Koin yang dikumpulkan oleh PapuaItuKita untuk Komnas HAM RI. Jubi/Dok.PapuaItuKita |
“KOMNAS HAM mengaku tidak punya duit melakukan penyelidikan lanjutan. Publik tidak diberitahu kejelasan duduk permasalahan birokrasi di KOMNAS HAM. Koin ini adalah simbolisasi kritik publik atas diabaikan dan dipermainkannya hak-hak azasi korban pelanggaran HAM di hadapan birokrasi pemerintahan,” kata koordinator PapuaItuKita, Zely Ariane, melalui surat elektronik yang diterima Jubi, dari Jakarta, Rabu (8/7/2015).
Zely menjelaskan kasus Paniai Berdarah adalah peristiwa penembakan yang dilakukan pihak TNI-Polri terhadap Alpius Youw (17th), Yulian Yeimo (17th), Simon Degei (18 th), Alpius Gobai (17 th) di lapangan Karel Gobay 8 Desember 2014. Keempat remaja korban dikubur bersama di lapangan Karel Gobay, di depan Koramil 1705 Paniai Timur dan Kapolsek Paniai Timur.
Lapangan tempat aksi warga berlangsung pada 8 Desember 2014 itu, dikelilingi Asrama Koramil, Kopaskhas Angkatan Udara, dan lapangan terbang.
Hingga kini, pihak keluarga korban masih menanti dalam kecewa. Tekanan dari pihak aparat keamanan, yang juga hendak ikut melakukan penyelidikan sendiri, terus terjadi. Kantor Koramil 1705 sudah berpindah tempat dari depan kuburan ke arah belakang lapangan membelakangi kuburan korban. Sementara kuburan itu masih terus menuntut keadilan.
“Sejak awal PapuaItuKita menuntut agar KOMNAS HAM maju mengambil peran maksimal melakukan penyelidikan berbasis UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, melalui petisi www.change.org/papuaitukita yang hingga saat ini telah didukung sekitar 14.000 orang,” kata Zely.
Melalui aksi-aksi PapuaItuKita juga terus ingatkan agar KOMNAS HAM segera dan serius bekerja. Tak saja aksi, PapuaItuKita juga membantu tim penyelidik Paniai KOMNAS HAM dalam membuatkan case matrix (Matrik Kasus) Paniai yang menunjukkan bahwa kasus penembakan 4 remaja di Paniai telah memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM berat.
Menurut Zely, dalam proses itu saja KOMNAS HAM sudah bekerja sangat lambat dan itu terbukti dalam proses kerja seperti, Penyelidikan pertama berdasar UU 39/1999 sudah memakan waktu setidaknya 3 bulan sejak Desember-Maret 2015, menghasilkan ringkasan eksekutif yang menurut PapuaItuKita tidak memadai dibandingkan bukti-bukti yang bisa diakses dan sudah bisa dianalisa.
Lalu, tidak berkualitasnya ringkasan eksekutif penyelidikan tersebut terbukti ketika rapat Paripurna KOMNAS HAM bulan April lalu memutuskan peningkatan status penyelidikan berbasis UU 26/2000, Namun tim masih harus melengkapi Matrik Kasusnya dalam jangka waktu 1 Bulan karena dinyatakan belum lengkap. Dalam proses itulah PapuaItuKita sudah memberikan masukan matrik kasus Paniai pada akhir April untuk bahan rapat Paripurna di bulan Mei.
Bulan Mei, rapat paripurna KOMNAS HAM dikabarkan telah memutuskan terbentuknya Tim AdHoc (KPP HAM) Paniai. Hingga bulan Juli tidak diketahui siapa anggota Tim dan kemajuan pekerjaan yang sudah dilakukan. Pertengahan Juni Tim Adhoc yang dibentuk tersebut menyatakan tidak memiliki anggaran untuk melakukan penyelidikan lanjutan.
Proses ini sangat mengecewakan. KOMNAS HAM yang diharapkan maju maksimal melakukan pekerjaan ini karena pelaku penembakan melibatkan TNI dan Polri dan telah memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM berat, tidak tampak berdaya.
Sementara di saat yang sama pihak TNI-Polri terus menekan keluarga korban agar penyelesaian tidak melalui jalur pengadilan HAM melainkan pengadilan militer. PapuaItuKita menolak penyelesaian pengadilan militer karena unsur-unsur sistematis dan meluas yang melibatkan TNI-Polri dalam penembakan 4 remaja Paniai ini HARUS diadili lewat Pengadilan HAM.
Untuk itu, PapuaItuKIta minta kejelasan status Tim Adhoc Paniai, anggota, dan kerja-kerjanya. Juga pertanggungjawaban terhadap ketiadaan dana untuk kerja penyelidikan Tim Adhoc Paniai KOMNAS HAM, serta penyerahan koin sedekah agar KOMNAS HAM bekerja cepat.
Kasus-kasus penembakan dan kekerasan lainnya di Papua terus bertambah sejak Desember tahun lalu. Semakin lama semakin banyak, semakin hari semakin bertambah korban yang jatuh, dan korban tersebut semakin banyak dari kalangan muda. Kita tidak bisa biarkan.
Ketika publik tidak diberitahu apa alasan sebenarnya kasus Paniai ini dibiarkan sedemikian rupa, dan KOMNAS HAM tidak bersegera walau mandat sudah di tangan, kita tidak bisa biarkan. Alasan birokrasi dan pendanaan tidak bisa kita terima, karena hilangnya nyawa tidak pernah melalui birokrasi, dan tidak pernah memakan banyak dana.
Sebelumnya, seperti dilansir Jubi, di Jayapura, Forum Independen Mahasiswa (FIM) sudah menyerahkan uang senilai kurang lebih Rp 608 ribu, dibawa Ketua FIM, Teko Kogoya, bersama beberapa aktivis FIM ke kantor Komnas HAM perwakilan Papua, dan diserahkan ke Pelaksana Tugas Ketua Komnas HAM Papua, Fritz Ramandey.
“Kami juga harap penyerahan uang langsung kepada tim adhoc. Tim adhoc dipimpin Manajer Nasution. Dalam waktu dekat akan kembali ke Paniai, itu sesuai penyampaian Komnas HAM RI. Jadi jauh lebih baik sumbangan itu diterima langsung oleh tim adhoc,” kata Fritz Ramandey, saat bertemu para aktivis FIM. (Arnold Belau)
http://tabloidjubi.com/2015/07/08/enam-bulan-kasus-paniai-papuaitukita-serahkan-koin-sedekah-ke-komnas-ham/