Tiga tahan politik Papua (Foto: Ist) |
Sekitar lima orang Papua tewas, dan sekurang-kurangnya 22 orang lain menderita luka-luka akibat penembakan membabi buta oleh aparat militer dan polisi, pada tanggal 8 Desember 2014, di Distrik Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua.
Dalam laporan disebutkan, aparat keamanan mengeluarkan tembakan ke arah kerumunan massa yang terdiri dari sekitar 800 demonstran damai, yang melakukan tarian tradisional Papua, Waita, sebagai protes atas penyiksaan seorang anak berumur 13 tahun oleh anggota Tim Militer Khusus Satuan Batalyon 753 (Timsus 753) pada hari sebelumnya.
Anggota militer Timsus 753 juga bertanggung jawab atas penyiksaan dua orang Papua yang didokumentasikan pada Mei 2010. (Baca: Komnas HAM RI Resmi Bentuk Tim Penyelidikan Pelanggaran HAM di Paniai).
“Perlakuan brutal terhadap anak-anak oleh aparat keamanan Indonesia yang terjadi di ruang terbuka dan public seperti ini sangat mengkhawatirkan dan melambangkan budaya impunitas di Papua,” tulis situs ini, dalam releasenya, kepada suarapapua.com, Minggu (11/01/2014).
Menurut situs ini, tanpa melakukan investigasi yang teliti, independen dan adil, pejabat militer Indonesia memberi apa yang satu analis sebut sebagai "respon klasik" dengan mengalihkan tanggung jawab atas penembakan 8 Desember kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM). (Baca: Ini Nama-nama Anggota Tim Penyelidikan Pelanggaran HAM Paniai).
Satu tanggapan lain, diabaikan oleh tokoh-tokoh pemimpin masyarakat Papua sebagai fabrikasi, Tedjo Edhy Purdijatno, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) mengatakan kepada media Indonesia bahwa penembakan sudah ditangani dengan cara adat, dengan melakukan upacara bakar batu.
“Tanggapan-tanggapan ini mempertanyakan kemauan politik dari pemerintah Indonesia untuk mencari akuntabilitas dan transparansi atas apa yang sekarang telah dikenal sebagai Paniai Berdarah.” (Baca: Komnas HAM Harus Bentuk KPP-HAM, Bukan Tim Penyelidikan untuk Pemantauan).
“Meskipun Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa tim pencari fakta akan dibentuk, tapi tetap tidak diketahui apakah penyelidikan itu akan ada kerjasama yang terdiri dari tentara, polisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) , dan pemuka adat Papua, sesuai dengan rekomendasi dari Komnas HAM.”
“Pentingnya penyelidikan bersama tersebut akan memastikan bahwa personil militer yang bertanggung jawab bisa dipertanyakan dan dimintai pertanggungjawaban,” tulis situs ini. (Baca:Waker Cs Dikejar Sampai ke Neraka, Bagaimana dengan Serdadu Penembak 4 Warga di Paniai?).
Dikatakan, analisis politik dan hak asasi manusia menduga bahwa penembakan 8 Desember itu mungkin dipicu oleh militer yang berani setelah pengumuman dukungan Jokowi terhadap komando daerah militer baru (Komando Daerah Militer, Kodam) di Papua.
Pelanggaran-pelanggaran oleh militer Indonesia yang telah lama terjadi di Papua ini, diabadikan oleh budaya impunitas, menunjukkan bahwa rencana tersebut tidak sesuai dengan janji Jokowi sebelumnya untuk melindungi hak asasi manusia di Papua. (Baca: Aparat TNI/Polri Tembak Mati Empat Warga Sipil di Kabupaten Paniai).
Pada tanggal 27 Desember, puluhan demonstran-demonstran di Jayapura ditangkap karena memprotes rencana kunjungan Presiden Jokowi. (Baca: Kado Natal Jokowi-JK untuk Papua, 5 Warga Paniai Tewas Ditembak TNI/Polri).
Para demonstran-demonstran, bersama dengan kelompok masyarakat sipil Papua lainnya, menolak kunjungan Jokowi sebagai tanggapan terhadap Paniai Berdarah. (Baca: Papuans Behind Bars: Penangkapan Saat Pemilu Menandakan Kurangnya Hak Demokrasi di Papua).
Dalam kasus yang lain di Puncak Illaga di Kabupaten Mimika bulan ini, sekurang-kurangnya 26 orang Papua ditangkap dan dianiaya, beberapa di antaranya disiksa. Kasus ini menggemakan tiga kasus lain yang dilaporkan pada tahun 2014: penangkapan di Nimbokrang pada bulan Agustus, penangkapan di Sasawa pada bulan Februari dan Yotefa Berdarah pada bulan Juli. (Baca: Warinussy: TNI dan Polri Telah Melakukan Pelanggaran HAM Berat di Paniai).
Dalam kasus ini, aparat keamanan terus menargetkan warga sipil Papua dengan menggunakan kekuatan yang berlebihan dan penangkapan sembarangan dalam upaya untuk menghukum masyarakat asli Papua atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum dan kelompok criminal yang lain.
Serangan balasan seperti itu menyoroti kurangnya perlindungan yang diberikan kepada masyarakat asli Papua terhadap kekerasan yang diperbuat oleh aparat keamanan negara Indonesia. (Baca: ULMWP: Jokowi Pakai Pendekatan Militer Hadapi Konflik Papua).
Salah satu tahanan dalam kasus Boikot Pilpres di Pisugi, Yosep Siep, telah dirawat di rumah sakit karena sakit yang dialami sebagai akibat penyiksaan yang dihadapi pada saat penangkapannya.
Persidangan untuk kelima tahanan Pisugi telah berulang kali ditunda karena sulitnya memperoleh keterangan saksi saat pengadilan. (Baca: Terdapat 74 Tahanan Politik Papua di Bulan Agustus 2014).
Di Nabire, sepuluh anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dibebaskan setelah lebih dari satu bulan dalam penahanan, dilaporkan karena kurangnya bukti untuk membawa mereka ke pengadilan.
Baca: #PANIAIBERDARAH
OKTOVIANUS POGAU
Sumber : www./suarapapua.com/