Jayapura, Jubi – Proses hukum insiden Tolikara, 17 Juli 2015 yang kini memasuki tahapan sidang dengan terdakwa JW dan AK ditanggapi legislator Papua, Laurenzus Kadepa. Ia menilai, proses hukum dalam insiden itu diskriminasi, tak adil, dan penuh rekayasa.
Ia mengatakan, apakah JW dan AK memiliki pengalaman intelijen dan kepandaian membuat grand design sistematis merancang insiden di Tolikara, sehingga polisi menetapkan kedua pemuda bertanggungjawab dalam kejadian itu.
“Bagaimana dengan nasib 11 warga GIDI yang kena tembak dan satu meninggal dunia oleh amunisi yang diduga berasal dari senjata aparat keamanan. Ini tidak beres. Penegakkan hukum penuh rekayasa, diskriminasi dan tak adil. Saya ingin kedua pemuda GIDI yang kini jadi terdakwa segera dibebaskan,” kata Kadepa ketika menghubungi Jubi, Minggu (15/11/2015).
Menurutnya, para penegak hukum sibuk memperkarakan dua pemuda GIDI. Sangat tak masuk akal jika mereka ikut memprovokasi dan lain-lain. Padahal keduanya bukan siapa-siapa.
Katanya, selama ini Papua menjadi “surga” semua suku dan agama. Jangan samakan masalah yang mengarah ke SARA di Papua dengan wilayah lain. Daerah lain perlu belajar kerukunan umat beragam dari Papua.
Selain itu, pasca insiden, Pemerintah Kabupaten Tolikara sudah membangun kembali kios warga dan musholla yang tanpa sengaja ikut terbakar ketika kejadian. Ini sesuai permintaan berbagai pihak termasuk Pemerintah Pusat.
“Pemerintah setempat juga memberikan modal usaha kepada pemilk kios yang terbakar. Saya apresiasi langkah cepat Bupati Tolikara dan Presiden GIDI serta semua pihak terkait yang sudah mengembalikan situasi aman dan damai di Tolikara pasca insiden,” ucapnya.
Kata Kadepa, justru yang perlu dimintai pertanggungjawaban adalah oknum yang menjabat Kapolres Tolikara ketika kejadian serta beberapa Kapolres di Papua diantaranya, Kapolres Yahukimo, Kapolres Mimika, Kapolres Dogiyai dan Kapolres Paniai atas berbagai peristiwan penembakan yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil di wilayah hukum mereka.
“Ini demi penegakan hukum. Kapolda Papua harus bijaksana tanpa pandang bulu, meski itu menyangkut oknum atau institusi yang dipimpinnya,” katanya.
Tim kuasa hukum dua terdawak insiden Tolikara juga menilai proses hukum kasus itu terkesan dipaksakan, karena pihak yang memiliki persoalan yakni GIDI dan muslim di Tolikara telah berdamai tapi mengapa sidang diteruskan.
Ketua Tim kuasa hukum terdakwa, Gustaf Kawer mengatakan tujuan daripada hukum untuk memberikan keadilan semua pihak. Dalam kasus itu, menurutnya keadilan sebenarnya telah dicapai masing-masing pihak melalui beberapa langkah yang telah disepakati bersama. Tetapi, berlanjutnya proses hukum terhadap kedua kliennya itu dinilainya bukan langkah yang bijak, justeru hanya menanamkan benih persoalan baru.
“Saya kira semua ini dipaksakan. Sebenarnya kalau langkah yang arif sekali itu sudah (dilakukan) tanggal 29 Juli, sudah ada perdamaian antar pimpinan dari GIDI dan muslim di Tolikara, salah satu butirnya termasuk proses hukum dihentikan,” kata Gustaf kepada Jubi di pengadilan negeri Jayapura, Selasa (10/11/2015). (Arjuna Pademme)
Sumber : http://tabloidjubi.com/2015/11/16/penegakan-hukum-insiden-tolikara-dinilai-diskriminasi-dan-rekayasa/