Seli Ariani Foto DOk Majalah Selangka |
Yogyakarta, Koordinator National Papua Solidarity (NAPAS), Zely
Ariane mengungkapkan, sejak Papua dianeksasi ke dalam Indonesia pada tahun
tahun 1969, negara hadir di Papua dengan wajah militer.
Menurutnya, hal itu terjadi atas
dasar sejarah buram yang berujung pelanggaran HAM di atas tanah Papua terus
terjadi.
"Kita tahu bahwa negara ini
hadir di Papua hanya dalam bentuk militer atau tentara," ungkapnya dalam
diskusi usai pemutaran film pendek tentang Papuan Voices volume II, produksi
EngageMedia, di Bentara Budaya Yogyakarta, Jumat (30/01/2015) malam.
Negara menurutnya, selama ini
hanya mengutamakan kekayaan alam yang dimiliki dari pada manusianya. Akibatnya,
masyarakat Papua merasakan penderitaan yang luar biasa karena negara mengambil
alih tanah-tanah adat untuk menyerahkan kepada perusahaan-perusahaan asing
tanpa berpihak kepada masyarakat pemilik hak ulayat.
"Rata-rata tanah di Papua
adalah tanah adat. Negara ini seenaknya mengambil alih tanah-tanah adat
tersebut untuk berikan kepada perusahaan asing dengan mengesampingkan hak-hak
pribumi," kata Zely.
Selain itu, dia menyebut kekuatan
militer juga berpengaruh pada pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan
kebebasan pers di Papua.
"Yang menjadi kendala dan
masalah yaitu ketika wartawan lokal nasional maupun asing yang ingin meliput
terutama soal kasus-kasus di Papua, mereka sangat susah karena sistem Indonesia
saat ini sudah menutupi ruang gerak masyarakat yang mendiami di wilayah Papua,
akibatnya wartawan yang liput hanya menurut kehendak TNI dan Polri saja,"
ungkap Zely.
Perempuan berkaca mata itu
menilai, 8 film pendek produksi EngageMedia memberikan sedikitnya gambaran atas
segala permasalahan yang terjadi di tanah Papua. Masih banyak lagi masalah
serupa yang belum pernah diungkap ke permukaan.
"Mestinya film seperti ini
harus ditayangkan melalui televisi nasional agar orang Indonesia menyadari
betapa menderitanya orang Papua dalam berusaha mempertahankan hidup mereka
dengan melawan kekuatan yang besar. Mengapa, karena masalah Papua itu
kompleks," jelasnya
Pada kesempatan sama, Lena Daby,
seorang mahasiswi Papua mengkritik berbagai program Pemerintah pusat terhadap
rakyat Papua yang dinilai sedang melakukan genosida secara perlahan.
"Salah satu sistem yang
membunuh dan menghabiskan masyarakat asli Papua yang rambut keriting dan kulit
hitam adalah melalui Keluarga Berencana (KB), karena kami masyarakat Papua
sudah korban melalui HAM yang dilakukan oleh negara Indonesia melalui sistem militerisme,"
ujarnya.
Lanjut Lena, "Karena itu,
sekarang, biarkan mama-mama Papua melahirkan anaknya semampu mungkin, sehingga
bisa mempertahankan generasi kami yang berambut kering dan berkulit hitam di
atas tanah kami sendiri."
Acara ditutup dengan penampilan
lagu dari group band Ilalang Zaman dengan 3 lagu mereka. Salah satunya, lagu
"Jangan Diam Papua" di mana pada lagu itu berkolaborasi dengan dua
mahasiswa Papua yakni Mateus Ch. Auwe dan Yolanda Tatogo. (Andreas M. Yeimo)
Berita ini sudah perna
dimuat pada media:
http://majalahselangkah.com/content/zely-ariane-negara-hadir-di-papua-hanya-dalam-bentuk-militer.
http://pelitapapua.blogspot.co.id/2015/01/zely-ariane-negara-hadir-di-papua-hanya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar