Ilustrasi-jubi-ist |
Jayapura, Jubi- Bagi masyarakat di pesisir terutama kawasan hutan
bakau meyakini kalaumangrove adalah hutan kaum perempuan. Soalnya
mereka mencari dan memelihara kawasan bakau agar tetap lestari.
Begitupula mama-mama di pegunungan tengah Papua menjaga keseimbangan
antara panen dan beternak babi.
Peran perempuan dalam segala bentuk aktivitas sangatlah penting
terutama dalam bidang sosial, ekonomi, dan ekologi sebagai penggerak
dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Peran perempuan dalam
kehidupan sehari-hari telah pula diperlihatkan oleh Mama-mama Papua yang
berjuang selama bertahun-tahun agar mendapat sebuah pasar permanen di
jantung Kota Jayapura.
Pada Januari 2015, seorang perempuan bernama lengkap Elisabeth Asrida
Sulastri membuat sebuah film dokumenter bertajuk Tanah Mama. Film ini
lahir dari bagaimana perempuan kelahiran 18 November 1987 itu sering dan
serius mendengar cerita keluh kesah masyarakat dari kampung ke kampung
di Kota Wamena.
Berdasarkan cerita itu pula, Elisabeth mulai melihat ada perbedaan
antara kaum laki-laki dan perempuan di Pegunungan Tengah Papua. Ia
menuturkan kalau laki-laki cenderung cerita yang besar-besar, politik,
pemerintahan dan pemekaran. Berbeda dengan kaum perempuan kata Elisabeth
sebagaimana dikutip Jubi dari Muvila.com bahwa perempuan di sana selalu
bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Bagaimana anak-anak mereka
makan, bagaimana sayuran mereka bisa laku di pasar. Itulah kisah-kisah
yang dituturkan kaum perempuan di Kota Wamena tentang kehidupan yang
sangat-sangat sederhana dan kehidupan sehari-hari mereka.
Dari situlah, Elisabeth bertemu dengan Mama Halosina dalam tokoh
utama dalam film dokumenternya berjudul Tanah Mama. Mama Halosina
profesinya sebagai dukun beranak dan paling vokal sehingga Elisabeth
memilihnya sebagai tokoh dalam film dokumenter Project Change.
Selama pembuatan film dokumenter itu Elisabeth melihat kurangnya pemerintahlokal, terhadap warga Papua. Bahkan khususnya Wamena – tempat syuting Tanah Mama – sangat minim sarana kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat lokal. Hal inilah yang membuat banyak warga Papua kurang paham tentang pentingnya arti kesehatan serta membuat warga Papua asli kalah saing dengan para pendatang di Papua.
Memang kata Elisabeth ada gereja di sana tapi nampaknya tak banyak membantu perkembangan warga Papua karena mereka tak melihat situasi tersebut sebagai suatu masalah besar.
Dia mengakui bahwa sebetulnya warga Papua merupakan warga yang hidup sangat mandiri dengan segala peraturan adat yang mereka miliki. Kemudian gereja dan pemerintah dengan segala aturan dan strukturnya masuk di Papua dan membuat aturan yang sudah ada di warga Papua kacau karena proses pendekatannya tidak sesuai.
Tanah Mama merupakan film dokumenter hasil dari Project Change ketiga. Film dokumenter berdurasi sekitar 60 menitan ini diproduseri oleh Nia Dinata. Film ini telah dirilis di tiga kota pada 8 Januari 2015 lalu. (Dominggus Mampioper)
http://tabloidjubi.com/2015/08/14/perempuan-papua-dalam-tanah-mama/