Victor F. Yeimo, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (Foto: Ist). |
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com --- Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB),
Victor F. Yeimo, menegaskan, KNPB bersama massa rakyat West Papua akan
menutup operasi pertambangan PT. Freeport Indonesia di Timika, Papua.
“Bagi KNPB tidak ada yang namanya kontrak karya baru lagi, kami akan
mengkoordinir rakyat West Papua untuk turun jalan menutup operasi
pertambangan PT. Freeport Indonesia,” tegas Yeimo, kepada
suarapapua.com, Kamis (22/10/2015).
Yeimo mendesak pemerintah Indonesia bersama Amerika Serikat untuk
menghentikan konspirasi ekonomi politik untuk melakukan penjajahan
terhadap rakyat West Papua.
“Kapitalisme global dan kolonialisme adalah musuh utama rakyat West
Papua, karena itu kami akan terus melakukan perlawanan, terutama
menghentikan aktivitas pertambangan Freeport Indonesia.”
“Dalam waktu dekat KNPB akan mengkoordinir massa rakyat untuk turun
jalan meminta hentikan kontrak karya baru bagi PT. Freeport Indonesia,
termasuk menutup perusahaan tambang raksasa ini,” tegas Yeimo.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, Rizal
Ramli memaparkan berbagai pelanggaran yang dilakukan PT Freeport
Indonesia sejak menambang di Papua.
Dia menyebut, Freeport telah mengingkari pemerintah, mulai dari aspek royalti sampai kerusakan lingkungan.
Pertama, ihwal pembayaran terhadap hasil penjualan hasil tambang
Freeport kepada pemerintah atau biasa disebut royalty, Rizal menegaskan
bahwa seharusnya persentase royalti itu lebih dari 5 Persen.
“Selama dari 1967-2014, (Freeport) hanya membayar royalti 1 persen, padahal negara lain bayar kewajiban 6-7 persen royaltinya. Memang sebelum pemerintahan SBY berakhir mereka setuju menaikkan 3,5 persen royalti, tapi itu belum cukup. Menurut kami, Freeport harus bayar 6-7 persen royalti,” papar Rizal, di gedung KPK, Jakarta, Senin (12/10/2015), seperti dilansir actual.com.
Rizal menduga ada perbuatan melanggar hukum yang dilakukan pihak
pemerintah, hingga berpuluh-puluh tahun royalti yang diberikan Freeport
hanya sebesar 1 persen.
“Kenapa bisa segitu lamanya? dari 67-2014, hanya bayar 1 persen?
Mohon maaf, terjadi KKN pada saat perpanjangan kontrak tahun 80an. Kami
tidak mau ini terulang lagi,” sesal Rizal.
Kedua, sambung dia, Freeport juga dianggap tidak bertanggung jawab
terhadap kerusakan lingkungan di tempatnya menambang, khususnya di
sungai Amungme. Padahal seharusnya, limbah yang sangat berbahaya itu
menjadi tanggung jawab mereka.
“Yang kedua, limbah beracun yang membahayakan rakyat di sekitar
sungai Amungme di Papua itu tidak diproses. Freeport terlalu ‘greedy’,
terlalu untung besar besaran. Padahal ada tambang lain di Sulawesi yang
memproses limbahnya sehingga tidak membahayakan lingungan,” jelasnya.
Selanjutnya, Rizal juga menyebut Freeport telah melanggar kontrak
dengan pemerintah sehubungan dengan divestasi. Dalam kontraknya,
Freeport diharuskan menjual sebagian sahamnya kepada pemilik sumber daya
alam, dalam hal ini pemerintah Indonesia.
“Yang ketiga, Freeport selalu mencla-mencle soal divestasi. Padahal
ada kewajiban pemegang kontrak karya harus punya program divestasi.
Artinya, menjual sahamnya kepada pemerintah Indonesia atau anak
perusahaan di Indonesia,” pungkasnya.
OKTOVIANUS POGAU
http://suarapapua.com//read/2015/10/22/2904/victor-yeimo-freeport-harus-ditutup-tidak-ada-kontrak-karya-baru