Jayapura, Jubi – Juru Bicara (Jubir) suku besar Yerisiam Gua Nabire, Papua, Gunawan Inggeruhi mengatakan, pada 26 Oktober 2015 pihaknya memasang papan larangan beroperasi di tanah ulayatnya. Namun, papan tersebut dicabut oleh oknum aparat Satuan Brigadir Mobil Kepolisian Daerah (Satbrimob Polda) Papua yang bertugas di area kebun Kepala Sawit PT. Nabire Baru pada 27 Oktober 2015.
“Sungguh, terus terang saja, kami merasa tanah adat kami sudah bukan lagi milik kami. Kasus Salim Kancil aktivis lingkungan di Lumanjang yang tewas akibat perjuangannya melawan investasi tambang pasir, kini menjadi ketakutan kami masyarakat adat suku Yerisiam Gua,” papar Gunawan Inggeruhi kepada Jubi, Senin (16/11/2015) melalui sambungan telepon dari Nabire.
Menurut Gunawan, larangan saja dicabut seenaknya. Untuk itu, pihaknya meminta penjelasan dari Polda Papua tentang tugas PAM Swakarsa di area kelapa sawit tersebut.
“Jujur kami takut dipukul, bahkan ditembak. Kami sampaikan hal ini sebelum terjadi. Sehingga, misalnya ketika terjadi jangan ada pahlawan kesiangan dan ibarat pura-pura tidak tahu,” ujarnya.
Kepala Suku Yerisiam Gua, Daniel Yarawobi mengatakan, diirnya siap mati demi tanah adat miliknya yang diwarisi leluhurnya itu, sebab tanah adatnya bukan untuk investasi yang merugikan sukunya bahkan semua warga di tanah Papua.
“Saya siap mati demi tanah adat kami. Sebagian orang tua kami sudah mati. Sehingga, saya sebagai kepala suku yang menggantikan mendiang SP Hanebora siap menjaga tanah adat kami. Kelapa Sawit Harus Tutup,” terang Daniel Yarawobi .
Lanjut Daniel, pihaknya mengalami hal seperti kasus Salim Kancil, maka konflik tidak akan terhindarkan. “Sehingga saya minta kepada pak Gubernur Papua agar perusahan ini ditutup saja sehingga kami masyarakat adat kembali hidup seperti dahulu,” ujar Yarawobi.
Selain itu, Kepala Sub Suku Waoha Imanuel Money menambahkan, sebagai penanggung jawab marga Hanebora, Money, Inggeruhi dan Refasi yang kini melakukan protes melalui gugatan di kantor PTUN Jayapura, memohon perlindungan dari lembaga kemanusian terhadap keluarga mereka.
“Juga kami meminta kepada Gubernur dan DPRP untuk membentuk tim untuk turun ke lokasi perkebunan untuk melihat secara langsung lokasi perkebunan, karena ada indikasi IUP Gubernur yang diperuntukan untuk 17000 Ha hanya di atas kertas. Namun, fakta di lapangan penebangan sudah mencapai kurang lebih empat puluhan ribu hektar (±40.000 Ha),” jelas Imanuel Money.
Oleh karena itu, ujar Money, perlu juga diketahui oleh Pemerintah Provinsi Papua, bahwa perusahan ini sedang melakukan pelecehan terhadap konstitusi Negara Indonsia dan indiksi PT. NB belum melunasi pajak Negara.
“Dan pandangan awam kami, negara sedang rugi, namun Pemerintah Kabupaten Nabire hanya diam dan tidak bersuara,” pungkasnya. (Abeth You)