Logo AMP, Foto: Doc. AMP |
Negara Republik Indonesia nampaknya masih keras kepala dalam menyikapi persoalan Rakyat Papua terutama soal Hak Asasi Manusia. Hingga saat ini, di mana dunia semakin menjunjung tinggi nilai kebebasan, berbagai kasus penyelewan terhadap hak-hak sipil dan politik Rakyat Papua terus dilakukan. Peristiwa-peristiwa berdarah selama setengah abad Indonesia menguasai wilayah Papua Barat dikesampingkan dan dibungkam dengan melarang akses jurnalis asing dan pembungkaman rapat-rapat ruang demokrasi.
Negara Republik Indonesia merupakan Negara dengan segudang masalah, yang terus bergerak bagai bunglon yang punya segudang cara pula untuk menutupi dan mengubah warna sesuai tempat di mana ia berada.
Masih hangat dalam ingatan peristiwa –peristiwa berdarah di Papua dalam 5 bulan terakhir, tepatnya pada tanggal 8 Desember 2014, Rakyat Papua dikejutkan dengan kebrutalan Aparat Keamanan Indonesia di Paniai, yang menewaskan 4 Orang siswa SMA Negeri 1 Paniai dan belasan lainnya kritis. Kebrutalan berlanjut di Timika 6 Januari 2015, dengan isu mengejar kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), aparat gabungan militer dan polisi menyisir kampung Utikini dan mengamankan setidaknya 200 orang, termasuk 48 perempuan dan tiga anak-anak. Pada tanggal 21 Maret polisi membubar paksa kegiatan penggalangan dana kemanusiaan KNPB Yahukimo untuk Bencana Badai POM Vanuatu, yang menewaskan Obagma Senegil akibat tertembak dalam insiden tersebut.
Dalam sebulan terakhir Rakyat Papua kembali ramai-ramai diisukan dengan agenda militer (TNI/POLRI) untuk membubarkan mediator Rakyat Papua, Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Jika dikaji melalui hukum dan kovenan-kovenan Internasional, tentu Negara telah dan sedang melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik bagian II, poin ke 3 yang inti sarinya menyatakan Negara wajib melindungi HAM warga negaranya.
Bahkan lebih rincih tentang hak sipil dan politik pun telah diatur dalam UUD 1945, terutama Pasal 28 E (Ayat 3). Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Tidak ada satu pihak pun yang boleh memaksa atau melarang seseorang untuk bergabung dengan suatu organisasi.
Dengan pemerkosaan dan penyelewengan terhadap kovenan-kovenan Internasional dan UUD 1945, Indonesia melalui militernya di Papua Barat telah merusak nilai kebebasan. Hal ini pun membuktikan bahwa bumi Cenderawasih benar-benar sedang diisolasi oleh kolonialisme Indonesia melalui militer demi kepentingan Kapitalisme Negara-negara kapital seperti Amerika.
Aksi pembubaran Organisasi KNPB tersebut tentu dikarenakan isu pokok yang terus dikobarkan oleh KNPB sebagai mediator dan Rakyat Papua tentang Referendum yang menurut Indonesia adalah PEPERA ulang yang mengacu pada aturan Internasional One Man One Vote (Satu Orang Satu Suara), karena PEPERA 1969 merupakan hasil yang tidak sah karena tidak mematuhi hokum dan norma-norma Internasional tentang Penentuan Nasib Sendiri serta tidak mewakili seluruh suara Rakyat Papua yang pada saat itu berjumlah 800.000 jiwa namun hanya diwakili oleh 1.025 orang yang sebelumnya telah dikarantinakan dan hal itu merupakan satu kecurangan demi meloloskan kepentingan ekonomi dan politik Amerika dan Indonesia.
Perjuangan Rakyat Papua untuk memperjuangkan Penentuan Nasib Sendiri telah berjalan selama 50 tahun. Indonesia sendiri kita tahu merupakan budak paling setia para Negara-negara kapitalis, yang mempu melanggar UUDnya sendiri demi meloloskan kepentingan tuannya. Perjuangan Rakyat Papua adalah legal dan dilindungi oleh Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik bagian I poin pertama yang mengatakan “Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.” Bahkan tentang Penentuan Nasib Sendiri dilindungi oleh UUD 1945 alinea pertama “bahwa Sesungguhnya kemerdekaan ialah Hak Segala Bangsa” dan itupun tentunya berlaku bagi Rakyat Papua sebagai Bangsa Melanesia. Namun Indonesia melalui militernya telah dan sedang melanggarnya dengan menstikma gerakan Papua dengan gerakan Teroris, GPK, Makar, dll.
berhubung dengan Konferensi Asia Afrika yang dilakukan di Bandung yang telah dibuka Joko Widodo pada tangga 22 April 2015, yang di dalamnya juga membahas soal dukungan kemerdekaan untuk Palestina. Hari ini 24 April 2015 Joko Widodo mengatakan “Kemerdekaan Palestina harus diperjuangkan” oleh karena itu, Kami mendesak Negara Republik Indonesa dan menuntut kepada Rezim di bawah kekuasaan Joko Widodo - Jusuf Kalla dan Negara-Negara yang tergabung untuk mempersoalkan masalah Papua terutama Status Politik Papua yang hingga hari ini masih bermasalah dan teru diisolasi. Maka kami Aliasnsi Mahasiswa Papua Komite Kota Yogyakarta, menuntut untuk:
- Jika Negara Republik Indonesia mendukung Kemerdekaan Palestina maka Indonesia harus memberikan hak untuk “Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua” sebagai solusi demokratis sesuai dengan kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik bagian I, Pasal 1 yang menyatakan “Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.”
- Buka akses Jurnalis Asing ke Papua dan buka lebar-lebar ruang demokrasi sebagai tempat penyampaian aspirasi Rakyat.
- Sejak 19 Desember 1961 hingga hari ini, militer merupakan pilihan utama Negara Republik Indonesia untuk menyikapi dan mengisolasi aspirasi Rakyat Papua, hingga terjadi berbagai pelanggaran HAM dan terus membabi buta di bumi Papua Barat, karena itu; Segera Tarik Militer (TNI/POLRI) Organik maupun non Organik dari seluruh wilayah Teritorial Papua Barat.
- Segera hentikan seluruh aktivitas Eksploitasi yang terus dilakukan di bumi Cenderawasih. Tutup Freeport, LNG Tangguh, BP, MIFEE, Corindo, dll
Demikian, sikap ini kami buat dengan mempertimbangkan keputusan Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina yang merupakan satu langkah Indonesia untuk menjunjung tinggi satu nilai kebebasan dan perlu diingat.
Yogyakarta, 24 April 2015
Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite Kota Yogyakarta