Pages

Pages

Jumat, 13 Maret 2015

Februari 2015: Pengakuan Paksa Melanggar Hak Pengadilan yang Adil bagi Orang Papua

Areki Wanimbo dalam penahanan. Foto:Papuansbehindbars.org


Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Papuansbehindbars.org merilis, pada akhir Februari 2015, setidaknya ada 38 tahanan politik di penjara Papua.

Ditulis di sana, pengadilan untuk Areki Wanimbo dan kasus tahanan Boikot Pemilu Pisugi sedang berjalan setelah ditunda berbulan-bulan. Dalam kedua kasus, peneliti hak asasi manusia setempat melaporkan kurangnya bukti yang cukup terhadap para tahanan. Proses hukum dalam kedua kasus penuh dengan penyimpangan.

Dalam kasus Areki Wanimbo, seorang pemimpin suku Lanny Jaya, polisi mendakwanya dengan makar daripada membebaskan dirinya setelah mereka gagal mencari bukti untuk mendakwanya dengan kepemilikan amunisi.

Dalam kasus Pisugi, persidangan ditunda selama enam kali karena jaksa tidak mampu menghadirkan saksi. Kelima orang yang disidang ditangkap karena diduga memboikot pilihan Presiden pada bulan Juli tahun lalu.

Mereka disiksa pada saat penangkapan dan dalam penahanan, dipaksa untuk mengakui dan dipaksa untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Penggunaan pengakuan paksa dan bukti palsu dalam proses pidana adalah pelanggaran langsung hak mendapatkan pengadilan yang adil, tulis website Tapol Papua itu.

Dijelaskan, dalam kasus Sasawa Februari 2014, tujuh para tahanan dijatuhi hukuman penjara 3,5 tahun masing-masing setelah pengadilan yang menggunakan BAP yang direkayasa polisi sebagai bukti kunci dalam penghukuman mereka.

Dalam banyak kasus di Papua, pengadilan tidak memiliki bukti material dan sangat mengandalkan laporan BAP yang sering ditandatangani para tahanan yang di bawah paksaan dan tanpa pendampingan hukum, tulisnya.

Diuraikan di sana, pada bulan Februari, tim dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang memimpin penyelidikan tentang Paniai Berdarah kembali ke Enarotali untuk melakukan wawancara dengan para korban dan saksi. Meskipun laporan awal dari Komnas HAM menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia telah dilakukan, masih harus dilihat apakah mereka yang bertanggung jawab atas penembakan yang menewaskan empat siswa SMA akan dimintai pertanggungjawaban.

Tanpa pembentukan mekanisme seperti Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP-HAM), Komnas HAM kekurangan mandat yang diperlukan untuk mencari penuntutan di Pengadilan HAM Ad Hoc.

Selain itu, keadaan yang mencurigakan tentang pembakaran sebuah SMA yang dihadiri oleh dua korban Paniai Berdarah menunjukkan bahwa masyarakat setempat di Enarotali terus menghadapi ancaman dan intimidasi.

Saksi mata dan korban Paniai Berdarah enggan untuk datang ke depan untuk memberikan kesaksian karena korban dan saksi tidak diberikan perlindungan yang cukup.

Informasi yang diterima dari kelompok-kelompok gereja setempat melaporkan bahwa mereka yang ditahan dalam penangkapan massal di desa Utikini di Timika bulan lalu telah dibebaskan. Maxson Waker, salah satu dari 65 orang yang ditahan pada 6 Januari, dilaporkan ditangkap karena dalam keadaan mabuk dan mengalami penyiksaan dari polisi. Baca selengkapnya di sini: Papuansbehindbars.org. (Yermias Degei/Papuansbehindbars.org/MS)