Jayapura, Jubi – Tragedi Paniai Berdarah pada 08 Desember 2014
lalu yang diduga melibatkan oknum TNI, Polri yang menewaskan lima
orang meninggal dunia di lapangan sepakbola Karel Gobai, Enarotali.
Sampai kini tetap dipertanyakan Forum Independent Mahasiswa (FIM) Papua
terhadap kinerja Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
(Komnas HAM RI) melalui kepenjangan tangannya, Tim Ad Hock.
Ketua Forum Independent Mahasiswa (FIM) Papua, Teko Kogoya kepada wartawan di Abepura, Senin (14/09) mengatakan, tim Ad Hock yang dibentuk Komnas HAM RI tidak melaksanakan sesuai mandat sidang paripurna Komas HAM RI.
”Kami mengatakan tim Ad Hock tidak melakukan sesuai amanat ketika dibentuk karena negara tidak ada dana untuk melakukan penegakan HAM di negeri ini. Komnas HAM ini lembaga terbesar dan terhormat milik negara Republik Indonesia guna mengadvokasi dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Tapi, dibilang tidak punya dana ini sangat keliru,” tegas Teko Kogoya.
Padahal, menurut Kogoya, pasca pembentukan Tim Ad Hock, negara RI mampu mengeluarkan uang Rp. 20 M dollar dan membayar kepada negara lain, yakni Fiji, Kepulauan Salomon dan PNG.
“Itu artinya, negara sengaja membungkam kasus Paniai Berdarah, dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di seluruh bumi Cenderawasih ini. Jadi, Komnas HAM juga pemerintah RI harus bedakan mana yang kasus kriminal atau kasus pelanggaran HAM,” kata Kogoya.
Dikatakan, sementara dalam proses mendorong kasus Paniai pada penegakan hukum masih saja terjadi beberapa kasus lain, yakni Yahukimo Berdarah, kasus Utikini di Timika, kasus Ugapura berdarah di Kabupaten Dogiyai dan penembakan terhadap dua warga oleh TNI di Timika.
Sekretaris FIM Papua, Melianus Diwitauw mengungkapkan, pihaknya menilai Tim Ad Hock semakin diam dalam situasi tersebut, tidak ada upaya serius huna mendorong hingga tuntas.
“Dalam kondisi ini, kami sebagai mahasiswa yang juga adalah agen perubahan pernah mengajak rakyat Papua, khususnya di Kota Jayapura untuk menyumbangkan dana demi membantu dan membiayai Tim Ad Hock melalui penggalangan dana. Namun, ketika kami sedang galang dana di beberapa tempat, yakni Putaran Taksi Perumnas III Waena, Terminal Ekspo dan Merpati Abepura, kami 14 orang mahasiswa ditangkap oleh Polisi,” tukas Duwitauw.
Melianus menjelaskan, ketiak pihaknya dianggap melakukan pemungutan dengan mengatasnamakan lembaga atau badan tertentu guna mencukupi kebutuhan. “Kami dibatasi Polisi, padahal inisiatif rakyat dan mahasiswa sangat membantu Tim Ad Hock. Jadi, sisi lain kami lakukan galang dana ini supaya pemerintah harus buka mata dan hati untuk benar-benar melihat kasus ini dengan seksama,” terangnya.
“Sampai saat ini, uang yang dikumpulkan mahasiswa sebanyak Rp. 608.000 telah diserahkan kepada perwakilan Komnas HAM RI di Provinsi Papua pada Mei 2015 lalu. Dan langsung diterima oleh Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, pak Frits Ramandey di kantornya,” katanya.
Pihaknya mempertanyakan, setelah uang Rp. 608.000 diserahkan kepada Komnas HAM perwakilan Papua, apa tindak lanjutnya?
“Ya, sejak kami serahkan uang itu hingg saat ini belum ada reaksi dari Komnas HAM RI guna menyelesaikan kasus Paniai Berdarah sampai tutas,” kata Duwitauw.
Pihaknya menyatakan, apabila negara tidak serius menyelesaikan kasus Paniai dengan beralasan tidak ada dana untuk membiayai Tim Ad Hock kasus Paniai, maka pihanya bersama rakyat mampu membiayai Tim Ad Hock untuk melakukan penegakan HAM di negeri ini. “Ya, kami akan galang dana lagi. Pasti kami akan laksanakan, sementara tunggu dulu ada reaksi atau tidak,” ucapnya.
Beberapa kasus yang terjadi seperti kasus Yahukimo, Ugapuga di Dogiyai, Karugaba di Tolikara, Utikini di Timika, pihaknya menilai hal itu bagian dari bentuk pembungkaman dan pengalihan isu terhadap kasus Paniai Berdarah.
Sebelumnya, Bupati Kabupaten Paniai, Hengki Kayame menegaskan bahwa dana untuk Komnas HAM RI melalui tim Ad Hoc untuk penuntasan kasus penembakan warga sipil di Paniai, 8 Desember 2014 adalah tanggung jawab negara. Bupati Kayame juga mengaku sudah menemui Presiden Joko Widodo untuk membicara hal tersebut.
“Tim Ad Hoc itu harus ditanggung negara. Komnas HAM itu milik negara dan itu masalahnya negara. Kami di daerah tidak punya kewenangan untuk mengeluarkan dana, juga tidak punya pos,” katanya per sambungan telepon kepada Jubi belum lama ini dari Paniai. (Abeth You)
http://tabloidjubi.com/2015/09/14/fim-komnas-ham-ri-bagaimana-kasus-paniai-berdarah/
Ketua Forum Independent Mahasiswa (FIM) Papua, Teko Kogoya kepada wartawan di Abepura, Senin (14/09) mengatakan, tim Ad Hock yang dibentuk Komnas HAM RI tidak melaksanakan sesuai mandat sidang paripurna Komas HAM RI.
”Kami mengatakan tim Ad Hock tidak melakukan sesuai amanat ketika dibentuk karena negara tidak ada dana untuk melakukan penegakan HAM di negeri ini. Komnas HAM ini lembaga terbesar dan terhormat milik negara Republik Indonesia guna mengadvokasi dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Tapi, dibilang tidak punya dana ini sangat keliru,” tegas Teko Kogoya.
Padahal, menurut Kogoya, pasca pembentukan Tim Ad Hock, negara RI mampu mengeluarkan uang Rp. 20 M dollar dan membayar kepada negara lain, yakni Fiji, Kepulauan Salomon dan PNG.
“Itu artinya, negara sengaja membungkam kasus Paniai Berdarah, dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di seluruh bumi Cenderawasih ini. Jadi, Komnas HAM juga pemerintah RI harus bedakan mana yang kasus kriminal atau kasus pelanggaran HAM,” kata Kogoya.
Dikatakan, sementara dalam proses mendorong kasus Paniai pada penegakan hukum masih saja terjadi beberapa kasus lain, yakni Yahukimo Berdarah, kasus Utikini di Timika, kasus Ugapura berdarah di Kabupaten Dogiyai dan penembakan terhadap dua warga oleh TNI di Timika.
Sekretaris FIM Papua, Melianus Diwitauw mengungkapkan, pihaknya menilai Tim Ad Hock semakin diam dalam situasi tersebut, tidak ada upaya serius huna mendorong hingga tuntas.
“Dalam kondisi ini, kami sebagai mahasiswa yang juga adalah agen perubahan pernah mengajak rakyat Papua, khususnya di Kota Jayapura untuk menyumbangkan dana demi membantu dan membiayai Tim Ad Hock melalui penggalangan dana. Namun, ketika kami sedang galang dana di beberapa tempat, yakni Putaran Taksi Perumnas III Waena, Terminal Ekspo dan Merpati Abepura, kami 14 orang mahasiswa ditangkap oleh Polisi,” tukas Duwitauw.
Melianus menjelaskan, ketiak pihaknya dianggap melakukan pemungutan dengan mengatasnamakan lembaga atau badan tertentu guna mencukupi kebutuhan. “Kami dibatasi Polisi, padahal inisiatif rakyat dan mahasiswa sangat membantu Tim Ad Hock. Jadi, sisi lain kami lakukan galang dana ini supaya pemerintah harus buka mata dan hati untuk benar-benar melihat kasus ini dengan seksama,” terangnya.
“Sampai saat ini, uang yang dikumpulkan mahasiswa sebanyak Rp. 608.000 telah diserahkan kepada perwakilan Komnas HAM RI di Provinsi Papua pada Mei 2015 lalu. Dan langsung diterima oleh Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, pak Frits Ramandey di kantornya,” katanya.
Pihaknya mempertanyakan, setelah uang Rp. 608.000 diserahkan kepada Komnas HAM perwakilan Papua, apa tindak lanjutnya?
“Ya, sejak kami serahkan uang itu hingg saat ini belum ada reaksi dari Komnas HAM RI guna menyelesaikan kasus Paniai Berdarah sampai tutas,” kata Duwitauw.
Pihaknya menyatakan, apabila negara tidak serius menyelesaikan kasus Paniai dengan beralasan tidak ada dana untuk membiayai Tim Ad Hock kasus Paniai, maka pihanya bersama rakyat mampu membiayai Tim Ad Hock untuk melakukan penegakan HAM di negeri ini. “Ya, kami akan galang dana lagi. Pasti kami akan laksanakan, sementara tunggu dulu ada reaksi atau tidak,” ucapnya.
Beberapa kasus yang terjadi seperti kasus Yahukimo, Ugapuga di Dogiyai, Karugaba di Tolikara, Utikini di Timika, pihaknya menilai hal itu bagian dari bentuk pembungkaman dan pengalihan isu terhadap kasus Paniai Berdarah.
Sebelumnya, Bupati Kabupaten Paniai, Hengki Kayame menegaskan bahwa dana untuk Komnas HAM RI melalui tim Ad Hoc untuk penuntasan kasus penembakan warga sipil di Paniai, 8 Desember 2014 adalah tanggung jawab negara. Bupati Kayame juga mengaku sudah menemui Presiden Joko Widodo untuk membicara hal tersebut.
“Tim Ad Hoc itu harus ditanggung negara. Komnas HAM itu milik negara dan itu masalahnya negara. Kami di daerah tidak punya kewenangan untuk mengeluarkan dana, juga tidak punya pos,” katanya per sambungan telepon kepada Jubi belum lama ini dari Paniai. (Abeth You)
http://tabloidjubi.com/2015/09/14/fim-komnas-ham-ri-bagaimana-kasus-paniai-berdarah/