Demo mahasiswa Papua minta (1) Freeport dan perusahaan lainnya di Papua angkat kaki; (2) Tarik militer dari tanah Papua, dan; (3) Berikan hak bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri. Foto: Ist. |
Para pemimpin nasional setelah era Bung Karno seharusnya kembali merefleksikan perintah konstitusi dan amanah penderitaan rakyat, yang menjadi roh/jiwa/mentalitas berbangsa, yang mengilhami pergerakan revolusi kemerdekaan 45 terhitung sejak 69 tahun silam. Sepertinya sepeninggal Bung Karno, semangat anti kolonialisme di bumi Nusantara secara perlahan menghilang tanpa jejak, dan berganti dengan ideologi kepentingan-kepentingan para penguasa yang justru menjadi rujukan, iman, dan kitab suci dalam menjalankan konstitusi bernegara.
Sebagai pengingat akan konsistensi Bung Karno dalam melawan kolonialisme bagi semua bangsa-bangsa di dunia, berikut ini pekikan dari setiap nafas, ideologi, cita-cita, tentang kemerdekaan bagi semua bangsa yang terekam dalam Pembukaan (Preambule) UUD 1945:
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Idealisme tentang semangat anti penjajahan yang melahirkan semangat anti-imperialisme dalam konstitusi UUD 1945, pada hari ini telah menghilang dalam kebijakan penguasa nasional. Para penguasa di Jakarta, membuat keputusan sepihak seolah-olah suara bangsa Papua dengan tetesan air mata dan tumpahan darah yang terus menerus menjadi wajah inequality di Tanah Papua, tidak memiliki arti apa-apa di mata mereka.
Bahkan terdapat kelompok yang merasionalisasi keputusan Pusat, dengan mengatakan untung Indonesia masih diberi kesempatan oleh Amerika untuk membangun Smelter di Indonesia. Lalu bersamaan dengan legitimasi penguasa Pusat, segala bentuk penderitaan bangsa Papua yang menjadi pemilik sah atas seluruh sumber daya alam Papua, dinaifkan begitu saja, dengan dalih ini belas kasihan Amerika.
Para penguasa Jakarta justru telah menghianati prinsip-prinsip yang tertuang secara tegas dalam konstitusi negara ini. Mereka terus membiarkan dan bahkan ikut serta memperkuat kolonialisasi dengan legitimasi Kekuasaan dan Militeristik, dengan terus menerus membiarkan penjajahan atas sumber daya alam di Tanah Papua dan memelihara pembantaian bangsa Papua dengan dalih memelihara kepentingan Investasi.
Penguasa Jakarta bukanlah dalam posisi tidak berdaya menghadapi kepentingan asing, sebab negeri ini memiliki kedaulatan sebagai sebuah bangsa yang merdeka, dan dapat menentukan sikap yang didasarkan pada kehendak rakyat. Namun, para penguasa tersebut, lebih memilih untuk menyandera negara dengan kepentingan-kepentingan diri mereka sendiri, bahkan turut serta menjajah bangsa Papua.
Politik sentralisasi pembangunan merupakan karakteristik dari bangsa yang serakah. Keserakahan tersebut terkonfirmasi dengan sikap Penguasa Jakarta yang sebenarnya telah mendapatkan peluang untuk melakukan renegosiasi terhadap seluruh kepentingan Freeport di Tanah Papua, namun pilihan political will penguasa Jakarta jatuh kepada Transaksi-Transaksi kepentingan mereka sendiri, untuk terus menguasai arus kapital yang besar di Tanah Papua.
Distribusi pembangunan dan penguatan sendi-sendi ekonomi di Tanah Papua harus lebih diperkuat oleh Pusat, jika tidak ingin semakin mengalami kehilangan kepercayaan dari bangsa Papua. Namun dalam praktiknya, justru Pemerintahan Pusat menjauhkan unsur-unsur terpenting dalam penguatan pembangunan dari Tanah Papua, dan justru memperkuat pembangunan di daerah lain.
Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah memiliki historis dalam masa-masa awal pergerakan revolusi kemerdekaan. Pada masa itu, kekuatan elemen rakyat terkonsolidasi untuk menentang penjajahan kolonialisme. Di hari ini historis tersebut terulang kembali dalam pergerakan elemen bangsa Papua untuk meminta dimerdekakan dari segala bentuk miniatur Kolonialisme di Tanah Papua, yang ditandai dengan sentralisasi penguasaan sumber daya alam dan operasi militer yang terus menerus menumpahkan darah bangsa Papua.
Benarkah Indonesia memandang bangsa Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia? Bukankah sebagai bagian dari tubuh yang satu, setiap rasa sakit yang dirasakan oleh salah satu organ tubuh yang bernama bangsa Papua, menjadi rasa sakit yang sama dirasakan oleh bagian tubuh lainnya?
Lalu mengapa Pemerintah pusat masih terus saja membiarkan rasa sakit itu terus dirasakan oleh bangsa Papua? Saat ini ditengah-tengah dinamika sosial warga bangsa Papua, telah bermunculan konsepsi dan keinginan yang luhur untuk menghentikan segala bentuk penindasan di bumi Papua, namun apakah Pemerintah Pusat juga turut merasakannya?
Jika Negara Kesatuan yang menjadi ideologi Republik Indonesia benar-benar ada, lalu kemana rasa empati saudara-saudara terhadap rasa sakit yang dirasakan oleh bangsa Papua? Atau, jangan-jangan, kalian sedang berpura-pura menyebut sebagai satu bangsa Nusantara, untuk sekedar menjajah dan merampok sumber kemandirian dan kekuatan sumber daya alam milik bangsa Papua.
Entah yang namanya ideologi, visi atau cita-cita berbangsa, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, tidak akan berguna dihadapan rakyat dan bangsa Papua, jika praktik bernegara yang kalian tampilkan hanyalah sandiwara atau fatamorgana. Ucapan yang manis didengarkan oleh telinga, tetapi berdampak buruk, sangat buruk, dan lebih buruk lagi terhadap posisi bangsa Papua dalam segala dimensi kepentingan.
Praktek bernegara yang hanya menampilkan kepura-puraan, dan banyak bersandiwara, menyimpan banyak intrik busuk untuk terus menerus menggunakan berbagai macam alibi, untuk membenarkan setiap kebijakan yang secara terang-terangan melemahkan posisi bangsa Papua.
Apa arti integrasi bagi bangsa Papua, jika tujuan keadilan dan pemerataan kesempatan dalam pembangunan dan mencapai kesejahteraan bersama, justru dijauhkan dari Tanah dan bangsa Papua?
Willem Wandik, S.Sos adalah anggota DPR RI asal Tanah Papua. Tulisan ini awalnya dimuat di website pribadi penulis, willemwandik.com.
Sumber : www.majalahselangkah.com