Simon Petrus Hanebora, Kepala suku besar Yerisiam. Kiri, berbaju coklat. http://sukusyerisiam.blogspot.com |
“Kami sudah menghentikan aktivitas PT.Nabire Baru beberapa waktu lalu melalui sikap tertulis kami, namun hingga kini perusahan masih melakukan aktivitasnya. Dan di back up oleh pihak Brimob,” katanya melalui surat elektronik yang dikirim kepada Jubi, Rabu (11/2/2015) dari Nabire.
Dikatakannya, pihaknya sudah meyurati DPRD Kabupaten Nabire dan pihak muspida Kabupaten Nabire agar menindaklanjuti pernyataan sikap suku Yerisiam untuk menutup perusahaan. Namun hingga memasuki minggu ke tiga ini tak ada kabar dari pihak DPRD dan Muspida.
“Mengapa pihak pemerintah dan penegak hukum terus menutup diri tentang persoalan suku besar Yerisiam? Padahal sedang terjadi sebuah proses intimidasi, penghilangan hak asasi manusia dan genoside kepada kami. Nanti kalau kami masyarakat melakukan perlawanan, kami dituduh lagi dengan seperatis, makar dan lain sebagainya. Ada apa dengan semua ini?” keluh Hanebora.
Untuk itu pihaknya meminta dan berharap agar LSM yang peduli dengan lingkungan maupun LSM yang peduli dengan kemanusiaan turut mengambil bagian dalam masalah kelapa sawit di Nabire. Terutama untuk investigasi dan advokasi.
Sementara itu, seperti ditulis suarapapua.com, sejumlah warga suku Yerisiam di Kabupaten Nabire, Papua, sebagai pemilik hak ulayat yang kini dipakai sebagai lahan perkebunan kelapa sawit milik PT. Nabire Baru, selalu diteror dan diancam anggota Brimob Polda Papua dengan dalil anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Di hutan masyarakat adat yang kini dipakai PT. Nabire Baru, untuk membuka lahan kebun kelapa sawit, sama sekali tidak ditemukan markas OPM seperti yang dituduhkan aparat Brimob.
“Jadi kami bisa katakan, aparat Brimob hanya membangun dalil atau alasan untuk membenarkan penangkapan yang mereka lakukan, dan ini juga bagian dari intimidasi terhadap warga sebagai pemilik hak ulayat,” kata Charles Tawaru, anggota Koalisi Peduli Korban Kelapa Sawit Nabire, kepada suarapapua.com, Selasa (3/2/2015) siang.
“Protes selama ini dilayangkan masyarakat kepada perusahaan yang tak memperhatikan hak-hak mereka, termasuk yang sering menyewa jasa Brimob untuk meneror dan menangkap mereka, jadi tidak benar ada markas OPM,” kata Tawaru. (Arnold Belau)
Sumber : www.tabloidjubi.com