Ketua AMPTPI wilayah Indonesia Timur, Natan Naftali Tebai, Senin (19/10) - Jubi/Abeth You |
Jayapura, Jubi – Pemusnahan etnis terhadap Bangsa Papua sedang
terjadi secara perlahan-lahan di kehidupan orang asli Papua. Pemusnahan
itu bukan hanya dilihat berkurangnya jumlah manusia, antara kelahiraan
dan kematiaan. Tetapi paling penting adalah hilangnya nilai nilai
budaya, pola-pola pergantian tempat daerah asal usul (tanah keramat),
ada pelarangan menggunakan bahasa daerah di sekolah-sekolah perkotaan,
hilangnya pendidikan muatan lokal di sekolah.
Hal itu disampaikan Ketua Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua
se Indonesia (AMPTPI) wilayah Indonesia Timur, Natan Naftali Tebai.
Menurutnya, yang paling serius adalah hilangnya hak milik ke pemilihan
tanah, air dan nilai-nilai kehidupan.
“Proses alih fungsi lahan, seperti dusun sagu ditebang dan diganti
tanaman kelapa sawit. Proses peralihan ini termasuk proses pemusnaan
nilai dan tumbuhan warisan di tanah Papua,” ujar Ketua, Tebai di
Jayapura, Senin (19/10/2015).
Menurutnya, dahulu orang tahu Papua lumbung sagu kini orang kenal
lumbung sawit. Pemerintah mesti anggarkan dana untuk adakan sensus
penduduk Papua. Selama ini jumlah penduduk masih dipolitisir oleh
elite-elite birokrasi, sehingga penduduk Papua membludak hingga 3 juta
jiwa lebih.
“Pemerintahan yang ada di Papua harus tegas dan realistis tentang
jumlah penduduk asli Papua. Seperti, DPRD, DPRP, MRP dan Pemrov Papua
jangan duduk diam dan menononton realita pemusnahan ini,” ujarnya.
Menurutnya, semestinya sudah ada langkah-langkah strategis mulai
digalakan, mulai Perdasus, membuat badan tertentu urusaan penduduk luar
hingga memberikan sanksi-sanksi tegas.
“Hal ini juga menghambat proses pembangunan. Pemerintah pusat juga
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang sifatnya tak sinergi dengan
kebijakan Gubernur dan semestinya dicermati oleh para Bupati dan Wali
kota di daerah yang tak serta merta mendukung pemerintah pusat,”
lanjutnya.
Hal ini terlihat juga banyak perusahan-perusahan kelapa sawit,
illegal logging dan fishing yang terjadi tanpa ada komunikasi dengan
Provinsi.
Pihaknya meminta Gubernur Papua segera mengeluarkan regulasi tentang
pembatasaan penduduk dan membuat satu badan khusus tentang kependudukan
Papua. Juga mengusulkan perlunya regulasi trans lokal antar daerah baik
masyarakat maupun pegawainya.
Sebelumnya, Gubernur Provinisi Papua, Lukas Enembe mangatakan,
program transmigrasi ke Papua yang diwacanakan oleh Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar disebut
membawa ancaman depopulasi terhadap Orang Asli Papua.
“Kami sudah tolak transmigrasi yang diwacanakan pemerintan pusat ini.
Kalau mau transmigrasi, ya transmigrasi lokal saja. Bukan dari Jawa
atau daerah lain di luar Papua. Memindahkan orang miskin ke Papua ini
sama dengan membawa masalah ke Tanah Papua. Bukan saja masalah ekonomi,
lapangan kerja maupun masalah sosial, tapi saya khawatir, transmigrasi
ini akan membuat Orang Asli Papua bisa hilang dari tanah Papua ini dalam
waktu 10 sampai 20 tahun ke depan, depopulasi Orang Asli Papua,” kata
Gubernur Papua, Lukas Enembe kepada Jubi, di kediaman Gubernur, di
Jayapura, Sabtu (17/10/2015) malam.
Gubernur menambahkan, sampai hari ini tidak ada satu pihakpun yang
punya data akurat tentang jumlah Orang Asli Papua di Tanah Papua. Lantas
bagaimana melindungi Orang Asli Papua jika transmigrasi terus dilakukan
tanpa satu pihakpun tahu populasi Orang Asli Papua. (Abeth You)
http://tabloidjubi.com/2015/10/19/selain-genosida-alih-fungsi-lahan-juga-pembunuh-orang-papua/