Pages

Pages

Kamis, 21 Februari 2013

UPKIM DAN IKHZAN TIDAK ADA GURU

Murid SD YPPK Santo Isidorus, Waropko sedang belajar (AJI Papua)
AJI Papua
Tim Penulis : Paskalis Keagop, Katarina Lita dan Lala

Kampung Upkim dan Ikhzan Distrik Woropko Kabupaten Boven Digoel tidak ada guru. Sudah lama anak-anak di dua kampung itu tidak sekolah. Sedangkan di Woropko, hanya ada seorang guru relawan yang mengajar enam kelas.

Kampung-kampung yang masuk dalam wilayah pemerintah Distrik Woropko Kabupaten Boven Digoel ada sembilan, yaitu Woropko, Winiktit, Kanggewot, Upyetetko, Inggembit, Wombon, Upkim, Wametkapa, dan Ikhzan. Dari jumlah kampung itu, Kampung Upkim dan Ikhzan yang tidak ada guru. Terakhir Kampung Ikhzan mendapat dua guru honorer pada 1988, tapi setahun kemudian mereka pindah ke tempat lain karena daerah yang sangat terpencil dan nasib mereka tidak pernah diperhatikan pemerintah.

Sementara SD YPPK Santo Isidorus Woropko di pusat pemerintahan Distrik Woropko memiliki empat guru, yaitu Markus Borot, sebagai Kepala Sekolah (PNS), Yakobus Bitmop (guru bantu), Paulina Bandim (honor) dan Aleks Awung (relawan). Tapi yang aktif mengajar hanya Aleks Awung. Dia mengajar enam kelas setiap hari. “Yang lain sampai sekarang mereka tidak pernah mengajar. Hanya saya sendiri yang mengajar”, ujar Aleks Awung.

Jumlah murid SD YPPK Santo Isidorus Woropko, per 25 Februari 2012, yaitu kelas satu: 21 murid, kelas dua: 22 murid, kelas tiga: 12 murid, kelas empat: 17 murid, kelas lima: 21 murid, dan kelas enam: 16 murid. Aleks mengatakan daerah terpencil seperti ini tidak ada orang yang merasa tertarik untuk mengajar karena tidak ada jaminan dari pemerintah, jadi mereka malas. Sebenarnya Woropko tidak tergolong daerah terpencil, karena Jalan Trans Irian yang dibangun dari Merauke – Tanah Merah – Mindiptana – Woropko sudah terhubung. Kondisi jalan belum diaspal. Pada saat musim hujan, jalan sulit dilalui kendaraan roda dua maupun empat. Kalau pun dipaksakan, memerlukan waktu dua malam. Tapi saat musim kemarau, sehari bisa dua kali pergi pulang Woropko – Tanah Merah, ibukota Kabupaten Boven Digoel. Namun pusat kota Distrik Woropko yang sepi, tidak ada sarana transportasi dan sulitnya sarana komunikasi membuat orang tidak betah bertugas di Woropko.
“Kondisi pemerintahan di Boven Digoel juga tidak berjalan baik, membuat pegawai PNS maupun guru honor malas menjalankan tugas karena nasibnya tidak jelas. Saya mengajar sendiri dari kelas satu sampai kelas enam, karena tiga guru lainnya tidak mengajar. Salah satu guru honor lulusan SMA dan seorang lagi lulusan SMP”, ujar Aleks Awung.

Aleks, lulusan Kolese Pendidikan Guru (KPG) Merauke angkatan pertama. Dia lulusan SD YPPK Isidorus Woropko melanjutkan ke SMP di Merauke kemudian masuk KPG Merauke. Setelah lulus 1998, Aleks kembali ke Woropko dan diminta orang-orangtua di kampung itu untuk mengajar. Saat itu, hanya ada seorang guru PNS di SD itu, Markus Borot yang sekaligus sebagai Kepala Sekolah mengajar sendirian di kelas satu sampai kelas enam. “Saya kasihan melihat sekolah ini tidak ada guru, sehingga mengajar secara suka rela”, kata Aleks saat ditemui di sekolahnya.

Gedung SD YPPK St. Isidorus Woropko terletak di pinggir jalan utama dibangun semi permanen oleh para misionaris asing pada 1950-an.  Dan direhab ulang pada 12 tahun lalu. Kondisi bangunan SD saat ini sudah tua dan nyaris roboh. Seng sudah karatan dan kayu balok dan papan sudah lapuk dimakan rayap dan usia.

Di gedung baru yang dibangun pada 12 tahun lalu itu ada tiga ruangan. Sehingga, kelas 1, 2, dan 3 digabung di satu ruang. Kelas 4, 5 dan 6 juga begitu digabung di satu ruang. Pembatas kelas dalam satu ruang menggunakan papan tulis. Sementara ruang satunya lagi disekat menjadi dua ruangan. Sebelahnya untuk ruang kantor guru dan sebelahnya dijadikan ruang perpustakaan.

Buku-buku pelajaran yang dipakai di SD YPPK St. Isidorus Woropko adalah buku-buku kurikulum PGPP, KBK, KTSP. Dari semua itu, kurikulum KTSP sulit diterapkan karena tidak ada guru senior yang tahu soal kurikulum itu. Pengisian nilai pelajaran juga menggunakan raport. Dalam ruang perpustakaan itu tidak ada rak dan almari, sehingga buku-buku berserahkan di lantai. Sebagian besar buku adalah kurikulum lama, 1975. Ada juga buku-buku kurikulum baru, tapi tidak bisa digunakan karena tidak ada guru senior yang menguasai kurikulum itu. Sekolah itu juga tidak pernah menerima buku-buku dari siapapun.

“Mungkin ada bantuan buku dari pemerintah, tapi tidak jelas sehingga di ruang perpustakaan tidak ada buku,” kata Aleks.

Kondisi gedung sekolah juga tidak layak untuk proses belajar-mengajar, tapi kita mau apa, keadaan begini jadi kita pakai saja. Tidak ada perhatian pemerintah untuk sekolah ini. Kita bisa adakan semua kebutuhan sekolah melalui dana bantuan operasional pendidikan (BOP) dan dana bantuan sekolah (BOS). “Tapi  saya tidak tahu uangnya kemana. Kapur tulis, buku pelajaran, termasuk bangku dan meja belajar saya tidak tahu”, kata Aleks.

Pengelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan dana bantuan operasional pendidikan (BOP) di SD YPPK Santo Isidorus juga tidak jelas. “Saya tidak tahu kalau ada dana BOS dan dana BOP untuk sekolah ini. Saya hanya guru relawan, jadi semua hal yang terkait dengan keuangan sekolah ini saya tidak tahu. Tugas saya hanya mengajar”, kata Aleks.

Dana BOS dan BOP disalurkan kepada sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Woropko masuk dalam wilayah perbatasan RI – PNG, sehingga mungkin jumlahnya besar. “Saya dengar dana BOS dan dana BOP itu sayup-sayup. Dana BOS dan BOP sekolah ini yang atur kepala sekolah, saya tidak tahu”.
Aleks perkirakan dana yang diperuntukan bagi sekolahnya sebesar Rp 40 juta. Dibayarkan per triwulan, tapi entah kemana tidak jelas. Sekarang istilah triwulan diganti dengan satu semester atau enam bulan. Dalam setahun, dua kali terima. Apakah dana BOS dikelola dengan baik atau tidak terlihat dari ketersediaan ATK sekolah, kondisi bangunan sekolah, jika ada perubahan berarti dana itu dimanfaatkan.

Misalnya, di SD YPPK Santo Isidorus Woropko jumlah uang yang dibutuhkan sebesar Rp 15 juta. Kalau laporan kepala sekolah tepat waktu, berarti jumlah dana itu akan meningkat menjadi Rp 30 juta. Sedangkan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) juga ada dibagikan kepada murid-murid. Jumlahnya disesuaikan dengan jumlah murid, disalurkan ke sekolah melalui rekening dan dibagikan kepala sekolah ke setiap murid. Pengelolaan dana BOP tidak dilaporkan ke Komite Sekolah dan para guru. Sementara dari YPPK tidak pernah ada subsidi. Sekolah ini mengandalkan tanggungan pemerintah.

Devota Wanggat (12), Murid Kelas 6 SD yang ditemui Tim Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura, pada 25 Februari 2012 lalu di sekolahnya mengatakan dia menerima dana BOP sebesar RP 350.000 dari sekolah. Uang itu disimpan dalam celengan oleh orangtuanya.

Jumlah dana dan waktu pembayaran honor guru SD YPPK St. Isidorus Woropko juga tidak tentu. Misalnya, bulan ini Rp 500.000 maka bulan berikut lagi lebih tinggi lagi. Sedangkan guru kontrak dari pemerintah Kabupaten Boven Digoel sebesar Rp 1.000.000 perbulan, dibayar oleh Dinas Pendidikan Boven Digoel.

“Saya harap guru-guru yang lain supaya kembali ke tempat tugas. Usia murid SD di atas lima tahun. Di sini tidak ada TK”, kata Aleks.

Anak-anak yang sekolah di SD YPPK St. Isidorus, tidak hanya dari Woropko, tetapi juga menerima anak-anak usia sekolah dari kampung lain yang tidak ada guru tapi ingin sekolah. Murid asal kampung lain yang masuk sekolah ini kebanyakan berusia 13 tahun ke atas. Walau sudah umur, kami tetap terima, karena mereka adalah anak-anak dari kerabat pelintas batas yang tinggal di Papua New Guinea. Warga pelintas batas kebanyakan tinggal di dusun-dusun di Papua New Guinea dan bersekolah di sana.

Ada juga yang sekolah di Woropko. Kalau anak-anak ini sudah naik kelas tiga atau kelas empat, mereka akan mengambil keputusan untuk pindah ke Indonesia bersama orangtuanya atau anaknya saja tetap sekolah di Indonesia, tapi orangtuanya tetap tinggal di Papua New Guinea.
Anak-anak dari pelintas batas yang sekolah di SD YPPK Woropko kerap mengalami kesulitan dalam belajar karena tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka ini biasa tinggal kelas.

Pengawas TK SD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boven Digoel, Xaverius Kuruwop, sering mengunjungi sekolah-sekolah yang ada di wilayah Boven Digoel, SD di Woropko ini juga sering dikunjunginya, tapi karena letak geografis yang jauh membuat tidak bisa awasi semua sekolah secara rutin. Setiap bulan, Xaverius secara rutin mengunjungi SD YPPK Santo Isidorus Woropko.

Carola Woknan Kaipman (56), tokoh perempuan Woropko yang ditemui Tim AJI Kota Jayapura di rumahnya mengatakan kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anaknya sangat rendah. Mantan siswi Sekolah Kejuruan Kepandaian Putri (SKKP) di Asrama Susteran Putri Bunda Hati Kudus Keuskupan Agung Merauke ini mengisahkan, pada jaman Belanda, para misionaris mengutamakan pendidikan bagi orang asli. Hasilnya, banyak guru yang betah bertugas di kampung-kampung terpencil. Mereka mengenal dan bergaul dengan masyarakat sangat baik. Jaman sekarang, sudah berubah. Guru-guru tidak betah tinggal di kampung, dan kurang bergaul dengan masyarakat.

“Kepala SD YPPK Santo Isidorus Markus Borot, juga tidak pernah di tempat tugas. Itu yang bikin guru-guru lain juga pergi, mereka tidak mau tugas di sini. Tinggal Aleks Awung sendiri yang mengajar. Dia setia mengajar bukan karena guru, tapi ini panggilan Tuhan”.

Kepala Kampung Woropko, Wilhelmus Awinman (50) menilai kondisi SD YPPK Woropko sangat memprihatinkan. Guru tidak ada. Murid dibiarkan bermain. Kalau Aleks mengajar satu kelas sebelah, kelas lain bermain. Padahal Woropko adalah distrik tua yang dibentuk pada jaman pemerintahan Belanda. Banyak anak dari kampung ini yang telah menjadi pejabat, tapi kondisi pendidikan kampung ini sangat memprihatinkan.

“Guru PNS ada satu, tapi dia tidak mau mengajar. Kampung Ikhzan dan Upkim tidak ada guru sama sekali. Pengurus PSW dan pemerintah tidak pernah datang melihat kondisi ini. Pengawas dari Dinas Pendidikan Kabupaten Boven Digoel pernah datang melihat kondisi sekolah ini pada lima tahun lalu. Pengurus YPPK juga sama, tidak pernah datang tengok sekolah ini”.

Di sekolah, Wilhelmus Awinman diangkat menjadi Ketua Komite Sekolah. Tapi tidak pernah ada pembicaraan mengenai pengelolaan dana BOS dan dana BOP. Sosialisasi juga belum pernah ada. “Pernah ada rencana sosialisasi BOS dan BOP di Tanah Merah, sehingga saya turun ke Tanah Merah, tapi tiba-tiba batal dengan alasan tidak jelas”.

Kepala Distrik Woropko, Lusius Apayman mengatakan kondisi pendidikan di wilayah ini mengalami kemunduran. Di setiap kampung hanya ada satu dua guru yang mengajar. Itupun guru-guru tutor, ada juga satu dua yang PNS. Tenaga guru tutor ini direkrut dari lulusan SMP dan SMA. Ada juga lulusan SD yang terpaksa mengajar secara suka rela karena tidak ada guru di kampungnya. Jumlah anak usia sekolah di kampung-kampung banyak, tapi tidak ada guru.

Lusius pernah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Boven Digoel mengenai kelangkaan guru di kampung-kampung, tapi tidak pernah ada jawaban. Kelangkaan guru juga kerap dibahas dalam beberapa kali Musyawarah Kerja Daerah dan Perencanaan Pembangunan Daerah Boven Digoel, tapi tidak pernah ada realisasi.

Di Waropko, ada dua sekolah yaitu SD YPPK St. Isidorus dan SMP Negeri Persiapan Woropko. “Kepsek SD ini mungkin ada urusan, sehingga pulang balik, terkadang berbulan-bulan tak melaksanakan tugas”, ujar Apayman.

Di Kampung Kanggewot, gedung sekolahnya belum selesai dibangun. Ada tiga ruang kelas. Tapi pintu dan segala fasilitas belum lengkap, sehingga belum pakai. Kampung Wombon juga situasinya sama. Di sana sekolah bagus tetapi hanya seorang guru. Kampung Upkim dan Ikhzan sama sekali tidak ada guru. Yang ada guru tutor asal kampung itu. Dia mengabdi tanpa bayaran.

Kalau dibandingkan dengan Kampung Pantai Kasuari di Asmat, di sana banyak guru Katolik, sebagian besar biarawan-biarawati. Sementara di Woropko, kondisinya sangat memprihatinkan. Anak-anak usia sekolah ada, tapi guru tidak ada. Guru semua menumpuk di Tanah Merah. “Saya tidak tahu bagian mana yang bermasalah,” ujar Lusius Apayman.

Pegawai Distrik Woropko, semula ada 21 orang, tapi kini tinggal enam pegawai. Mereka keluar dari Woropko, lain tinggal di Tanah Merah dan lainnya di Merauke dengan berbagai alasan. Keadaan ini juga yang terjadi di dunia pendidikan dan kesehatan di wilayah Distrik Woropko. Di Woropko, hanya kepala distrik dan Puskesmas yang punya alat komunikasi berupa SSB. Harga berbagai kebutuhan pokok di Woropko juga lebih mahal. Semuanya didatangkan dari Mindiptana dan Tanah Merah. Misalnya, rokok surya bungkusan kecil di Tanah Merah Rp 10.000. dan Woropko Rp 13.000. Lilin bakar di Tanah Merah perpak berisi delapan batang Rp 10.000 di Waropko Rp 20.000. “Pegawai yang gaji pasa-pasan tidak bisa hidup di Woropko,” jelas Lusius Apayman, yang pernah diundang untuk hadir pada diskusi tentang kondisi pendidikan dan kesehatan di wilayah-wilayah perbatasan dua negara di Jakarta, tapi tidak jadi karena diwakili Kapolres dan Dandim Boven Digoel.*