Semakin melelahkan lagi, kalau menerima komentar dari sahabat FB yang "asbun". Tulisan yang disusun dengan menggunakan energi dan penuh kehati-hatian dengan gampangnya "dibantai" oleh komentar singkat yang entah apa maksudnya. Atau komentar panjang yang keluar dari konteks.
Pada saat menghadapi suasana seperti itu, terkadang muncul keinginan agar, tulisan-tulisan itu tidak diposting di FB untuk publik. Biar saja dikumpulkan dulu sebanyak puluhan atau ratusan judul, baru kemudian diterbitkan dalam sebuah buku.
Selain letih dan jenuh, juga ada perasaan galau. Jangan-jangan ada anggapan, produktifitas menulis dan agresif, sebetulnya karena sedang memaksakan sebuah kehendak.
Saya sadar betul, bahwa hampir semua tulisan saya bermuatan kritik. Dan pihak yang dikritik rata-rata elit yang sedang berada di puncak kekuasaan atau mereka yang sedang mengincer posisi.
Padahal semua topik yang ditulis, muncul mengalir secara spontan saja. Bukan karena ada agenda. Menulis, dimaksudkan untuk terus melatih otak agar tetap "berolahraga".
Menulis untuk mencegah kepikunan. Sebab menurut saran dokter, jangan pernah menghentikan sebuah kegiatan rutin (menulis) secara mendadak.
Galau karena ada sahabat putera Betawi memberi nasehat : ".....saleh-saleh maksud kite baek, malah dibilang songong loe...."
Masih tentang kegalauan. Ada juga kekhawatiran lain - apapun yang disampaikan dengan maksud baik, belum tentu diterima dengan baik.
Teringat pada ucapan seorang sahabat, bahwa dalam budaya para elit pejabat kita, masih ada sikap yang tidak siap menerima sebuah masukan. Sementara kalau ditelaah, tulisan atau Catatan Tengah saya, tidak jarang mengandung materi yang bisa bersifat masukan.
Ada pejabat, elit yang alergi terhadap yang berbau masukan.
Seolah-olah kalau sudah menjadi pejabat tinggi pemerintah, sudah serba tahu. Pejabat seperti ini kadang lupa, dia menduduki posisi penting seperti di dalam pemerintahan, bukan karena kepakaran dan kapabilitasnya. Melainkan karena "political appointee". Diangkat berdasarkan pertimbangan politik.
Tapi keinginan berhenti menulis itu akhirnya batal. Tergantikan oleh sebuah semangat baru. Semangat yang sebetulnya bercampur kekhawatiran.
Pasalnya, topik tulisan tentang Papua, terus menuai sambutan yang dari waktu ke waktu terus meningkat.
Seakan gayung bersambut, ketika kantor berita nasional "Antara" hari ini mewartakan bahwa Rabu 20 Janauri 2016, Duta Besar Inggeris untuk Indonesia, Moazzam Malik, juga sedang berada di Jayapura, Papua.
Saya hampir tidak percaya - dua Duta Besar dari negara Barat, secara kebetulan berada di Papua? Benarkah ini suatu kebetulan?
Kantor berita nasional itu antara lain menulis: ".......Setelah Duta Besar Amerika....kini giliran Dubes Inggeris untuk Indonesia, kini menemui para pejabat daerah...".
Saya perhatikan kutipan pernyataan Dubes Inggeris. Juga pernyataan Dubes AS, tentang mengapa mereka mengunjungi Papua. Tidak sama, tetapi seperti ada keterkaitan. Spontan tetapi terkesan klise.
Saya coba cari di laman lainnya, apakah "Antara" sebagai kantor berita pemerintah RI, membuat ulasan atau tidak atas keberadaan dua diplomat tersebut di Papua. Karena naluri jurnalistik saya, mengatakan, apapun yang dilakukan oleh Duta Besar negara sahabat di Papua, untuk saat ini - tidak bisa dilihat hanya sebuah perjalanan biasa.
Mereka pasti punya alasan kuat sehingga mereka mau berkeringat ke pulau yang penerbangannya dari Jakarta, lebih dari lima jam.
Perjalanan ke Papua, bagi seorang diplomat dari negara maju, tidak memberi kenyamanan. "Comfort zone"-nya pasti hilang. Jadi kenyamanan itu tidak bisa digantikan oleh sebuah perjalanan biasa.
Kantor berita pemerintah yang didanai dana APBN dari Sekretariat Negara tersebut, ternyata tidak membuat ulasan sama sekali.
Bahkan laporan "Antara" itu ada cacatnya. Sebab disebutkan, setelah Dubes AS, kini datang Dubes Inggeris. Padahal saat Dubes Inggeris berada di Papua, di saat yang sama juga Dubes AS masih berada disana.
Sesuai laporan, Dubes AS berada di Papua selama satu minggu 16 - 23 Januari 2016.
Oleh sebab itu keberadaan dua diplomat Barat itu secara bersamaan, justru memancing pertanyaan dan menarik perhatian. Terutama karena isu Papua saat ini sedang "on fire".
Nah semangat untuk ingin tahu yang muncul adalah apakah keberadaan kedua diplomat tersebut di Papua hanya sebuah kebetulan saja atau bagaimana?
Teringat pada penggemblengan senior saya di "Sinar Harapan", Sabam Siagian. Pak Sabam bagi saya merupakan mentor wartawan yang tak ada duanya. Sebab selain dia mengajarkan soal kepekaan dalam melihat sebuah perkembangan. bagi bekas Dubes RI untuk Australia itu, "rumput bergoyang" pun bisa jadi berita atau tulisan.
Tulislah apa yang kamu rasakan patut ditulis. Jangan biarkan ide atau pemikiran yang ada di kepala kamu, tidak disalurkan atau dikeluarkan. Begitu kurang lebih saran mantan Pemred "The Jakarta Post" memberi nasehat.
Apa yang dinasehatkan Pak Sabam Siagian (kini 82 tahun), saya kombinasikan dengan ceritera Taufiq Kiemas (almarhum). Politisi PDIP ini juga saya anggap seorang mentor politik yang tak tergantikan bagi wartawan yang menyenangi dunia politik.
Tapi kombinasi ceritera ini, tidak bisa saya susun seperti sebuah ulasan ataupun analisa. Melainkan hanya bisa dengan gaya dan cara bertutur.
Taufiq Kiemas pernah bercerita tentang peristiwa yang terjadi di tahun 1998.
Saat itu posisi Megawati Soekarnoputri, isterinya, sebagai Ketua Umum PDI (belum ada kata Perjuangan), tidak diakui oleh pemerintahan rezim Soeharto.
Dan sudah menjadi rahasia di kalangan politikus maupun korps diplomatik, dengan posisi itu, semua Dubes negara sahabat berada di Jakarta, selalu menghindari pertemuan dengan Megawati.
Tapi tiba-tiba keadaannya berubah. Dia mendapat telepon dari staf Kedubes Amerika Serikat. Isinya meminta izin agar Duta Besar AS bisa berkunjung ke kediaman pribadi keluarga Taufiq - Mega.
Bagi TK, demikian dia akrab dipanggil, permintaan itu mengejutkan tapi juga menyenangkan sekaligus membingungkan.
TK bingung, sebab lokasi rumah mereka di Kebagusan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, berada di lokasi yang tersembunyi. Tidak mudah memandu Dubes ke rumah itu.
Selain itu, akses jalan ke rumahnya cukup merepotkan. Selain jalanannya sempit dan berkelok-kelok, penduduk sekitar yang rumah mereka dilalui, belum tentu mau membantu. Sebab mereka takut dituding oleh rezim Soeharto membantu politisi yang beroposisi dengan pemerintah.
Pertemuan pertama dengan Dubes AS akhirnya terjadi dan setelah itu disusul permintaan dari Dubes Inggeris. Sampai akhirnya semua Dubes yang berasal dari Kelompok G-7, melakukan pertemuan dengan Megawati.
Seusai Dubes dari negara-negara G-7 (Amerika, Kanada, Jepang, Itali, Prancis, Jerman dan Inggeris), diikuti oleh diplomat dari negara-negara lain seperti Australia dan ASEAN.
Timbul rasa percaya diri dari TK maupun Mega. Setelah Soeharto lengser Mei 1998, BJ Habibie naik menjadi Presiden.
Habibie pun mempersiapkan Pemilu Reformasi yang digelar Juni 1999. Hasil Pemilu itu menunjukan, PDIP pimpinan Megawati meraih suara terbanyak.
Pemilu Reformasi itu dianggap cukup sukses. Walaupun diselenggarakan dalam suasana politik yang relatif belum stabil, tapi tidak terjadi kerusuhan ataupun anarki. Trauma kerusuhan Mei 1998, tidak terjadi. Pemilu Indonesia mendapat pujian dari hampir semua pengamat internasional.
Menurut Taufiq, salah satu kunci keberhasilannya karena Pemilu itu dipantau oleh semua negara demokrasi, negara Barat dan Jimmy Carter.
Carter, mantan Presiden AS itu hadir langsung di Indonesia. Ia membuka "Carter Center" di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, untuk memantau sekaligus mengawasi semua proses Pemilu. Dari pencoblosan hingga perhitungan suara.
Cater sendiri membawa personalia lengkapnya dari Amerika.
Dalam Pemilu Presiden Oktober 1999 yang ketika itu masih dilakukan oleh MPR-RI, melalui Sidang Istimewa, Megawati gagal menjadi Presiden. Dia ditelikung oleh Poros Tengah kekuatan Islam yang diinisasi Amin Rais. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang terpilih sementara Mega hanya menjadi Wapres.
Tapi tahun 2001, Megawati kembali naik menjadi Presiden, setelah Gus Dur dilengserkan oleh MPR-RI.
Ketika Pemilu 2004. Mega dikalahkan oleh SBY. Tapi menurut TK sejak 2001, baru beberapa bulan Mega menggantikan Gus Dur, AS sudah mengirimkan sinyal.
Melalui Ralph Boyce, diplomat yang sedang dipersiapkan Washington untuk menjadi Dubes untuk Indonesia, sinyal itu disampaikan.
"Maaf dalam Pemilu 2004 kami tidak akan mendukung pencalonan Ibu Mega sebagai Presiden RI", kata Boyce seperti dikutip TK.
Almarhum, menyimpulkan, Amerika dan negara sekutunya, dalam melaksanakan politik mereka di Indonesia selalu memberi sinyal, apa yang mereka maui.
Moral ceritera ini, apakah keberadaan secara bersamaan Dubes AS dan Dubes Inggeris di Papua, bisa ditafsirkan sebagai sinyal?
Bahwa dua negara itu sudah siap mendukung Papua menjadi sebuah negara merdeka....
"Time will tell", waktulah yang akan membuktikan. Mari kita tunggu. [***]
*penulis adalah jurnalis senior
http://www.rmol.co/read/2016/01/21/232821/Barat-Kirim-Sinyal-Dukung-Papua-Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar