Murid SD YPPK Santo Isidorus, Waropko sedang belajar (AJI Papua) |
AJI Papua
Tim Penulis : Paskalis Keagop, Katarina Lita dan Lala
Tim Penulis : Paskalis Keagop, Katarina Lita dan Lala
Kampung Upkim dan Ikhzan Distrik Woropko Kabupaten Boven Digoel
tidak ada guru. Sudah lama anak-anak di dua kampung itu tidak sekolah.
Sedangkan di Woropko, hanya ada seorang guru relawan yang mengajar enam
kelas.
Kampung-kampung yang masuk dalam wilayah pemerintah Distrik Woropko
Kabupaten Boven Digoel ada sembilan, yaitu Woropko, Winiktit, Kanggewot,
Upyetetko, Inggembit, Wombon, Upkim, Wametkapa, dan Ikhzan. Dari jumlah
kampung itu, Kampung Upkim dan Ikhzan yang tidak ada guru. Terakhir
Kampung Ikhzan mendapat dua guru honorer pada 1988, tapi setahun
kemudian mereka pindah ke tempat lain karena daerah yang sangat
terpencil dan nasib mereka tidak pernah diperhatikan pemerintah.
Sementara SD YPPK Santo Isidorus Woropko di pusat pemerintahan
Distrik Woropko memiliki empat guru, yaitu Markus Borot, sebagai Kepala
Sekolah (PNS), Yakobus Bitmop (guru bantu), Paulina Bandim (honor) dan
Aleks Awung (relawan). Tapi yang aktif mengajar hanya Aleks Awung. Dia
mengajar enam kelas setiap hari. “Yang lain sampai sekarang mereka tidak
pernah mengajar. Hanya saya sendiri yang mengajar”, ujar Aleks Awung.
Jumlah murid SD YPPK Santo Isidorus Woropko, per 25 Februari 2012,
yaitu kelas satu: 21 murid, kelas dua: 22 murid, kelas tiga: 12 murid,
kelas empat: 17 murid, kelas lima: 21 murid, dan kelas enam: 16 murid.
Aleks mengatakan daerah terpencil seperti ini tidak ada orang yang
merasa tertarik untuk mengajar karena tidak ada jaminan dari pemerintah,
jadi mereka malas. Sebenarnya Woropko tidak tergolong daerah terpencil,
karena Jalan Trans Irian yang dibangun dari Merauke – Tanah Merah –
Mindiptana – Woropko sudah terhubung. Kondisi jalan belum diaspal. Pada
saat musim hujan, jalan sulit dilalui kendaraan roda dua maupun empat.
Kalau pun dipaksakan, memerlukan waktu dua malam. Tapi saat musim
kemarau, sehari bisa dua kali pergi pulang Woropko – Tanah Merah,
ibukota Kabupaten Boven Digoel. Namun pusat kota Distrik Woropko yang
sepi, tidak ada sarana transportasi dan sulitnya sarana komunikasi
membuat orang tidak betah bertugas di Woropko.
“Kondisi pemerintahan di Boven Digoel juga tidak berjalan baik, membuat pegawai PNS maupun guru honor malas menjalankan tugas karena nasibnya tidak jelas. Saya mengajar sendiri dari kelas satu sampai kelas enam, karena tiga guru lainnya tidak mengajar. Salah satu guru honor lulusan SMA dan seorang lagi lulusan SMP”, ujar Aleks Awung.
“Kondisi pemerintahan di Boven Digoel juga tidak berjalan baik, membuat pegawai PNS maupun guru honor malas menjalankan tugas karena nasibnya tidak jelas. Saya mengajar sendiri dari kelas satu sampai kelas enam, karena tiga guru lainnya tidak mengajar. Salah satu guru honor lulusan SMA dan seorang lagi lulusan SMP”, ujar Aleks Awung.
Aleks, lulusan Kolese Pendidikan Guru (KPG) Merauke angkatan pertama.
Dia lulusan SD YPPK Isidorus Woropko melanjutkan ke SMP di Merauke
kemudian masuk KPG Merauke. Setelah lulus 1998, Aleks kembali ke Woropko
dan diminta orang-orangtua di kampung itu untuk mengajar. Saat itu,
hanya ada seorang guru PNS di SD itu, Markus Borot yang sekaligus
sebagai Kepala Sekolah mengajar sendirian di kelas satu sampai kelas
enam. “Saya kasihan melihat sekolah ini tidak ada guru, sehingga
mengajar secara suka rela”, kata Aleks saat ditemui di sekolahnya.
Gedung SD YPPK St. Isidorus Woropko terletak di pinggir jalan utama
dibangun semi permanen oleh para misionaris asing pada 1950-an. Dan
direhab ulang pada 12 tahun lalu. Kondisi bangunan SD saat ini sudah tua
dan nyaris roboh. Seng sudah karatan dan kayu balok dan papan sudah
lapuk dimakan rayap dan usia.
Di gedung baru yang dibangun pada 12 tahun lalu itu ada tiga ruangan. Sehingga, kelas 1, 2, dan 3 digabung di satu ruang. Kelas 4, 5 dan 6 juga begitu digabung di satu ruang. Pembatas kelas dalam satu ruang menggunakan papan tulis. Sementara ruang satunya lagi disekat menjadi dua ruangan. Sebelahnya untuk ruang kantor guru dan sebelahnya dijadikan ruang perpustakaan.
Buku-buku pelajaran yang dipakai di SD YPPK St. Isidorus Woropko
adalah buku-buku kurikulum PGPP, KBK, KTSP. Dari semua itu, kurikulum
KTSP sulit diterapkan karena tidak ada guru senior yang tahu soal
kurikulum itu. Pengisian nilai pelajaran juga menggunakan raport. Dalam
ruang perpustakaan itu tidak ada rak dan almari, sehingga buku-buku
berserahkan di lantai. Sebagian besar buku adalah kurikulum lama, 1975.
Ada juga buku-buku kurikulum baru, tapi tidak bisa digunakan karena
tidak ada guru senior yang menguasai kurikulum itu. Sekolah itu juga
tidak pernah menerima buku-buku dari siapapun.
“Mungkin ada bantuan buku dari pemerintah, tapi tidak jelas sehingga di ruang perpustakaan tidak ada buku,” kata Aleks.
Kondisi gedung sekolah juga tidak layak untuk proses
belajar-mengajar, tapi kita mau apa, keadaan begini jadi kita pakai
saja. Tidak ada perhatian pemerintah untuk sekolah ini. Kita bisa adakan
semua kebutuhan sekolah melalui dana bantuan operasional pendidikan
(BOP) dan dana bantuan sekolah (BOS). “Tapi saya tidak tahu uangnya
kemana. Kapur tulis, buku pelajaran, termasuk bangku dan meja belajar
saya tidak tahu”, kata Aleks.
Pengelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan dana bantuan
operasional pendidikan (BOP) di SD YPPK Santo Isidorus juga tidak jelas.
“Saya tidak tahu kalau ada dana BOS dan dana BOP untuk sekolah ini.
Saya hanya guru relawan, jadi semua hal yang terkait dengan keuangan
sekolah ini saya tidak tahu. Tugas saya hanya mengajar”, kata Aleks.
Dana BOS dan BOP disalurkan kepada sekolah-sekolah di seluruh
Indonesia. Woropko masuk dalam wilayah perbatasan RI – PNG, sehingga
mungkin jumlahnya besar. “Saya dengar dana BOS dan dana BOP itu
sayup-sayup. Dana BOS dan BOP sekolah ini yang atur kepala sekolah, saya
tidak tahu”.
Aleks perkirakan dana yang diperuntukan bagi sekolahnya sebesar Rp 40
juta. Dibayarkan per triwulan, tapi entah kemana tidak jelas. Sekarang
istilah triwulan diganti dengan satu semester atau enam bulan. Dalam
setahun, dua kali terima. Apakah dana BOS dikelola dengan baik atau
tidak terlihat dari ketersediaan ATK sekolah, kondisi bangunan sekolah,
jika ada perubahan berarti dana itu dimanfaatkan.
Misalnya, di SD YPPK Santo Isidorus Woropko jumlah uang yang
dibutuhkan sebesar Rp 15 juta. Kalau laporan kepala sekolah tepat waktu,
berarti jumlah dana itu akan meningkat menjadi Rp 30 juta. Sedangkan
Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) juga ada dibagikan kepada
murid-murid. Jumlahnya disesuaikan dengan jumlah murid, disalurkan ke
sekolah melalui rekening dan dibagikan kepala sekolah ke setiap murid.
Pengelolaan dana BOP tidak dilaporkan ke Komite Sekolah dan para guru.
Sementara dari YPPK tidak pernah ada subsidi. Sekolah ini mengandalkan
tanggungan pemerintah.
Devota Wanggat (12), Murid Kelas 6 SD yang ditemui Tim Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura, pada 25 Februari 2012 lalu di
sekolahnya mengatakan dia menerima dana BOP sebesar RP 350.000 dari
sekolah. Uang itu disimpan dalam celengan oleh orangtuanya.
Jumlah dana dan waktu pembayaran honor guru SD YPPK St. Isidorus
Woropko juga tidak tentu. Misalnya, bulan ini Rp 500.000 maka bulan
berikut lagi lebih tinggi lagi. Sedangkan guru kontrak dari pemerintah
Kabupaten Boven Digoel sebesar Rp 1.000.000 perbulan, dibayar oleh Dinas
Pendidikan Boven Digoel.
“Saya harap guru-guru yang lain supaya kembali ke tempat tugas. Usia murid SD di atas lima tahun. Di sini tidak ada TK”, kata Aleks.
Anak-anak yang sekolah di SD YPPK St. Isidorus, tidak hanya dari
Woropko, tetapi juga menerima anak-anak usia sekolah dari kampung lain
yang tidak ada guru tapi ingin sekolah. Murid asal kampung lain yang
masuk sekolah ini kebanyakan berusia 13 tahun ke atas. Walau sudah umur,
kami tetap terima, karena mereka adalah anak-anak dari kerabat pelintas
batas yang tinggal di Papua New Guinea. Warga pelintas batas kebanyakan
tinggal di dusun-dusun di Papua New Guinea dan bersekolah di sana.
Ada juga yang sekolah di Woropko. Kalau anak-anak ini sudah naik
kelas tiga atau kelas empat, mereka akan mengambil keputusan untuk
pindah ke Indonesia bersama orangtuanya atau anaknya saja tetap sekolah
di Indonesia, tapi orangtuanya tetap tinggal di Papua New Guinea.
Anak-anak dari pelintas batas yang sekolah di SD YPPK Woropko kerap mengalami kesulitan dalam belajar karena tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka ini biasa tinggal kelas.
Anak-anak dari pelintas batas yang sekolah di SD YPPK Woropko kerap mengalami kesulitan dalam belajar karena tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka ini biasa tinggal kelas.
Pengawas TK SD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boven Digoel, Xaverius
Kuruwop, sering mengunjungi sekolah-sekolah yang ada di wilayah Boven
Digoel, SD di Woropko ini juga sering dikunjunginya, tapi karena letak
geografis yang jauh membuat tidak bisa awasi semua sekolah secara rutin.
Setiap bulan, Xaverius secara rutin mengunjungi SD YPPK Santo Isidorus
Woropko.
Carola Woknan Kaipman (56), tokoh perempuan Woropko yang ditemui Tim
AJI Kota Jayapura di rumahnya mengatakan kesadaran orangtua untuk
menyekolahkan anaknya sangat rendah. Mantan siswi Sekolah Kejuruan
Kepandaian Putri (SKKP) di Asrama Susteran Putri Bunda Hati Kudus
Keuskupan Agung Merauke ini mengisahkan, pada jaman Belanda, para
misionaris mengutamakan pendidikan bagi orang asli. Hasilnya, banyak
guru yang betah bertugas di kampung-kampung terpencil. Mereka mengenal
dan bergaul dengan masyarakat sangat baik. Jaman sekarang, sudah
berubah. Guru-guru tidak betah tinggal di kampung, dan kurang bergaul
dengan masyarakat.
“Kepala SD YPPK Santo Isidorus Markus Borot, juga tidak pernah di tempat tugas. Itu yang bikin guru-guru lain juga pergi, mereka tidak mau tugas di sini. Tinggal Aleks Awung sendiri yang mengajar. Dia setia mengajar bukan karena guru, tapi ini panggilan Tuhan”.
Kepala Kampung Woropko, Wilhelmus Awinman (50) menilai kondisi SD
YPPK Woropko sangat memprihatinkan. Guru tidak ada. Murid dibiarkan
bermain. Kalau Aleks mengajar satu kelas sebelah, kelas lain bermain.
Padahal Woropko adalah distrik tua yang dibentuk pada jaman pemerintahan
Belanda. Banyak anak dari kampung ini yang telah menjadi pejabat, tapi
kondisi pendidikan kampung ini sangat memprihatinkan.
“Guru PNS ada satu, tapi dia tidak mau mengajar. Kampung Ikhzan dan Upkim tidak ada guru sama sekali. Pengurus PSW dan pemerintah tidak pernah datang melihat kondisi ini. Pengawas dari Dinas Pendidikan Kabupaten Boven Digoel pernah datang melihat kondisi sekolah ini pada lima tahun lalu. Pengurus YPPK juga sama, tidak pernah datang tengok sekolah ini”.
Di sekolah, Wilhelmus Awinman diangkat menjadi Ketua Komite Sekolah.
Tapi tidak pernah ada pembicaraan mengenai pengelolaan dana BOS dan dana
BOP. Sosialisasi juga belum pernah ada. “Pernah ada rencana sosialisasi
BOS dan BOP di Tanah Merah, sehingga saya turun ke Tanah Merah, tapi
tiba-tiba batal dengan alasan tidak jelas”.
Kepala Distrik Woropko, Lusius Apayman mengatakan kondisi pendidikan
di wilayah ini mengalami kemunduran. Di setiap kampung hanya ada satu
dua guru yang mengajar. Itupun guru-guru tutor, ada juga satu dua yang
PNS. Tenaga guru tutor ini direkrut dari lulusan SMP dan SMA. Ada juga
lulusan SD yang terpaksa mengajar secara suka rela karena tidak ada guru
di kampungnya. Jumlah anak usia sekolah di kampung-kampung banyak, tapi
tidak ada guru.
Lusius pernah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Boven Digoel
mengenai kelangkaan guru di kampung-kampung, tapi tidak pernah ada
jawaban. Kelangkaan guru juga kerap dibahas dalam beberapa kali
Musyawarah Kerja Daerah dan Perencanaan Pembangunan Daerah Boven Digoel,
tapi tidak pernah ada realisasi.
Di Waropko, ada dua sekolah yaitu SD YPPK St. Isidorus dan SMP Negeri
Persiapan Woropko. “Kepsek SD ini mungkin ada urusan, sehingga pulang
balik, terkadang berbulan-bulan tak melaksanakan tugas”, ujar Apayman.
Di Kampung Kanggewot, gedung sekolahnya belum selesai dibangun. Ada
tiga ruang kelas. Tapi pintu dan segala fasilitas belum lengkap,
sehingga belum pakai. Kampung Wombon juga situasinya sama. Di sana
sekolah bagus tetapi hanya seorang guru. Kampung Upkim dan Ikhzan sama
sekali tidak ada guru. Yang ada guru tutor asal kampung itu. Dia
mengabdi tanpa bayaran.
Kalau dibandingkan dengan Kampung Pantai Kasuari di Asmat, di sana
banyak guru Katolik, sebagian besar biarawan-biarawati. Sementara di
Woropko, kondisinya sangat memprihatinkan. Anak-anak usia sekolah ada,
tapi guru tidak ada. Guru semua menumpuk di Tanah Merah. “Saya tidak
tahu bagian mana yang bermasalah,” ujar Lusius Apayman.
Pegawai Distrik Woropko, semula ada 21 orang, tapi kini tinggal enam
pegawai. Mereka keluar dari Woropko, lain tinggal di Tanah Merah dan
lainnya di Merauke dengan berbagai alasan. Keadaan ini juga yang terjadi
di dunia pendidikan dan kesehatan di wilayah Distrik Woropko. Di
Woropko, hanya kepala distrik dan Puskesmas yang punya alat komunikasi
berupa SSB. Harga berbagai kebutuhan pokok di Woropko juga lebih mahal.
Semuanya didatangkan dari Mindiptana dan Tanah Merah. Misalnya, rokok
surya bungkusan kecil di Tanah Merah Rp 10.000. dan Woropko Rp 13.000.
Lilin bakar di Tanah Merah perpak berisi delapan batang Rp 10.000 di
Waropko Rp 20.000. “Pegawai yang gaji pasa-pasan tidak bisa hidup di
Woropko,” jelas Lusius Apayman, yang pernah diundang untuk hadir pada
diskusi tentang kondisi pendidikan dan kesehatan di wilayah-wilayah
perbatasan dua negara di Jakarta, tapi tidak jadi karena diwakili
Kapolres dan Dandim Boven Digoel.*