Pdt. Dr. Phil Erari (kiri) bersama Dr. Jemima Krey. Jubi/www.refdag.nl |
Berbagai tanggapan sudah diikuti di media sosial, elektronik dan cetak, termasuk tanggapan dari Wakil Menlu RI. Perkembangan ini, tidak perlu membuat semua elemen merasa sudah “berhasil” dan bangga serta menepuk dada se-akan akan itulah hasil usaha mereka sebab tantangan akan semakin besar.
Dia mengatakan, perjuangan belum selesai, Papua akan menghadapi reaksi dari pihak pemerintah Indonesia, seperti yang terbaca dalam rilis Pendam Kodam XVII Cendrawasih, tiga hari pasca PIF, 11 September lalu. Mandat PIF kepada ULMWP untuk mendorong suatu Fact Finding Mission tentang Pelanggaran HAM di Papua, selama 53 tahun, pasti akan dipatahkan oleh pihak Indonesia. Karena Indonesia merasa tidak pernah ada pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM).
“Dalam hubungan ini, tidak ada pilihan lain, kecuali semua kelompok perjuangan Papua, masing masing dengan nama seperti WPNCL, WPNA, NFRPB, Parlemen Papua, KNPB, dll….. harus rapihkan barisan, dan satukan persepsi untuk memasuki tahapan baru,” tulis Pdt. Erari yang juga wakil ketua Majelis Dewan Pertimbangan Persatuan Gereja-gereja di Indonesia ini, seperti dikutip Jubi.
Kata dia, agenda Papua yang didorong PIF keada Komisi Dekolonisasi PBB merupakan pilihan tepat yang perlu disosialilasikan kepada seluruh masyarakat Papua, juga kepada Pihak Indonesia, bahwa isue Papua, bukan lagi urusan domestik dan internal Indonesia.
“Masalah Papua dalam perspektif HAM dunia, sudah layak menjadi mandat PBB dan ditangani oleh UNIT terkait yakni Komisi 24, tentang de-kolonisasi. Karena itu, ULMWP patut melakukan lobby tingkat tinggi untuk memperoleh legitimasi tentang Fact Finding Mission sebagai mandat PBB,” kata Erari.
Menurut Pdt. Erari, pasca PIF, seluruh komponen perjuangan Papua, hendaknya merapihkan basisan untuk menyepakati suatu Road Map baru bagi Papua. Tidak ada waktu lagi untuk saling mencurigai, atau merasa pihak lain melakukan sabotasi dan lain-lain.
“Karena pengalaman Indonesia, sudah membuktikan bahwa mereka harus meninggu 350 tahun, sebelum Merdeka, 17 Agustus 1945. Apakah Papua, harus menunggu 100 tahun lagi?” pungkasnya.
Diberitakan Jubi sebelumnya, para pemimpin Pasifik merilis Komunike Pasific Islands Forum (PIF) yang menguraikan komitmen mereka dalam 12 bulan ke depan. Komunike ini mengakomodir lima isu yang diagendakan selama pertemuan negara-negara Kepulauan Pasifik, 7-11 September di Port Moresby, Papua Nugini. Perikanan, perubahan iklim, Informasi, Teknologi dan Komunikasi (ICT) dan Papua Barat diakomodir dalam komunike tersebut.
Dalam Komunike ini para pemimpin Pasifik mengakui, selama penyelenggaraan PIF isu Papua Barat mendominasi media massa hingga opini publik di Pasifik. Tak lain karena desakan masyarakat sipil di Pasifik untuk memberikan perhatian khusus terhadap kasus Papua.
Menanggapi tingginya tuntutan masyarakat sipil ini, para pemimpin Pasific Island Forum mengatakan mereka mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua Barat yang merupakan provinsi paling timur. Namun mereka tidak bisa menutup keprihatinan terhadap dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua Barat. Perdana Menteri Papua Nugini (PNG), Peter O’Neill yang baru menjabat Ketua PIF ditugaskan oleh para pemimpin ini untuk membicarakan masalah pelanggaran HAM dan kemungkinan mengirimkan misi pencari fakta dengan pemerintah Indonesia.
“Kami harus bekerja sama dan pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu diapresiasi atas upaya yang telah dilakukan sejauh ini dalam memastikan pelaksanaan otonomi luas yang diberikan kepada Papua Barat,” jelas O’Neill, Jumat (11/9/2015) kepada wartawan. (Arnold Belau)
http://tabloidjubi.com/2015/09/15/elemen-perjuangan-rakyat-papua-satukan-persepsi-dan-rapihkan-barisan/