Aktivis GempaR dan AMP usai memberikan keterangan pers di Abepura (13/8) –Jubi/Abeth You |
Jayapura, Jubi – Perebutan wilayah Papua antara Belanda dan
Indonesia pada dekade 1960-an membawa kedua negara ini maju ke meja
perundingan yang dikenal dengan “New York Agreement atau Perjanjian New
York 1962.”
Perjanjian ini terdiri dari 29 pasal yang mengatur 3 macam
hal. Diantaranya pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri
(Self-Determination) yang didasarkan pada praktek internasional, yaitu
Satu Orang Satu Suara (One Man One Vote).” Dan pasal 12 dan 13 yang
mengatur transfer administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian
dilakukan pada 1 Mei 1963 oleh Indonesia dikatakan ‘Hari Integrasi’ atau
kembalinya Papua Barat ke dalam pangkuan NKRI.
Hal ini Sekretaris Jenderal GerakanMahasiswaPemudadan Rakyat
Papua(GempaR), Samuel Womsiwor kepada wartawan di Abepura, Kamis
(13/8/2015).
Dia mengatakan pihaknya akan mengupas kebenaran New York Agreement
1962 yang berdampak kepada dekolonisasi terhadap ekstensi rakyat Papua
dalam seminar sehari.
“Untuk itu kami mahasiswa menyerukan yang terbuka kepada mahasiswa,
pemuda dan rakyat Papua, untuk dapat hadir dalam seminar sehari yang
akan kami laksanakan pada hari dan tanggal, Sabtu, (15/8/2015) di aula
STT GKI I. S. Kijne, Abepura, Padang Bulan dengan pemateri Pdt. Pdt.
Dora Balubun, Polda Papua(Paulus Waterpau), Ibu Bernardeta Meteray
(Akademisi), Pdt. Socratez SofyanYoman, Aktivis Papua Merdeka: Victor
Yeimo dan Sem Awom,” kata Samuel Womsiwor didampingi sejumlah rekan
lainnya dari GempaR dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
Womsiwor berkisah, pada 30 September 1962 dikeluarkan “Roma
Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong pembangunan
dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan
Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969. Namun, dalam prakteknya Indonesia
memobilisasi militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam
gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua.
“Operasi Khusus (OPSUS) yang diketuai Ali Murtopo dilakukannya untuk
memenangkan PEPERA diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar,
Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari
operasi-operasi ini terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni
penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat
Papua, pelecehan seksual dan pelecehan kebudayaan dalam kurun waktu enam
tahun” katanya.
Biro Organisasi AliansiMahasiswa Papua (AM) IcheMurib mengatakan, PT.
Freeport Indonesia di Timika, Migas di Sorong, Miffee di Merauke, LNG
di Bintuni, dan semua investasi asing dan swasta yang berkuasa hingga
sekarang adalah buktinya.
“Berbagai data dan fakta dari setiap pegiat HAM, LSM, dan berbagai
peneliti tentang dampak imperialism di tanah Papua menunujukkan
kekuatiran yang mendalam terhadap nasib rakyat pribumi. Rakyat Papua
yang dibunuh, dibantai, dan diperkosa akibat semua perlakuan ketidak
manusiaan, dan juga alam Papua yang digarap demi kepuasanpenguasadan
imperialism di atas Tanah Papua.
“Pemerintah
Indonesiasegeramencabutdanmenariksegalakebijakan di Atas Tanah Papua,
seperti OTSUS Papua 2001, UP4B, PNPM Mandiri, dan segala prospekk
ebijakan lainnya karena semuanya adalah praktek-praktek bentuk
pelanggaran HAM structural dan sistematis yang sedang dioperasikan
kepada rakyat Papua atau bentuk neo-kolonialisme Indonesia di atas Tanah
Papua untuk memusnahkan rakyat Papua,” katanya. (Abeth You)
http://tabloidjubi.com/2015/08/13/gempar-dan-amp-akan-gelar-seminar-new-york-agreement-1962/