Pages

Pages

Jumat, 23 Oktober 2015

Victor Yeimo: Freeport Harus Ditutup, Tidak Ada Kontrak Karya Baru!

Victor F. Yeimo, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (Foto: Ist).
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com --- Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor F. Yeimo, menegaskan, KNPB bersama massa rakyat West Papua akan menutup operasi pertambangan PT. Freeport Indonesia di Timika, Papua.

“Bagi KNPB tidak ada yang namanya kontrak karya baru lagi, kami akan mengkoordinir rakyat West Papua untuk turun jalan menutup operasi pertambangan PT. Freeport Indonesia,” tegas Yeimo, kepada suarapapua.com, Kamis (22/10/2015).

Yeimo mendesak pemerintah Indonesia bersama Amerika Serikat untuk menghentikan konspirasi ekonomi politik untuk melakukan penjajahan terhadap rakyat West Papua.

“Kapitalisme global dan kolonialisme adalah musuh utama rakyat West Papua, karena itu kami akan terus melakukan perlawanan, terutama menghentikan aktivitas pertambangan Freeport Indonesia.”

“Dalam waktu dekat KNPB akan mengkoordinir massa rakyat untuk turun jalan meminta hentikan kontrak karya baru bagi PT. Freeport Indonesia, termasuk menutup perusahaan tambang raksasa ini,” tegas Yeimo.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli memaparkan berbagai pelanggaran yang dilakukan PT Freeport Indonesia sejak menambang di Papua.

Dia menyebut, Freeport telah mengingkari pemerintah, mulai dari aspek royalti sampai kerusakan lingkungan.

Pertama, ihwal pembayaran terhadap hasil penjualan hasil tambang Freeport kepada pemerintah atau biasa disebut royalty, Rizal menegaskan bahwa seharusnya persentase royalti itu lebih dari 5 Persen.

“Selama dari 1967-2014, (Freeport) hanya membayar royalti 1 persen, padahal negara lain bayar kewajiban 6-7 persen royaltinya. Memang sebelum pemerintahan SBY berakhir mereka setuju menaikkan 3,5 persen royalti, tapi itu belum cukup. Menurut kami, Freeport harus bayar 6-7 persen royalti,” papar Rizal, di gedung KPK, Jakarta, Senin (12/10/2015), seperti dilansir actual.com.

Rizal menduga ada perbuatan melanggar hukum yang dilakukan pihak pemerintah, hingga berpuluh-puluh tahun royalti yang diberikan Freeport hanya sebesar 1 persen.

“Kenapa bisa segitu lamanya? dari 67-2014, hanya bayar 1 persen? Mohon maaf, terjadi KKN pada saat perpanjangan kontrak tahun 80an. Kami tidak mau ini terulang lagi,” sesal Rizal.

Kedua, sambung dia, Freeport juga dianggap tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan di tempatnya menambang, khususnya di sungai Amungme. Padahal seharusnya, limbah yang sangat berbahaya itu menjadi tanggung jawab mereka.

“Yang kedua, limbah beracun yang membahayakan rakyat di sekitar sungai Amungme di Papua itu tidak diproses. Freeport terlalu ‘greedy’, terlalu untung besar besaran. Padahal ada tambang lain di Sulawesi yang memproses limbahnya sehingga tidak membahayakan lingungan,” jelasnya.

Selanjutnya, Rizal juga menyebut Freeport telah melanggar kontrak dengan pemerintah sehubungan dengan divestasi. Dalam kontraknya, Freeport diharuskan menjual sebagian sahamnya kepada pemilik sumber daya alam, dalam hal ini pemerintah Indonesia.

“Yang ketiga, Freeport selalu mencla-mencle soal divestasi. Padahal ada kewajiban pemegang kontrak karya harus punya program divestasi. Artinya, menjual sahamnya kepada pemerintah Indonesia atau anak perusahaan di Indonesia,” pungkasnya.

OKTOVIANUS POGAU

http://suarapapua.com//read/2015/10/22/2904/victor-yeimo-freeport-harus-ditutup-tidak-ada-kontrak-karya-baru