Pages

Pages

Minggu, 08 Februari 2015

Pemda Jayawijaya Diminta Buka Ruang Diskusi Terkait Rencana Pembangunan Mako Brimob

Pdt. Judas Meage, S.Th, Ketua Klasis GKI Balim Yalimo di Wamena (Foto: Elisa Sekenyap/SP)
WAMENA, SUARAPAPUA.com --- Ketua Klasis Gereja Kristen Injili (GKII) Balim-Yalimo, Pdt. Judas Meage, mengatakan, rencana pembangunan Markas Komando (Mako) Brimob, di Wamena, Papua, harus dilihat secara jeli, karena belum tentu dapat memberikan rasa keamanan bagi warga sipil.

“Apakah kehadiran Mako Brimob memberikan rasa aman atau tidak, ini yang harus kita pahami dulu, juga harus dipahami kenapa masyarakat menolak," tegas Meage, kepada suarapapua.com, saatu ditemui di kediamannya Wamena, Jumat (6/2/2015).

Menurut Meage, pihak institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah (Pemda) Jayawijaya harus dapat menjelaskan uraian tugas dari Brimob, serta bertujuan apa membangun Markas di Wamena. (Baca: Tolak Pembangunan Mako Brimob, FSRJ Gelar Demo di Kantor DPRD Jayawijaya).

“Dengan adanya penjelasan yang baik, masyarakat bisa tahu, dan juga bisa objektif memberikan masukan dan pertimbangan, baik itu menolak atau menerima," tegasnya. 

Jika tugas menjaga keamanan, menurut Meage, bisa saja didatangkan dari Jayapura ke Wamena, bukan membentuk Markas di Wamena, apalagi jaraknya cukup dekat menggunakan pesawat terbang.

Karena itu, Meage menegaskan, Markas Brimob tidak perlu dibangun di Wamena, sebab selama ini Polisi sudah mampu menangani berbagai kasus yang terjadi selama ini. 

Meage justru menyarankan Pemda buka ruang diskusi, dengan mengundang berbagai tokoh adat, masyarakat, gereja, dan LSM, sehingga bisa ditemukan duduk masalahnya. (Baca: Mahasiswa Jayawijaya Tolak Pembangunan Mako Brimob di Wamena).

“Jika memang hal-hal ini didiskusikan dengan baik, tolak-menolak tidak akan terjadi. Saya pikir tidak terlambat kalau ruangan diskusi ini dibuka dan menjelaskan kepada seluruh masyarakat dan LSM, gereja dan tokoh-tokoh yang ada, supaya bisa diketahui. Ini bukan era tahun 1980-an, sekarang ini era diskusi yang bisa didiskusikan,” ujarnya.

Kinerja kepolisian juga disayangkan Meage, sebab banyak persoalan terjadi, namun pengungkapannya tidak jelas, apalagi ada kepentingan-kepentingan diantara institusi TNI maupun Polri. (Baca: Kepala Suku dan Tokoh Agama di Wamena Tolak Pembangunan Markas Brimob).

“Ini kota kecil, jadi kasus-kasus Miras atau Milo dan pencurian pelakunya bisa ditangkap, tetapi sampai hari ini tidak pernah ditangkap, terus mau datangkan Brimob. Apakah hal kecil tidak bisa tangani, hal besar bisa tangani?” tanya Meage.

Dia juga menjelaskan, kehadiran Brimob akan membuat trauma masyarakat. Masyarakat menolak ini karena kemungkinan besar trauma dengan penanganan persoalan yang terjadi selama ini.

Semenetara itu, Theo Hesegem, Ketua Jaringan Advokasi Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua, mengatakan, rencana menghadirkan Brimob di Wamena harus memiliki alasan yang jelas.

"Apakah Polisi yang ada tidak mampu kendalikan Wamena, sehingga datangkan Brimob. Pemda harus membuka ruang diskusi agar bisa temukan masalahnya,” tegasnya. (Baca: FSRJ: Pemda Tidak Bangun Sarana Pendidikan dan Kesehatan, Justru Bangun Mako Brimob?).

Menurut Hesegem, mungkin alasan hadirkan Brimob di Wamena karena ada persoalan yang terjadi di Lanny Jaya. Tetapi menurutnya lagi, itu bukan menjadi alasan.

”Jangan punya pandagan bahwa karena adanya Brimob masalah akan selesai. Itu salah berpikir,” ujar Theo.

“Saya pikir apa yang terjadi di Lanny Jaya butuh dialog antara pemerintah dan TPN/OPM, tetapi hadirkan Brimob untuk daerah konflik akan terjadi pelanggaran HAM. Jadi, saya pikir kehadiran Brimob di Jayawiajya alasannya belum jelas,” ungkapnya.

Lanjut Theo, kehadiran Brimob akan menjadi trauma bagi masarakat di Wamena, sebab tentu akan bertugas dengan peralatan lengkap seperti perang, dan tentu menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.

Dia juga menjelaskan, pernah ada trauma masyarakat akibat kebrutalan TNI dari Batalyon Wim Ane Sili di Wamena.

"Waktu itu karena seorang anggota TNI dianiaya karena menabrak masyarakat Sinakma, maka anggota TNI Wim Ane Sili menikam beberapa orang, membakar rumah warga dan kekerasan lainnya di daerah Sinakma."

“Nah, masyarakat tidak mau hal-hal seperti ini terjadi. Jadi, saya pikir, perlu ada ruang diskusi antara pemerintah, LSM, gereja, tokoh adat dan tokoh-tokoh lainnya." (Baca: Kepala Suku dan Tokoh Agama di Wamena Tolak Pembangunan Markas Brimob).

"Dan untuk kasus di Sinakma Wamena itu kami sudah lakukan kesepakatan, tetapi pelaku-pelaku hingga hari ini belum pernha diproses. Jadi masyarakat trauma di bagian ini,” kata Hesegem.

Selain itu, ia mengatakan, tempat yang dijadikan lokasi pembangunan Mako Brimob tidak disetujui oleh masyarakat pemilik hak ulayat.

“Jadi, Mako Bromob ini mau ditaruh dimana?” tandas Hesegem.

Sebelumnya, pada 4 Februari 2015 lalu, masyarakat Jayawijaya yang tergabung dalam Forum Solidaritas Rakyat Jayawijaya (FSRJ) menggelar aksi demo di DPRD menolak rencana pembangunan Mako Bromob di Molama, Distrik Woma, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Editor: Oktovianus Pogau

ELISA SEKENYAP

Sumber : www.suarapapua.com