Pesan pada gambar dibawah ini merupakan salah satu dari ribuan pesan
yang di buat dalam baliho-baliho yang di pasang sepanjang jalan di
kota Jayapura dalam rangka memperingati hari kembalinya Papua kedalam
pangkuan Ibu Pertiwi (hasil pantauan penulis). Sebuah
pernyataan yang secara langsung mendorong hati penulis untuk menulis
tulisan ini. tulisan yang pada dasarnya menolak pernyatan yang
menyatakan bahwa, 1 mey 1963. merupakan tonggak sejarah pembebasan
masyarakat Papua dari kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan. Sebab
menurut penulis; orang Papua tidak bodoh dan tidak miskin, serta juga tidak tertinggal.
Biarawati Bunda Theresa mengatakatan “penyakit yang paling besar hari ini bukanlah lepra atau tuberculosis (TBC), tetapi lebih pada perasaan menjadi orang yang kurang dikehendaki.” Dalam konteks orang Papua penyakit yang paling besar bukanlah penyakit lepra dan TBC, melainkan menjadi orang yang “kurang dikehendaki” itu atau dibilang bodoh, miskin dan tertinggal.
Kurang di kehendaki akan membuat manusia tersinggung. apalagi jika dibilang bodoh dan hal itu dikatakan oleh orang yang belum mengenal sebenarnya siapa yang di tuduh bodoh. Demikian pula dengan orang Papua. orang Papua akan merasa tersinggung dan tidak setujuh jika dibilang bodoh oleh Pemerintah dan Negara Indonesia yang nota bene hanyalah orang tua tiri bagi orang Papua, serta belum mengenal sama sekali asal-usul orang Papua. Sebagai anak asli Papua itu yang penulis rasakan.
Jauh sebelum wilayah orang Papua diduduki oleh Belanda dan Indonesia serta belum di pengaruhi oleh pengaruh luar. orang Papua telah memiliki sekolah atau tempat belajar menjadi pemimpin untuk memimpin diri sendiri dan masyarakatnya. Tempat belajar itu disebut “BILIK KUDUS” yang kemudian di hancurkan oleh orang yang datang dari luar Papua. Di Bilik Kudus ini orang Papua diajarakan berbagai macam pengetahuan tentang sifat-sifat alam dan menjadi pemimpin yang memimpin rakyatnya untuk menghargai alam sebagai penghormatan kepada Tuhan Sang Pencipta.
Dalam masa-masa kepemimpinan para pemimpin yang dihasilkan dari Bilik Kudus, orang Papua tidak mengenal yang namannya kemiskinan alias miskin, sebab kebutuhan hidup orang Papua saat itu sangatlah terpenuhi. Dan juga didukung oleh sifat orang Papua saat itu, yang gaya hidupnya sangatlah sosialis. Tidak seperti sekarang ini. yang telah di pengaruhi dengan gaya hidup “kapitalis” orang Melayu Indonesia “siapa lo siapa gue”. Serta orang Papua tidak merasa tertinggal, sebab orang Papua sangat sadar, bahwa jika orang Papua mengejar kertinggalan, maka, orang Papua akan merusak
buminya. Dengan melakukan penebangan hutan dan penggalian perut bumi hanya untuk mengejar ketertinggal kemajuan teknologo dan pembangunan fisik. Dan hal itu sangatlah bertolak belakang dengan ajaran-ajaran dari rumah Bilik Kudus, yang mengajarkan mereka untuk mengormati dan menyembah Tuhan Sang Pencipta dengan cara melindungi alam dan segala isinya. Hal ini terbukti, sebelum orang dari luar Papua masuk ke wilah Tanah Papua. alam atau hutan Papua sangat terjaga baik dan juga tidak rusak.
Hal diatas diketahui oleh penulis, ketika bersama-sama dengan teman-teman penulis yang adalah aktivis-aktivis GempaR Papua melakukan reat-reat di kampung Moikisi distrik depapre timur kabupaten Jayapura. Dalam kesampatan reat-reat tersebut tepatnya pada hari minggu pagi jam 05:00 waktu setempat. Penulis dan teman-teman mendapatka satu penghormatan melalui kedatangan dari seorang “bapak adat” pada tempat penginapan kami. bapak tersebut merupakan generasi dari pengurus rumah Bilik Kudus. Dalam kesempatan itulah bapak adat menceritakan pada kami, tetang para pemimpin dan kehidupan masyarakat dibawah kepemimpinan mereka yang dididik didalam rumah adat yang disebut BILIK KUDUS.
Setelah setelah orang luar “Belanda dan Indonesia” masuk ke Papua. Rumah Bilik Kuduslah yang lebih dulu dihancurkan Bilik Kudus dihancurkan dengan alasan Bilik Kudus adalah tempat berhala. Setelah bilik kudus hancur dan para pemimpin yang dilahirkan dari Bilik Kudus di kucilkan lewat kerja-kerja penjajah yang halus lewat “propaganda berhala” maka kepemimpinan mulai diambil alih oleh penjajah.
Dari penggalan cerita diatas penulis yakin bahwa, dalam kepemimpinan penjajah. Mulai dari Belanda dan Indonesia, barulah orang Papua mendengar kata bodoh, miskin dan tertinggal. Dan kata-kata tersebut menurut penulis hanyalah sebuah propaganda untuk meyakinkan generasi Papua sekarang ini, bahwa orang Papua dulunya bodoh, miskin dan tertinggal, lalu merekalah yang datang merubah semua itu menjadi baik. Hehehe.
Jika memang sejarah 1 mey 1963 merupakan tonggak sejarah pembebasan rakyat Papua dari kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan mengapa saat ini tidak ada perubahan yang membaggakan bagi orang Papua. namun sebaliknya orang Papua semakin terpuruk dalam segala sector kehidupan. Dan yang semakin parahnya lagi ! orang Papua pada generasi kepemimpinan pemerintahan Belanda dan Indonesia generasi tersebut mulai tidak tahu sejarahnya.
ketidaktauan sejarah pada generasi papua sekarang ini semakin parah. Dan hal itu terjadi ketiak orang Papua berda dalam kepemimpinan pemerintaan Indonesia. Padahal tugas Negara yang utama adalah mengajarkan rakyatnya untuk mengenal siapa dirinya. Sehingga dari sejarah asal-usul siapa rakyat itu maka, rakyat tersebut itu memilik pondasi untuk membangun dirinya dari kebodohan, kemiskinan dan kertinggalan dengan semangat sejarah yang diciptakan oleh waktu dan masa, bukan karena sejarah yang diciptakan oleh kepentingan penguasa.
Generasi Papua sekarang ini memang bodoh, miskin dan teritiggal. Tetapi bukan bodoh karena memang bodoh dan miskin bukan karna misikin atau tertinggal karena memang terbelakang, namun semua itu adalah cara dari Pemerintah Indonesia untuk menguasai kekayaan alam orang Papua sehingga orang Papua dibuat bodoh akan sejaranya sendiri. serta dijadikan miskin diatas kekayaan alamnya sendiri, dan juga dibuat tertinggal diatas kemampuannya sendiri.
Dengan demikian maka, menurut penulis, pernyataan pemerintah dan Negara Indonesia melalui institusi militernya yakni; PRAJA WIRA YAKTHI KOREM 172 PWY hanyalah kampanye pencintraan untuk menutupi kegalan Pemerintah dan Negara Indonesia dalam membangun manusia Papua sekaligus menetupi kejahatan kemanusian yang mereka perbuat terhadap orang Papua semenjak 1 mey 1963 hingga samapai sekarang ini dengan bukti Indeks Pembanguan Manusia Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat memprihantikan diatas kekayaan alamnya yang terus dieksplotasi habis-habisan dan kejahatan Negara yang mengakibatkan pelanggaran HAM terus terjadi tanpa batas dan tanpa penyelesaian hukum. Seperti yang dikatakan oleh Direktris Intitute for Policy Analysis of Conflic (IPAC), Sidney Jones dalam evaluasi akhir dinamika social politik dan kebijakan negara di Tanah Papua yang digelar oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kajian Politik (LIPI-P2P) di Auditorium LIPI Lantai II, Jalan Gatot Subroto Jakarta Pusat. Sidney Jones menyatakan bahwa; pemekaran yang semakin banyak di tanah Papua membuat uang mengalir banyak di kabupaten/kota, tetapi pembangunan belum menyentuh kepada masyarakat. Malah IPM Papua semakin buruk dan melahirkan konflik antar masyarakat Papua.
Oleh : Pilipus Robaha Aktivis GempaR Papua
Gambar 1: Pencitraan MILLITER
Gambar 2: Aktivis GempaR di kampung Moikisi Depapre
Bahan Bacaa:
Majalahselangkah.com
Quo Vadis Papua Laksamana Madya (Purn) FREDY NUMBERY ***
Kesaksian dari tua adat masyarakat moikisi
https://gemparpapua.wordpress.com/2015/06/08/hanya-pencitraan/?fb_action_ids=1455180658126589&fb_action_types=news.publishes
Biarawati Bunda Theresa mengatakatan “penyakit yang paling besar hari ini bukanlah lepra atau tuberculosis (TBC), tetapi lebih pada perasaan menjadi orang yang kurang dikehendaki.” Dalam konteks orang Papua penyakit yang paling besar bukanlah penyakit lepra dan TBC, melainkan menjadi orang yang “kurang dikehendaki” itu atau dibilang bodoh, miskin dan tertinggal.
Kurang di kehendaki akan membuat manusia tersinggung. apalagi jika dibilang bodoh dan hal itu dikatakan oleh orang yang belum mengenal sebenarnya siapa yang di tuduh bodoh. Demikian pula dengan orang Papua. orang Papua akan merasa tersinggung dan tidak setujuh jika dibilang bodoh oleh Pemerintah dan Negara Indonesia yang nota bene hanyalah orang tua tiri bagi orang Papua, serta belum mengenal sama sekali asal-usul orang Papua. Sebagai anak asli Papua itu yang penulis rasakan.
Jauh sebelum wilayah orang Papua diduduki oleh Belanda dan Indonesia serta belum di pengaruhi oleh pengaruh luar. orang Papua telah memiliki sekolah atau tempat belajar menjadi pemimpin untuk memimpin diri sendiri dan masyarakatnya. Tempat belajar itu disebut “BILIK KUDUS” yang kemudian di hancurkan oleh orang yang datang dari luar Papua. Di Bilik Kudus ini orang Papua diajarakan berbagai macam pengetahuan tentang sifat-sifat alam dan menjadi pemimpin yang memimpin rakyatnya untuk menghargai alam sebagai penghormatan kepada Tuhan Sang Pencipta.
Dalam masa-masa kepemimpinan para pemimpin yang dihasilkan dari Bilik Kudus, orang Papua tidak mengenal yang namannya kemiskinan alias miskin, sebab kebutuhan hidup orang Papua saat itu sangatlah terpenuhi. Dan juga didukung oleh sifat orang Papua saat itu, yang gaya hidupnya sangatlah sosialis. Tidak seperti sekarang ini. yang telah di pengaruhi dengan gaya hidup “kapitalis” orang Melayu Indonesia “siapa lo siapa gue”. Serta orang Papua tidak merasa tertinggal, sebab orang Papua sangat sadar, bahwa jika orang Papua mengejar kertinggalan, maka, orang Papua akan merusak
buminya. Dengan melakukan penebangan hutan dan penggalian perut bumi hanya untuk mengejar ketertinggal kemajuan teknologo dan pembangunan fisik. Dan hal itu sangatlah bertolak belakang dengan ajaran-ajaran dari rumah Bilik Kudus, yang mengajarkan mereka untuk mengormati dan menyembah Tuhan Sang Pencipta dengan cara melindungi alam dan segala isinya. Hal ini terbukti, sebelum orang dari luar Papua masuk ke wilah Tanah Papua. alam atau hutan Papua sangat terjaga baik dan juga tidak rusak.
Hal diatas diketahui oleh penulis, ketika bersama-sama dengan teman-teman penulis yang adalah aktivis-aktivis GempaR Papua melakukan reat-reat di kampung Moikisi distrik depapre timur kabupaten Jayapura. Dalam kesampatan reat-reat tersebut tepatnya pada hari minggu pagi jam 05:00 waktu setempat. Penulis dan teman-teman mendapatka satu penghormatan melalui kedatangan dari seorang “bapak adat” pada tempat penginapan kami. bapak tersebut merupakan generasi dari pengurus rumah Bilik Kudus. Dalam kesempatan itulah bapak adat menceritakan pada kami, tetang para pemimpin dan kehidupan masyarakat dibawah kepemimpinan mereka yang dididik didalam rumah adat yang disebut BILIK KUDUS.
Setelah setelah orang luar “Belanda dan Indonesia” masuk ke Papua. Rumah Bilik Kuduslah yang lebih dulu dihancurkan Bilik Kudus dihancurkan dengan alasan Bilik Kudus adalah tempat berhala. Setelah bilik kudus hancur dan para pemimpin yang dilahirkan dari Bilik Kudus di kucilkan lewat kerja-kerja penjajah yang halus lewat “propaganda berhala” maka kepemimpinan mulai diambil alih oleh penjajah.
Dari penggalan cerita diatas penulis yakin bahwa, dalam kepemimpinan penjajah. Mulai dari Belanda dan Indonesia, barulah orang Papua mendengar kata bodoh, miskin dan tertinggal. Dan kata-kata tersebut menurut penulis hanyalah sebuah propaganda untuk meyakinkan generasi Papua sekarang ini, bahwa orang Papua dulunya bodoh, miskin dan tertinggal, lalu merekalah yang datang merubah semua itu menjadi baik. Hehehe.
Jika memang sejarah 1 mey 1963 merupakan tonggak sejarah pembebasan rakyat Papua dari kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan mengapa saat ini tidak ada perubahan yang membaggakan bagi orang Papua. namun sebaliknya orang Papua semakin terpuruk dalam segala sector kehidupan. Dan yang semakin parahnya lagi ! orang Papua pada generasi kepemimpinan pemerintahan Belanda dan Indonesia generasi tersebut mulai tidak tahu sejarahnya.
ketidaktauan sejarah pada generasi papua sekarang ini semakin parah. Dan hal itu terjadi ketiak orang Papua berda dalam kepemimpinan pemerintaan Indonesia. Padahal tugas Negara yang utama adalah mengajarkan rakyatnya untuk mengenal siapa dirinya. Sehingga dari sejarah asal-usul siapa rakyat itu maka, rakyat tersebut itu memilik pondasi untuk membangun dirinya dari kebodohan, kemiskinan dan kertinggalan dengan semangat sejarah yang diciptakan oleh waktu dan masa, bukan karena sejarah yang diciptakan oleh kepentingan penguasa.
Generasi Papua sekarang ini memang bodoh, miskin dan teritiggal. Tetapi bukan bodoh karena memang bodoh dan miskin bukan karna misikin atau tertinggal karena memang terbelakang, namun semua itu adalah cara dari Pemerintah Indonesia untuk menguasai kekayaan alam orang Papua sehingga orang Papua dibuat bodoh akan sejaranya sendiri. serta dijadikan miskin diatas kekayaan alamnya sendiri, dan juga dibuat tertinggal diatas kemampuannya sendiri.
Dengan demikian maka, menurut penulis, pernyataan pemerintah dan Negara Indonesia melalui institusi militernya yakni; PRAJA WIRA YAKTHI KOREM 172 PWY hanyalah kampanye pencintraan untuk menutupi kegalan Pemerintah dan Negara Indonesia dalam membangun manusia Papua sekaligus menetupi kejahatan kemanusian yang mereka perbuat terhadap orang Papua semenjak 1 mey 1963 hingga samapai sekarang ini dengan bukti Indeks Pembanguan Manusia Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat memprihantikan diatas kekayaan alamnya yang terus dieksplotasi habis-habisan dan kejahatan Negara yang mengakibatkan pelanggaran HAM terus terjadi tanpa batas dan tanpa penyelesaian hukum. Seperti yang dikatakan oleh Direktris Intitute for Policy Analysis of Conflic (IPAC), Sidney Jones dalam evaluasi akhir dinamika social politik dan kebijakan negara di Tanah Papua yang digelar oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kajian Politik (LIPI-P2P) di Auditorium LIPI Lantai II, Jalan Gatot Subroto Jakarta Pusat. Sidney Jones menyatakan bahwa; pemekaran yang semakin banyak di tanah Papua membuat uang mengalir banyak di kabupaten/kota, tetapi pembangunan belum menyentuh kepada masyarakat. Malah IPM Papua semakin buruk dan melahirkan konflik antar masyarakat Papua.
Oleh : Pilipus Robaha Aktivis GempaR Papua
Gambar 1: Pencitraan MILLITER
Gambar 2: Aktivis GempaR di kampung Moikisi Depapre
Bahan Bacaa:
Majalahselangkah.com
Quo Vadis Papua Laksamana Madya (Purn) FREDY NUMBERY ***
Kesaksian dari tua adat masyarakat moikisi
https://gemparpapua.wordpress.com/2015/06/08/hanya-pencitraan/?fb_action_ids=1455180658126589&fb_action_types=news.publishes