Upacara TPN-OPM di Biak, saat
memilih
Goliat Tabuni sebagai panglima tertinggi
(Foto: wpnla.net/ktt-tpn-opm/)
|
Oleh : Yan Christian Warinussy*
Peristiwa penembakan yang terjadi, pada Kamis 21 Februari 2013, di
wilayah Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Puncak Papua, telah
menewaskan delapan orang anggota TNI, dan melukai dua orang lainnya.
Satu orang diantaranya diketahui berpangkat perwira.
Ini semakin menjadi fakta actual dan termasa yang seharusnya mampu
mendorong dan mendesak Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden
DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera membuka Dialog
Papua–Indonesia dalam waktu dekat ini.
Jika kita menyimak pernyataan anggota DPR RI dari Fraksi Golkar,
Yorrys Raweyai dalam acara Kabar Indonesia Malam di TV One, Jumat 22
Februari 2013, sekitar pukul 20.00 WIT, dimana dia menegaskan juga bahwa
sudah saatnya Pemerintah Indonesia segera membuka Dialog
Papua-Indonesia.
Raweyai yang juga salah satu Pimpinan Dewan Adat papua [DAP] di
perantauan itu juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam
Dialog Damai tersebut haruslah melibatkan Tentara Pembebasan Nasional
Papua Barat [TPNPB] dan Organisasi Papua Merdeka [OPM] serta berbagai
komponen perjuangan politik di Papua maupun yang ada di luar negeri
bersama pemerintah Indonesia sendiri.
Di lain pihak, mantan Bupati Puncak Jaya yang juga Ketua DPD Partai
Demokrat Propinsi Papua Lukas Enembe dalam acara yang sama menjelaskan
bahwa dirinya sendiri pernah mendekati pimpinan kelompok sipil
bersenjata yang diduga bertanggung jawan atas peristiwa penembakan yang
terakhir ini.
Enembe sempat mencatat bahwa kelompok yang dipimpin oleh Goliath
Tabuni memiliki 30 pucuk senjata api, kelompok Rambo memiliki 30 pucuk
senjata api, dan kelompok Merunggeng memiliki delapan pucuk senjata api.
Merunggeng sempat “dibujuk” turun dari Puncak Jaya dan diajak ke
Jakarta oleh Enembe. Menurut Enembe dia sudah berkali-kali melakukan
pendekatan dengan Goliath Tabuni, tapi sulit untuk menyadarkan Tabuni,
karena Tabuni memiliki ideologi yang berbeda yaitu menginginkan Papua
Merdeka lepas dari Indonesia.
Sehingga pemenang Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] Propinsi Papua
belum lama ini mengharapkan agar persoalan konflik di Papua, khususnya
di Puncak Jaya ini segera diselesaikan cepat dan dia malah tidak ingin
Tanah Papua dijadikan proyek besar.
Muncul pertanyaan disini, proyek besar seperti apa? Siapa yang
menjadi Tanah Papua sebagai proyek? Siapa-siapa saja pemilik proyek
besar itu? Ini semua perlu dikaji dan didalami secara baik, sistematis
dan berdasarkan studi-studi investigative dan partisipatif yang dapat
dipertanggung-jawabkan secara ilmiah tentunya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan [Kapuspen] TNI yang juga
memberi keterangan dalam acara tersebut menceriterakan dengan sangat
sederhana bahwa penembakan yang terjadi itu diakibatkan karena adanya
“kecemburuan” dari pihak sipil bersenjata terhadap adanya hubungan
sosial yang sangat baik diantara anggota TNI Angkatan Darat yang
bertugas dengan masyarakat di Tingginambut dan SInak itu sendiri.
Hal inilah yang menurut pihak TNI telah menjadi alasan yang
menyebabkan kelompok sipil bersenjata tersebut melakukan penyerangan dan
menewaskan delapan orang prajurit serta melukai dua orang prajurit dan
perwira lainnya.
Alasan tersebut bagi saya amat menggelikan dan juga fatal, karena
begitu gampangnya sekelompok personil pasukan militer yang sedang
bertugas di daerah konflik yang berbahaya seperti Tingginambut dan Sinak
tidak mewaspadai setiap waktu dan situasi apapun.
Fakta yang ada saat ini adalah bahwa sepanjang tahun 2012 yang baru
lalu hampir setiap bulan pasti terjadi peristiwa penembakan di beberapa
daerah di Tanah Papua, khususnya di Jayapura dan Puncak Jaya. 14 kali
terjadi peristiwa penembakan itu dan telah menewaskan 22 orang yang
tidak bersalah dan tidak berdosa.
Atas peristiwa-peristiwa tersebut, ternyata pihak TNI dan POLRI
masing-masing melalui jaringan intelijennya telah menyelidiki semua
wilayah tentunya dan pasti mereka sudah memiliki data dan informasi
akurat yang sudah disampaikan kepada Kepala Negara.
Sehingga sesungguhnya saya memandang bahwa sudah tidak ada alasan
apapun yang bisa dihindari atau ditolak oleh Presiden SBY untuk segera
membuka dialog dalam rangka mewujudkan prinsip Papua Tanah Damai.
Penting untuk dicatat oleh semua kalangan di Papua dan Papua Barat
bahwa atas peristiwa tersebut ternyata TNI tidak akan mengelar operasi
militer, tetapi mereka lebih memilih mengedepankan penegakan hukum
dengan mempercayakan penuh kepada pihak Kepolisian [Polda Papua dan
Mabes POLRI] untuk menyelidiki peristiwa tersebuts esuai due process
yang berlaku menurut hukum acara pidana Indonesia.
Saya kira sudah saatnya rakyat Papua mempersiapkan format dialog
damai itu sendiri di satu pihak dan pemerintah Indonesia juga demikian
dan segera utusan atau wakil dari kedua kelompok yang bertikai selama
ini dapat difasilitasi awalnya untuk duduk bersama dan berbicara serta
menyamakan persepsi lebih dahulu mengenai isi dan muatan dari format
dialog tersebut.
Bagaimanapun, Dialog itu sendiri kini menjadi agenda yang sangat
urgen dan mendesak untuk dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang
selama ini saling bertikai, yaitu TPN-OPM serta berbagai komponen
rakyat Papua dan masyarakat Papua sendiri bersama-sama dengan Pemerintah
Indonesia.
*Yan Christian Warinussy adalah Direktur Eksekutif LP3BH
Manokwari dan Anggota Steering Committee Foker LSM di Tanah Papua, serta
Sekretaris Komisi Hak Asasi Manusia dan Keadilan dan Keutuhan Ciptaan
[KPKC] Klasis GKI Manokwari.
Sumber : http://suarapapua.com/2013/02/dialog-papua-indonesia-makin-penting-pasca-penembakan-di-puncak-jaya/#comments