Jurnalis TV Perancis "France 24" Cyril Payen tidak mendapatkan visa untuk masuk ke Papua (foto: dok). |
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyesalkan dan mengutuk sikap pemerintah yang menolak memberikan visa kepada jurnalis TV France 24 untuk melakukan peliputan di Papua.
JAKARTA —
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI), Suwarjono mengatakan kepada VOA Kamis (14/1), penolakan pemerintah memberikan visa kepada jurnalis TV France 24 untuk melakukan peliputan di Papua sungguh mencederai janji Presiden joko Widodo yang pada 10 Mei tahun lalu menyatakan akan membuka akses seluas-luasnya kepada jurnalis asing yang ingin meliput ke Papua.
Jurnalis TV France 24 Cyril Payen yang berbasis di Bangkok, tidak mendapatkan visa untuk masuk ke Papua setelah film dokumenternya yang berjudul The Forgotten War in Papua ditayangkan pada 18 Oktober 2015. Film ini berkisah soal dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan soal korban konflik selama 25 tahun terakhir di Papua.
Apabila pemerintah keberatan dengan film dokumenter yang dibuat oleh Payen, maka yang perlu dilakukan, kata Suwarjono, bukan dengan menolak visanya tetapi dengan memberikan fakta-fakta yang terjadi di wilayah yang paling timur Indonesia itu.
"Saya kira jawabannya tidak dengan cara memblack list, menolak visa, justru seharusnya menyediakan, memberikan fakta-fakta yang terjadi di Papua. Ini loh yang sebenarnya terjadi, ada sisi keburukan tapi ada keberhasilan, tolong berimbang," ujar Suwarjono.
Kasus yang terjadi dengan Payen ini, tambah Suwarjono, sangat mencederai kebebasan pers yang sudah dibangun cukup lama. Yang terjadi, tambahnya, justru semakin memperburuk kebebasan pers di Indonesia.
Sekarang ini peringkat Indonesia di mata Reporters Sans Frontieres (RSF), organisasi pemeringkat kebebasan pers dan berekspresi masuk kategori yang kurang baik. Kebebasan pers Indonesia menurut organisasi itu berada pada peringkat 138 dari 188 negara. Hal ini di antaranya disebabkan masih tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis. Kondisi tersebut lanjutnya semakin diperparah dengan tidak diberikannya visa bagi wartawan asal Perancis itu.
Kasus Payen ini menurut Suwarjono membuktikan bahwa kebebasan pers di Indonesia masih memprihatinkan. Pelarangan jurnalis ini tambah Suwarjono bisa berakibat buruk terhadap persepsi Indonesia di dunia internasional.
"Nah ini semakin buruk dengan adanya kasus ini, apalagi sebelumnya ada kasus dua wartawan di Batam, ditangkap dan dipenjara kemudian ditambah lagi dengan kasus Papua yang menjadi sorotan dunia. Artinya, membuktikan kebebasan di Indonesia itu masih dalam ancaman," tambahnya.
Sementara, juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir membantah adanya larangan bagi wartawan asing masuk ke Papua. Dia mengakui memang wartawan TV France 24 , Cyril Payen tidak diberi visa oleh pemerintah Indonesia karena telah menyalahi izin yang diberikan pemerintah Indonesia untuk peliputan di Papua sebelumnya.
Pemerintah Indonesia, kata Arrmanatha berhak menentukan warga asing yang boleh masuk atau tidak ke Indonesia.
"Memperbolehkan seorang warga negara asing masuk ke wilayah negara yang berdaulat itu hak negara yang berdaulat tersebut. Tahun lalu (2015), wartawan ini berada di Indonesia, diizinkan masuk. Informasi awal yang saya tahu aplikasinya tidak sesuai dengan apa yang dilakukan di sini. Jadi sudah menyalahgunakan izin masuknya, aplikasinya," jelas Arrmanatha.
Arrmanatha menegaskan, tidak diberikannya visa kepada jurnalis Perancis itu untuk meliput di Papua bukan mengindikasikan pemerintah plin-plan atas komitmen yang pernah diungkapkan Presiden Jokowi. Ini lanjutnya merupakan hak pemerintah Indonesia untuk membolehkan atau tidak mengizinkan warga negara asing masuk ke Indonesia. [fw/dshttp://m.voaindonesia.com/a/tolak-beri-visa-jurnalis-ke-papua-pemerintah-dikecam-/3147039.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar