Pages

Pages

Kamis, 26 Maret 2015

Kejahatan Negara“ Melampaui Batas Kesabaran Rakyat Papua

Oleh : Andry Laritembun 

WANI/WartaNusantara2013 - Kita dapat menyimak berbagai pemberitaan belakangan ini terkait dengan situasi-situasi di Tanah Papua. Berbagai macam bentuk kekerasan yang terjadi di Papua memang sangatlah memprihatinkan, bagaimana tidak ? Kalau setiap beberapa minggu kita sudah kembali mendengar atau bahkan melihat ada korban nyawa terhadap orang Papua. 

Situasi ini mungkin bagi warga di luar Papua serasa kaget dan terhentak, tetapi bagi warga pribumi Tanah Papua, persoalan tersebut sudah bukan hal yang baru, bagaimana tidak....? Teror, intimidasi dan segala bentuk kekarasaan di Tanah Papua merupakan sebuah fenomena yang setiap saat mereka hadapi. 

Pernahkah kita bertanya ada apa, mengapa, bagaimana oleh siapa dan untuk apa serta lainnya, sehingga terjadi bentuk-bentuk kekerasan tersebut...? 

Hal yang sangat memprihatinkan, dimana bentuk kejahatan tersebut lebih banyak terjadi di daerah pedalaman dibanding dengan daerah perkotaan atau pesisir semenanjung Cenderawasih. Daerah ini jauh dari pantauan media massa dan lembaga-lembaga yang ada di Papua. Pernahkah kita melihat bagaimana nasib saudara-saudara kita yang ada di daerah pelosok tanah Papua tersebut....? 

Ketika mereka berbicara atau bersuara tentang hak mereka, maka yang ada hanya isapan jempol, disertai pernyataan “Anda bagian dari separatis”, ini adalah stigma sosial yang secara langsung menyudutkan masyarakat Papua yang juga merupakan bagian dari anak bangsa. 

Dengan stigma yang selalu dilekatkan itu, maka jangan pernah salahkan rakyat Papua, ketika luka dan sakit hati itu dijadikan sebagai sebuah kekuatan rakyat yang sangat besar, dan inilah yang terjadi saat ini, maraknya suara dan pekikan “Merdeka” merupakan bukti nyata, kalau rakyat Papua ingin bebas dan keluar dari segala bentuk diskriminasi yang dilakukan TNI-Polri yang lupa dirinya, bahwa mereka juga manusia sama serupa dengan masyarakat Papua. 

Baru-baru ini kita semua dikejutkan dengan penembakan di Pania, tindakan aparat tersebut adalah tindakan yang terkutuk, tindakan yang secara langsung menyatakan ketidak sanggupan TNI-Polri dalam melakukan tugasnya. Tidak ada pendekatan secara nyaman, yang terjadi hanyalah pendekatan dengan kekerasan dan pembunuhan terhadap rakyat sipil di tanah Papua. 

Ini merupakan kegagalan pengelolaan keamanan negara yang dilakukan oleh TNI-Polri, dimana aparat tidak mampu melakukan pendekatan-pendekatan. Pada dasarnya, manusia ketika makin ditekan, maka dia akan semakin memberontak, dan kini kita telah melihat, dimana situasi gejolak politik, kekerasan, teror, intimidasi, penyiksaan dan kematian warga sipil di tanah Papua sudah berada pada stadium tingkat tinggi. Ini adalah kegagalan aparat negara dalam merangkul rakyat Papua, sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, malah yang ada hanyalah menambah virus kebencian rakyat Papua terhadap negara ini. 

Dari setiap pergantian pemimpin ke pemimpin kita berharap, agar ada perubahan yang lebih baik, namun sebaliknya, seakan menjadi tradisi siasat kebudayaan TNI-Polri. Masih banyak bentuk kekerasan yang terjadi, bahkan di segala bidang jika kita cermati secara baik. Namun yang menjadi dasar dari sebuah perjuangan rakyat Papua pada saat ini, adalah bukan semata perjuangan politik untuk mendapatkan hak sebagai anak bangsa yang sama dengan masyarakat suku lainnya yang ada di negara ini. Tapi ironisnya merupakan perjuangan idealisme yang lahir dari sebuah tekanan dan segala bentuk diskriminasi. 

Bagi kami, ini adalah sebuah teguran rakyat yang sangat keras kepada pemimpin nasional Presiden Joko Widodo beserta seluruh kelengkapan negara ini, agar segera memperbaiki sikap. Jika negara ini dapat merefleksi perjalan panjang masyarakat Papua dengan segala latar belakang berbagai peristiwa dan telah menelan korban jiwa yang bukan sedikit, ini merupakan bagian dari persoalan-persoalan sejarah politik masa lalu alias “Pepera” yang bagi orang Papua persoalan itu belum tuntas. Sejarah “Pepera” merupakan dasar berbagai persoalan dari seluruh rentetan peristiwa berdarah yang terjadi di Tanah Papua sejak tahun1960-an sampai saat ini. 

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 digelar tak relevan dengan perjanjian The New York Agreement dan The Roma Agreement yang menyatakan one man one vote (satu orang satu suara), tapi dalam pelaksanaannya, penguasa pemerintahan Indonesia menggunakan sistem perwakilan “One man one delegation”. 

Pelanggaran HAM di Papua Barat belum pernah berakhir sampai saat ini. Sejak 1963 masyarakat Papua Barat dianeksasikan oleh Indonesia, orang Papua Barat terus dibantai seperti halnya binatang. Kekerasan 3 tahun terakhir ini, negara melakukan kekersan melalui TNI-Polri. Pembungkaman ruang demokrasi, pembunuhan kilat, penangkapan sewenag-wenang sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 meningkat di Papua Barat. 

Menjelang perajaan Hari Natal 25 Desember dan Peringati Hari HAM Sedunia 10 Desember 2014, Polisi terus melakukan penembakan terhadap rakyat sipil. Penembakan terhadap 5 warga sipil dan 22 orang terluka sedang dirawat di Paniai. 

Pembunuhan massal terhadap rakyat sipil yang dilakuan oleh kepolisian merupakan kejahatan Negara. Penembakan 5 warga sipil pada tanggal 08 Desember 2014 di Paniai tidak dapat dibenarkan degan alasan apa pun, polisi tidak harus melakukan penembakan terhadap rakyat sipil, karena mereka tidak memiliki senjata, mereka hanya rakyat biasa yang harus dilindungi oleh kepolisian sebagai pengayom dan pelindung rakyat. 

Setiap menjelang perayaan hari Natal, Polisi terus melakuan penembakan terhadap rakyat sipil dan pembela HAM di Papua Barat, pembunuhan massal terhadap rakyat sipil pada hari Senin 08 Desember 2014 di Paniai merupakan kado Natal yang diberikan oleh Polda Papua dan pemerintahan Jokowi kepada rakyat Papua. 

Kado Natal bagi rakyat Papua pernah terjadi beberapa tahun lalu, pada tahun 2000 tanggal 10 November 2000, tokoh Papua Theys H Eluay dibunuh oleh Kopassus. Kemudian pada tanggal 16 Desember 2009, pejuang keadilan (Almarhum) Kelly Kwalik dibunuh oleh Densus 88 dan polisi di Timika. Kemudian pada tanggal 16 Desember 2012, Hubertus Mabel Ketua Komisariat KNPB Pusat dibunuh di Wamena. 

Pada tanggal 19 Polres Dogiyai menembak 3 anggota KNPB dan melakukan penangkapan sewenang-wenanp terhadap 12 aktivis KNPB Dogiai dan 13 aktivis KNPB, kemudian 15 orang dibebaskan 3 hari kemudian 10 orang masih ditahan sampai saat ini. 

Kado Natal oleh pemerintahan Jokowi-JK tahun 2014, TNI-Polri menembak mati 5 orang dan 22 orang terluka di Paniai . Hal ini merupakan pemusnahan “Ras Melanesia” dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Polda Papua dari tahun ke Tahun. Kepolisian Daerah Polda Papua, terus melakukan kekerasan di Papua Barat, kami menilai semua kekerasan di Papua aktornya adalah Polda Papua. Tidakan aparata Kepolisian terhadap rakyat sipil benar-benar tidak manusiawi. Polda Papua harus bertanggungjawab atas tindakan aparatnya di Paniai. (WARA)