
patah semangat dan tidak bergairah lagi mengelola kebun kakao.
Sementara itu Kepala Kampung Klaisu Andreas Waisimon menambahkan
faktor hama penggerek kakao (HPK) juga mempengaruhi semangat warga untuk
mengembangkan kakao pasca 2008. “Padahal sebelumnya masyarakat punya
penghasilan sangat memadai dengan menjual kakao. Bahkan sempat menolak
beras raskin dari pemerintah,”kata Waisimon.
Namun dia menambahkan masyarakat di Kampung Klaisu akan meminta
kepada pemerintah Kabupaten Jayapura untuk mengembangkan bibit jenis criolo
karena lebih tahan hama dan produksi buahnya lebih banyak.”Kita akan
bikin demplot bibit dan kedepan masyarakat sendiri yang menyediakan
bibit kakao sendiri,”katanya.
Hama Pengerek Buah Kakao(PBK) yang terjadi di Kampung Klaisu lanjut
Kepala Kampung, Waisimon lebih banyak menyerang buah kakao yang punya
kulit sangat tebal sehingga membuat buah kakao kering dan keras berwarna
kehitam-hitaman.
Penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella, buah
kakao yang diserang berukuran panjang delapan centimeter. gejala masak
awal, yaitu belang kuning hijau atau kuning jingga dan terdapat lubang
gerekan bekas keluar larva. Saat buah dibelah biji-biji saling melekat
dan berwarna kehitaman, biji tidak berkembang dan ukurannya menjadi
lebih kecil. Kalau buah digoyang tak berbunyi.
Agus Rumansara juga mengingatkan kalau saat ini di Kabupaten Keerom,
buah kakao di sana sudah terkena virus VSD menyerang kakao milik
masyarakat di sana. Penyakit Vascular Streak Dieback(VSD) ini lanjut
Rumansara menyebabkan klorosis tampak daun menguning dengan
bercak-bercak berwarna hijau. “Serangan dimulai dari kayu, air tidak
lancar ke daun dan ranting mati.”katanya.
Menurut Balai Litbang Kementrian Pertanian RI, penyakit pembuluh kayu atau Vascular Streak Dieback
(VSD) pertama ditemukan pada akhir tahun 1930 an di Papua New Guinea.
Kemudian penyakit ini menyebar ke negara Asia lainya dan sekarang
terdapat di India Selatan, Pulau Hainan-Cina, Burma, Thailand, Malaysia,
Filipina, Indonesia, dan sejumlah pulau di Oseania. Kabupaten Keerom
yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea(PNG) kini sudah terkena
VSD di tanam Kakao milik petani kakao di Arso.(Jubi/Dominggus A Mampioper)
Sumber : http://tabloidjubi.com/?p=17205