Marinus Yaung – ist |
Hal itu dikatakan Marinus Yaung menanggapi pernyataan yang disampaikan Kapolda Papua, Irjen Pol. Paulus Waterpauw di sebuah media online nasional, bahwa aktivitas jurnalis di Papua yang diduga melakukan propaganda ke luar negeri dengan melakukan kegiatan kampanye terselubung Papua Merdeka..
“Isu Papua merdeka itu sudah bukan lokal lagi. Isu Papua merdeka itu bukan tawaran dengan Jakarta. Ya, terminologi pernyataan Kapolda Papua itu bahasa yang keliru,” terang Marinus Yaung ketika dikonfirmasi Jubi melalui telepon selular, Kamis (18/02/2016).
Yaung menjelaskan, menulis berita dan mempublikasikan informasi sesuai dengan fakta yang ada di lapangan oleh wartawan di Papua merupakan catatan bagi polisi dan pemerintah.
“Karya jurnalistik itu seharusnya jadi catatan untuk polisi dan pemerintah. Bagaimana polisi mau tahu informasi yang sedang terjadi di balik gunung kalau tidak ada wartawan yang menginformasikan,” ujarnya bertanya.
Karena, dijelaskan, pers adalah sebuah pilar tingkat daerah, maupun tingkat nasional. Maka, jika ada pejabat yang mengancam, itu menghancurkan demokrasi wilayahnya, termasuk Papua. Ia menjelaskan istilah kampanye terselubung adalah sebuah istilah di zaman Orde Baru untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan menggulingkan kedaulatan negara.
“Kita bukan berada di Orde Baru. Kita sedang berada di Era Reformasi. Itu harus pahami baik,” imbuhnya.
“Sudah keterbukaan di mana-mana. Dan jurnalis akan memberitakan apa yang benar-benar terjadi di lapangan tersebut,” bebernya.
Ketika disinggung itu bagian dari belum adanya keterbukaan bagi jurnalis asing di Papua? Ia mengungapkan, pernyataan Kapolda itu hanya untuk membatasi kebebasan pres dari tanah Papua.
“ Ini juga membatasi revisi Presiden Jokowi ketika mengijinkan jurnalis asing masuk ke Papua semakin hari tidak terkontrol. Sehingga mempengaruhi pemerintahan di Papua,” ucapnya.
Secara terpsiah, anggota Komisi I DPR Papua, Ruben Magai mengatakan, pernyataan Kapolda Papua berawal dari pemerintah pusat yang mengambil kebijakan membatasi wartawan internasional masuk ke Papua.
“Pak Kapolda bicara harus disertai dengan barang bukti. Memang itu dari sebuah kebijakan negara secara rahasia. Papua ini kan ditutupi sebagai daerah yang terisolasi tetapi perkembangan tekologi hari ini semakin diketahui dunia internasional. Jadi, apa yang sedang terjadi hari ini diketahui oleh seluruh dunia,” jelas Ruben Magai.
Sehingga, kata dia, sikap Polda Papua itu menunjukkan jika mereka kewalahan dengan derasnya perkembangan media dan teknologi hari ini.
“Para pejabat pusat sampai daerah sekarang melakukan ancaman-ancaman, karena psikologi pemerintah sedang berada dalam keadaan emosi, termasuk perkataan waktu lalu dari Menkopolhukam RI. Kemudian sekarang dilontar oleh pak Kapolda yang menyebutkan wartawan ikut terlibat, itu artinya dia belum mengerti tentang UU Pers,” tegas Magai.
Ia menduga, pernyataan Kapolda Papua itu sebagai sikap pribadi saja, karena kewalahan dalam menyeimbangi perkembangan teknologi hari ini
“Kalau dia (Kapolda) curigai wartwan itu terlibat, sekarang informasi apa yang diprovokasi oleh wartawan tersebut? Kalau peristiwa yang terjadi Vanuatu atau di Australia itu sudah memang peristiwa yang terjadi benar-benaran. Sehingga harus terus dipublikasikan. Dan di dalam teknologi itu terdaftar bahwa jam sekian ini terjadi peristiwa ini, peristiwa itu,” tambahnya.
Menurutnya, sekarang wartawan itu go internasional karena teknologi membuat aktivitas jurnalisme tidak terbatas hanya dalam satu negara saja, sama dengan pasar bebas (MEA) yang dibebaskan.
Ia juga mempertanyakan, propagada yang dimaksudkan itu pelanggaran hak asasi manusia atau propaganda politik? Sebab Kapolda pun belum memberikan rasa adil kepada orang Papua apabila itu soal HAM.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Papua lainnya, Laurenzus Kadepa mengatakan, Kapolda Papua jangan pintar mencari kesalahan orang lain, seharusnya mengungkap siapa pelaku penembakan warga sipil di Papua.
“Wartawan yang jujur menurut rakyat kan banyak musuh, itu hal biasa bagi daerah konflik seperti di Papua. Jurnalis yang kerja jujur dan benar selalu ada stigma,” kata Laurenzius Kadepa.
Sedangkan Ketua AJI Jayapura, Victor Mambor, menanggapi pernyataan Kapolda itu, mengatakan sah-sah saja Kapolda menyampaikan dugaannya. Sebagai penegak hukum yang bertugas menjamin Kamtibmas, Kepolisian, kata Mambor tugasnya memang menginvestigasi masalah yang terjadi. Tapi polisi juga harus merujuk pada UU Pokok Pers No. 40 Tahun 1999.
“Tugas wartawan itu memberitakan peristiwa. Pasal 6 UU Pokok Pers menegaskan pers nasional melaksanakan peranannya untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.” kata Mambor.
Mengenai aktifitas propaganda dan kampanye terselubung Papua Merdeka yang dituduhkan oleh Kapolda, Mambor mengatakan ia tak punya kapasitas untuk menilai atau berkomentar soal itu.
“Itu ranah kepolisian. Tugas wartawan itu hanya memberitakan. Berita itu informasi untuk siapa saja, termasuk kepolisian. Dampaknya bisa beragam, tergantung cara pandang masing-masing,” kata Mambor.
Ia berharap pernyataan Kapolda ini tidak menimbulkan kecurigaan antar sesama jurnalis di Papua. (Abeth You)
http://tabloidjubi.com/2016/02/19/marinus-yaung-karya-jurnalistik-itu-seharusnya-jadi-catatan-untuk-polisi-dan-pemerintah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar