Pages

Pages

Jumat, 12 Februari 2016

Siapa Sebenarnya Musuh Mahasiswa/i Papua di Jogja?

Oleh: Herman E Degei

Herman Degey-IST
Herman Degey-IST
Jika kepada seseorang ditanya, siapakah musuh Anda? Pasti dia menjawabnya berdasarkan pemahamannya akan hal itu. Dan jawabannya pun tak jarang kontra dengan apa yang dianggap oleh sang penanya. Ini memang. Karena pada setiap manusia, telah diberi kapasitas untuk memahami sesuatu dengan porsi yang berbeda-beda

Sekarang disini saya. Manakala saya ditanya, siapakah musuh Anda di kota studi Jogja ini? Tanpa tergeming dan berpikir panjang, saya akan menjawab, musuh saya adalah segala yang pada tamatnya akan mencelakakan diri saya.

Salah lain dari musuh saya selama saya di kota studi Jogja sini adalah; Nafsu, apatis terhadap sesama warga, mengomsumsi miras, rokok, suka menunda, malas belajar dan ada beberapa yang lain lagi.
Merasa ada yang tidak disebutkan, mungkin ada yang lepas suara, kenapa tidak kau sebutkan para warga yang biasa mendiskriminasi kita, kenapa tidak kau sebutkan para warga yang cap kita sebagai kaum separatis, pemiras, kebal hukum lalu-lintas dan lain sebagainya. Disini jika saya sebutkan, maka saya keliru.
Kenapa?

Kita kadang malas merenungkan apakah yang kita lakukan selama ini adalah benar atau salah. Agaknya kita juga masih picik dalam hal berpikir. Kita melulunya menyalahkan yang lain tanpa kita insaf, apakah yang kita lakukan selama ini adalah yang semestinya.

Bukankah begitu?
Saya mau urai sedikit tentang anggapan kita bahwa kita didiskriminasi. Selain yang lain, biasanya kita juga merasa didiskriminasi ketika mencari kost untuk tempat tinggal.

Mencari kost/kontrakan memang sulit. Apalagi kita mahasiswa/i Papua. Selalu saja ditolak dengan aneka alasan yang lahap. Padahal di kost/kontrakan tersebut sebenarnya masih ada tempat/kamar untuk ditinggali selama kuliah.

Nah, disaat itulah kita merasa didiskriminasi. Kan? Seperti yang saya katakan sebelumnya. Kita jarang merenung, kenapa kita dilakukan begini? Sepertinya perlu juga untuk diketahui, bahwa lazimnya setiap diskriminasi berupa penolakan dan sebagainya menetas seketika sebelumnnya yang menolak tersebut pernah mengalami hal yang traumatis.

Katakan saja, karena didapati sering minum mabuk, berkelakar di tengah malam hingga pagi, sering melanggar aturan kost dan lain-lain. Kita akui saja. Tak usah kita mengelabui dan malah menyalahkan orang lain atas perbuatan kita.

Dengan begitu, baiklah jika kita akui saja, bahwa salah satu musuh besar kita adalah kelengahan kita terhadap sang pemilik kost/kontrakan.

Bukankah benar? Coba dipikirkan!

Kemudian, muncul kabar astaga di beberapa hari yang lalu, yaitu bahwa ada lima Mahasiswa Papua meninggal dunia usai meneguk minuman terlarang yang katanya Minuman Keras (miras).
Dikabarkan, mereka adalah diantaranya dari korban oplosan alkohol murni 96 persen dan air yang lain. Informasi tersebut untuk sementara waktu masih simpang siur.

Tadi saya sudah katakan, bahwa musuh saya adalah segala yang pada tamatnya akan mencelakakan diri saya. Sekarang, apakah miras bukan musuh kita mahasiswa/i Papua di Jogja? Pun apakah buah pikiran untuk berkendara tidak memakai helm itu bukan musuh kita?

Sebagai mahasiswa/i, mestinya kita jeli berpandang. Karena saya amati, selama ini kita maunya menyalakan orang lain tanpa sesekali kita introspeksi diri.

Sekarang, beberapa teman kita yang kemarin tewas akibat oplosan. Mungkin lain dari kita ada yang menyalahkan dan memaki sang penjual miras. Siapa yang bersalah? Apakah sebelumnya sang penjual memaksa beberapa teman kita yang meninggal untuk membeli minumannya?

Tidak!
Toh motivasi untuk hendak membeli dan meneguk miras tersebut awalnya muncul dibenak sang korban sendiri. Makanya saya katakan disini, bahwa salah satu musuh besar kita mahasiswa/i Papua di Jogja adalah motivasi untuk hendak membeli mengomsumsi minuman keras (Miras). Salam
Perubahan!
*(Penulis adalah mahasiswa Papua, kuliah di Yogyakarta)

http://tabloidjubi.com/2016/02/11/siapa-sebenarnya-musuh-mahasiswai-papua-di-jogja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar