Honai (Ist) |
“Memasukanku dalam keseluruhan yang kau bayangkan menegasi
diriku,” tulis Dostoevsky, seorang Sastrawan dan filsuf Rusia Keturunan
Yahudi di masa hidupnya (11 November 1821-9 Februari 1881).
Kita mungkin telah lupa pemberitaan yang mengejutkan tentang
sekelompok orang gunung yang memprakarsai kongres tiga tungku. Kongres
tiga tungku itu telah memilih 16 kepala suku dari 16 kabupaten di
Pegunungan Papua. Satu kepala suku menjadi pengendali 16 kepala suku. 16
kepala suku ini kemudian akan menjalankan tugas mengendalikan orang
gunung di Jayapura, Keerom dan sekitarnya. Rencana pembangunan honai itu
akan terwujud 2014. (Cepos,13/12/2013).
Kita belum tahu rencana itu sedang berjalan atau tidak tetapi yang
jelas bahwa rencana mengendalikan orang-orang gunung melalui satu atap
honai 16 pintu ini sangat menarik untuk kita diskusikan. Honai 16 kepala
suku akan kendalikan orang-orang gunung di luar wilayahnya, terutama di
Jayapura, Keerom dan sekitarnya. Kata mengendalikan ini sangat negatif
bahkan buruk maknanya, bahwa orang-orang gunung menjadi sorotan, tidak
lebih dari stigma tidak terkendali, liar dan buruk pola hidup atau
gayanya. Semua makna buruk terbungkus tanpa kita sadari itu hasil
kontruksi sebab akibat struktural pembangunan pemerintah yang berkuasa.
Diskusi sebab akibat itu sangat penting, tetapi kita harus
menempatkan persoalan itu dalam ruang yang khusus. Ruang yang khusus
perlu kita ciptakan tetapi terlepas dari agenda megendalikan, realistis
saja bahwa orang-orang gunung tidak mungkin masuk dalam kendali 1 honai
16 pintu itu. Orang-orang sudah masuk menjalankan wejangan dari honai
masing-masing di wilayah adat mereka walaupun ada di luar wilayah
adatnya. Mereka bergerak dalam kendali pemimpin masing-masing honai adat
tanpa mau meniadakan keputusan dan kepemimpinan yang lain. Karena itu,
sangat sulit dan tidak akan diterima ide satu honai 16 pemimpin dalam
kendalikan satu orang. Tambahan lagi, kalau posisi 16 kepala suku ini
bukan generasi pemimpin adat. Sangat tidak mungkin diterima, apa lagi
mengakui. Yang ada, mimpi untuk mengendalikan.
Perlu kita ketahui bahwa kepimpinan di gunung Papua, tidak seperti
kepemimpinan kerajaan yang dibayangkan, dirancang dan digiring ke sana.
Kalau pun berhasil digiring, kepemimpin model itu tidak ada makna
kehidupan dan menghidupkan sama sekali dalam konteks orang gunung.
Pemimpin model itu hanya memetik keuntungan, memanfaatkan kepentingan
pemerintah mengendalikan warga gunung lewat satu kepemimpinan.
Kepemimpinan model ini kepemimpinan semua di mata warga gunung, kecuali
mereka yang mau memakan remah-remah hasil korporasi kepala-kepala suku
karbitan pemerintah demi kepentingannya.
Saya tidak hendak menyoal pengertian negatif dengan melibatkan
kepala-kepala suku boneka itu. Tapi saya berkepentingan lebih dengan
kata honai yang hendak menjadi tempat para kepala suku karbitan itu.
Orang gunung memiliki kontruksi honai yang asli pada umunya bulat
(kecuali beberapa wilayah gunung, misalnya, Mee, Ngalum dan pesisir
pantai) dan satu pintu. Atap honai bulat lonjong berbentuk nasi tumpeng
atau seperempat bola pasket. Kontruksi itu tidak sekedar kontruksi yang
terlihat mata. Lebih dari itu mengandung makna kontruksi filosofis,
sosiologis, antropologis, ekonomis, politik dan komunikasi sosial,
kesehatan dan perdamaian orang gunung ada di dalam honai.
Penulis lebih tertarik menyoal kontruksi sosialnya. Kontruksi
sosialnya tergambar dalam bentuk honai yang bulat. Orang-orang yang
masuk duduk melingkar melihat satu dengan yang lain. Komunikasi sosial
berjalan lancar satu dengan yang lain. Orang-orang hidup dalam komunitas
kebersamaan itu. Orang-orang Ngalum membangun kisah Aplim Apom di dalam
Bokam yang bentuknya tidak bulat. Orang Ngalum membangun kisah “Kamu
pegang tangan saya. Saya pegang tangan kamu. Kita berjalan bersama”.
Kehidupan sosial menjadi yang sangat bermakna di sana.
Agus Alua mengulas makna honai yang bulat itu dalam buku Nilai-nilai
hidup orang Hubula. Hubula adalah satu suku Dani yang berdomisi di ibu
kota Kabupetan Jayawijaya. Menurut Agus, bentuk honai, tungku dalam
honai, tempat masak serba bulat. Pola duduk makan bersama melingkar.
Makan bersama, hidup bersama dan kerja bersama tanpa saling meniadaan
dan menguasai. Komunitas melingkar itulah yang mebuat orang ada, hidup
dan hidup menjadi bermakna positif.
“Kehidupan orang Huwula dalam komunitas. Orang yang berada diluar
komunitas itu dianggap sudah mati,” tulis Agus Alua dalam bukunya yang
diterbitkan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, pada
tahun 2004 ini, di Kota Jayapura, Papua.
Penjelasan Agus menjadi jelas bahwa honai itu menjadi simbol hidup
atau matinya orang yang lahir, besar dan hidup dalam honai. Orang gunung
hidup kalau berada dalam satu honai, satu tungku yang bulat dan satu
pintu honai. Kalau hidup di luar lingkaran dan satu pintu, honai yang
banyak pintu dan banyak kepemimpinan, orang tersebut berada di luar
komunitas. Pasti dampak buruk yang akan merongrong kehidupan komunitas
dan individu. Orang-orang tertentu bisa saja membuat masalah kemudian
menjadi masalah komunitas. Otomatis komunitas menjadi bagian dari
diskusi masalah. Komunitas berada dalam acaman. Itulah yang menjadi
keyakinan orang yang hidup dalam lingkaran honai.
Pembelajaran terhadap pengetahuan antropologi Papua yang diekplorasi
membaca kekhwatiran itu dan mendorong mereka yang disebut kepala suku
menyelenggarakan kongres tiga tungku. Kongres itu melahirkan 16 kepala
suku dengan satu komando kendali. Kita salut dengan tujuan baik itu
namun, masalahnya, kontruksi asli honai yang penuh makna sangat jelas
bertentangan dengan kontruksi honai ala kongres tiga tungku itu. Makna
honai yang asli dan kepemimpinan dalam honai di geser. Nilai-nilai yang
ada dalam honai pun mulai direduksi dan dihancurkan.
Bentuk atau kontruksinya kita belum tahu persis bulat atau pajang
tetapi dengan 16 pintu saja sudah menunjukan kontruksi honai tidak
mungkin bulat lagi. Kalau pun bulat, tidak ada sisi honai yang utuh
sebagaimana honai yang asli. Semua sisi honai habis terpakai dengan
pintu-pintu yang identik dengan banyak lubang. Banyak cahaya yang
menerobos masuk. Banyak jalan orang masuk keluar. Perpecahan dan
perkubuan tercipta dalam honai. Honai tidak lagi menjadi tempat
membangun kebersamaan, satu keputusan dan satu tindakan melainkan
pepecahan yang tercipta dalam satu honai ala kepala suku abal-abal.
Kontruksi tersirat honai pajang itu identik dengan kontruksi Hunila.
Hunila dalam bahasa orang Huwula, artinya itu tempat wanita menjalankan
rutinitasnya menyiapkan makan-minum dan menjalankan keputusan dalam
honai. Selama para wanita menyiapkan kebutuhan ekonomi, para para pria
diminta tidak terlibat dengan harapan ada kebebasan di sana. Sementara,
keputusan politik, ekonomi, budaya dan perang tidak mendapat tempat di
sana. Keputusan yang diambil di dalam Hunila dianggap tidak bermakna,
cerita-cerita kaum ibu dan anak-anak saja. Karenanya, keputusannya
sangat tidak mengikat.
Kontruksi honai pajang itu juga mengingatkan kita pada Jew. Jew
adalah rumah adat orang Asmat. Orang Asmat membangun Jew pajang dan
banyak pintu. Banyak tungku ada di dalamnya menurut marga, simbol
turunan. Turunan pertama atau marga pertama hingga marga terakhir. Marga
pertama menjadi penjaga tungku induk dan menjadi penjaga cerita
kehidupan orang Asmat. Semua keluarga dan keturunan berkiblat dan
bersumberkan kehidupan di sana. Jew banyak pintu, banyak tunggku dengan
satu tungku induk itu menunjukan satu komunitas satu sumber asalah usul
kehidupan. Komunitas itu berkumpul dalam satu tungku melakukan diskusi,
keputusan-keputusan hidup diambil bersama. Hidup kini maupun di masa
yang akan datang berpusat dalam tungku induk.
Kontruksi rumah adat gunung atau pesisir yang berbedaa itu lahir dari
situasi, konteks geografis dan lahir dari satu proses peradaban. Honai
itu sangat pasti menjadi simbol peradaban orang-orang Papua dalam
konteks kehidupannya. Orang gunung menjadi manusia yang beradap dalam
honai yang bulat. Orang pesisir menjadi yang manusiawi dalam honai yang
pajang. Bulat maupun pajang sama maknanya pusat kehidupan.
Walaupun sama-sama pusat kehidupan. Rasa memiliki terhadap honai
sangat beda. Orang gunung sungguh merasa hidup kalau berada dalam honai
yang bulat, satu tungku dan satu pintu. Perasaan itu membuat orang-orang
gunung masuk keluar honai dengan bebas. Keputusan-keputusan yang lahir
dari dalam honai mengikat dan menjadi pedoman kehidupan berjalan dan
menetap. Hidup akan menjadi adil, damai dan sejahtera.
Rasa memiliki itu juga akan terasa pada kontruksi satu Honai 16
pintu. Honai yang lahir dengan tiba saat, tiba kepentingan, tiba akal
membangun honai. Konsekuensinya jelas. Orang gunung pasti merasa tidak
memiliki kecuali mereka yang berkepentingan. Sayang seribu sayang. Sok
dewi penyelamat sedang merubah sejarah, merubah filosofi hidup, mungkin
mengahcurkan dirinya sendiri atas nama satu kehidupan yang lebih baik.
Kebaikan hidup itu tidak terasa akan menjadi kebaikan yang semu. Kita
harap kebaikan semu, kebodohan yang dimanfaatkan tidak terwujud penuh. (Mawel Benny)
http://tabloidjubi.com/2015/06/11/kepala-suku-karbitan-pemerintah-hancurkan-kepemimpinan-honai/