Oleh Gustaf Kawer, SH
Komentar Kasdam XVII/Brigjen TNI Herman Asaribab dalam harian Cenderawasih Pos, tertanggal 12 November 2015, yang menyatakan “kasus tewasnya Theys Hiyo Eluay telah selesai, dengan berbagai proses yang dilakukan oleh Pengadilan Militer, para pelaku telah diproses hukum sesuai hukum yang berlaku”, perlu diklarifikasi karena penyelesaian kasus Pembunuhan They Hiyo Eluay dan Penghilangan Paksa Aristoteles Masoka yang terjadi pada 10 November 2001, masih dapat dilakukan dalam Yuridiksi Pengadilan HAM, termasuk kasus-kasus pelanggaran Ham masa lalu lainnya yang terjadi di Papua, misalnya : Biak Berdarah, Pelanggaran Ham Abepura, Wasior, Wamena dan yang terkini kasus Pelanggaran Ham di Paniai.
Penyelesaian kasus ini dalam yuridiksi Pengadilan Militer dengan Terdakwa dari Oknum Anggota Kapassus I Letnan Kolonel Inf. Hartomo, Terdakwa II Kapten Inf. Rionardo, Terdakwa III Sertu Asrial, Terdakwa IV Praka Achmad Zulfahmi dan Terdakwa dalam berkas lain atas nama Terdakwa I Mayor Inf.Donni Hutabarat, Terdakwa II Lettu Inf. Agus Soeprianto, Terdakwa Sertu Lorensius Li tidak memberi rasa keadilan bagi korban, keluarga korban dan masyarakat Papua pada umumnya, karena kasus ini merupakan “Design Negara” yang tentunya pelakunya tidak sebatas penanggung jawab dilapangan dan pelaksana eksekusi dilapangan, tetapi melibatkan atasan atau yang memberi komando di level pusat hingga penguasa di Republik ini yang memerintah saat itu.
Pengungkapan kasus ini seharusnya merupakan yuridiksi Pengadilan Ham bukan Pengadilan Militer, selain itu proses di Pengadilan Militer sangat tertutup dan jauh dari korban, keluarga korban dan masyarakat di Papua, kita dapat melihat prosesnya yang jauh dari wilayah Papua atau tempat kejadian perkara, yakni di sidangkan di Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya, proses persidangannya tidak diketahui oleh keluarga korban dan masyarakat umumnya, selain itu putusannya sangat tidak memberi keadilan bagi korban, keluarga korban dan masyarakat di Papua.
Dalam Putusan Mahkamah Militer Tinggi Surabaya, Nomor : PUT/13-K/MMT.III/AD/IV/2003, tanggal 21 April 2003, kita dapat melihat Putusan Terhadap Para Terdakwa yang sangat rendah hukumannya sebagai berikut : Terdakwa I Letnan Kolonel Inf. Hartomo, di vonis Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang”, dijatuhi pidana pokok selama 3 (tiga) tahun, 6 (enam) bulan penjara, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani, pidana tambahan di pecat dari Dinas Militer; Terdakwa II Kapten Inf. Rionardo, di vonis Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang”, dijatuhi pidana pokok selama 3 (tiga) tahun penjara, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani; Terdakwa III Sertu Asrial, , di vonis Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang”, dijatuhi pidana pokok selama 3 (tiga) tahun penjara, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani; Terdakwa IV Praka Achmad Zulfahmi, di vonis Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang”, dijatuhi pidana pokok selama 3 (tiga) tahun penjara, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani, pidana tambahan di pecat dari Dinas Militer.
Terhadap Putusan tersebut, Terdakwa Letnan Kolonel Inf. Hartomo, dkk menyatakan banding ke Mahkamah Militer Agung, dan dalam putusan banding hukumannya lebih ringan dan pidana tambahan berupa Pemecatan dari Kedinasan Militer terhadap Letnan Kolonel Inf. Hartomo dan Praka Achmad Zulfahmi dihapus, hal ini dapat dilihat pada Putusan Banding, Nomor : PUT/06/MMA/BDG/X/2003, 27 Oktober 2003, yakni mengubah putusan tingkat pertama, dengan vonis terhadap : Terdakwa I Letnan Kolonel Inf. Hartomo, : Pidana Penjara 2 (dua) tahun, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani; Terdakwa II Kapten Inf. Rionardo : Pidana Penjara selama 1 (satu) tahun dan 10 (Sepuluh) Bulan, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani; Terdakwa III Sertu Asrial : Pidana Penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (Delapan) Bulan, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani; Terdakwa IV Praka Achmad Zulfahmi : Pidana Penjara selama 2 (dua) tahun, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani.
Para Terdakwa lain dalam Putusan Mahkamah Militer Tinggi Surabaya, Nomor : PUT/13-K/MMT.III/AD/IV/2003, tanggal 21 April 2003, juga mendapat putusan yang sangat rendah hukumannya yakni sebagai berikut : Terdakwa I Mayor Inf.Donni Hutabarat di vonis Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang”, dijatuhi pidana pokok selama 3 (tiga) tahun, 6 (enam) bulan penjara, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani, pidana tambahan di pecat dari Dinas Militer; Terdakwa II Lettu Inf. Agus Soeprianto, di vonis Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang”, dijatuhi pidana pokok selama 3 (tiga) tahun, 6 (enam) bulan penjara, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani, pidana tambahan di pecat dari Dinas Militer;
Terdakwa III Sertu Lorensius Li, di vonis Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang”, dijatuhi pidana pokok selama 2 (dua) tahun dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani.
Terhadap putusan ini, Terdakwa Mayor Inf. Donni Hutabarat, dkk menyatakan banding ke Mahkamah Militer Agung, dan dalam putusan banding hukumannya lebih ringan dan pidana tambahan berupa Pemecatan dari Kedinasan Militer terhadap Mayor Inf. Donni Hutabarat dan Lettu Inf Agus Soeprianto dihapus, hal ini dapat dilihat pada Putusan Banding, Nomor : PUT/07/MMA/BDG/X/2003, tanggal 27 Oktober 2003, yakni mengubah putusan tingkat pertama, dengan vonis terhadap : Terdakwa I Mayor Inf.Donni Hutabarat, Pidana Penjara 2 (dua) tahun, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani; Terdakwa IILettu Inf. Agus Soeprianto, Pidana Penjara 2 (dua) tahun, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani; Terdakwa III Sertu Lorensius Li, Pidana Penjara 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani.
Para Terdakwa kini telah bebas dan kembali ke kesatuannya masing-masing, bahkan ada yang kini menduduki jabatan yang penting di Republik ini, misalnya Letnan Kolonel Inf. Hartomo, kini menjabat sebagai Komandan Pusat Pendidikan Infanteri, Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan, dan Latihan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Danpusdik Pussenif Kodiklat TNI AD), sejak tanggal 29 September 2015. Dalam proses hukum terhadap pembunuhan Theys Hiyo Eluay, terdapat fakta bahwa Sopirnya Aristoteles Masoka saat itu bersama-sama dengan They H.Eluay, namun hingga saat ini pengungkapan penghilangan paksa untuk mengetahui pelaku dan proses hukum terhadap pelaku tidak pernah dilakukan dan ini merupakan rentetan impunitas yang sedang dilakukan oleh Negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM Berat di Papua yang hingga kini juga tidak terungkap pelakunya, misalnya Biak Berdarah 6 Juli 1998, Kasus Pelanggaran Ham Berat Abepura, 07 Desember 2000, Kasus Pelanggaran Ham Berat Wasior 13 Juni 2001, Kasus Pelanggaran Ham Wamena, 04 April 2003 dan kasus pelanggaran Ham yang terkini terjadi dan masih segar dalam ingatan kita, Kasus Pelanggaran Ham yang menyebabkan tertembaknya 4 Pelajar di Kabupaten Paniai, 08 Desember 2014.
Dalam pertemuan-pertemuan Internasional baik dalam komunitas masyarakat sipil maupun dalam pertemuan di Dewan HAM PBB, Pemerintah Indonesia masih sering disoroti berkaitan dengan persoalan pelanggaran HAM dan Proses Hukum yang tidak adil karena memberi ruang bagi impunitas pelaku, seharusnya di era kepemimpinan RI Jokowi, pemerintah perlu serius menyelesaikan persoalan-persoalan HAM masa lalu, termasuk kasus Pembunuhan Theys Hiyo Eluay dan Penghilangan Paksa Aristoteles Masoka, ketidakmauan dan ketimampuan Negara menyelesaikan persoalan masa lalu telah menempatkan Negara ini sebagai “Negara pelaku pelanggaran HAM dan Negara yang sedang memelihara pelaku pelanggaran HAM”. (*)
Penulis adalah Praktisi Hukum di Papua